Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Janji

15 September 2020   18:52 Diperbarui: 15 September 2020   19:03 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: raullucusx/pixabay.com

"Permisi Pak"

Dua orang siswa pengurus OSIS mengucapkan salam sambil mengetuk pintu kelas kami.

Mereka berbincang sebentar dengan Pak Yus, guru Matematika.

Lumayan, kami punya waktu beberapa menit untuk mengistirahatkan kepala dari soal-soal trigonometri.

Dua siswa dari kelas lain itu menyampaikan pengumuman singkat. Ternyata mereka hadir untuk mengumpulkan sumbangan. Ada seorang siswi dari kelas lain yang berpulang. Sakit, begitu berita yang kami dengar.

"Bim, nanti kalau kau yang meninggal, akan kusumbang yang banyak."

Lukas dan Bima yang duduk sebangku tertawa-tawa sambil menutup mulut. Takut Pak Yus mendengar mereka yang sedikit berisik.

Bima adalah cowok yang sedikit pendiam, tetapi sering melucu juga. Sementara Lukas selalu ceria dengan ocehan yang kadang konyol dan sedikit jail. 

Aku duduk di bangku tepat di depan mereka. Kelakar Lukas membuatku tak bisa menahan tawa.

Mereka berdua teman baikku, terutama Lukas. Cowok terganteng di kelas yang menjadi rebutan cewek-cewek di sekolah kami.

Bahkan pesonanya bisa meluluhkan guru-guru wanita. Tidak pernah sekalipun ada guru yang menegur atau memarahinya, padahal dia tak luput dari kemalasan membuat pekerjaan rumah.

Lukas bagiku hanya seorang sahabat. Aku bahkan sering dijadikan tempat curhatnya.

***

Senin pagi, Bu Susi, guru Musik kami memasuki kelas. Matanya merah dan sembab, terlihat beliau barusan menangis. 

Wajah Lukas pucat. Bu Susi menyampaikan pengumuman bahwa Bima telah berpulang kemarin sore, lantaran kecelakaan di jalan raya yang menimpanya.

"Nina. Duh, gimana nih. Mulutku jahat sekali ya."

Lukas bicara dengan suara gemetar dan ada air mata menggenang.

Ya, aku masih ingat kata-kata candaannya tiga bulan yang lalu.

"Penuhi janjimu, Lukas!"

Aku menenangkan dia sambil berbisik.

"Yuk, kita harus siap-siap berangkat menuju rumah duka sekarang."

Aku tepuk bahu Lukas yang terduduk lemas.

"Selamat jalan Bima. Semoga damai di sisi Tuhan!"

-------

Hennie Triana Oberst - DE.15092020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun