Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tak Ada Rotan, (Tidak Selalu) Akar pun Jadi

19 Agustus 2020   19:02 Diperbarui: 19 Agustus 2020   19:05 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika mengundang teman-teman dari berbagai bangsa termasuk yang dari Indonesia untuk makan di rumah, biasanya saya memasak kuliner Nusantara. Alasannya karena masakan Nusantara adalah yang paling bisa saya buat.

Selain itu saya cukup percaya diri untuk menyajikannya kepada tamu, sekalian memperkenalkan sebagian kecil kuliner Indonesia kepada teman-teman dari bangsa lain.

Dari pengalaman pribadi, sampai saat ini belum ada yang tidak menyukainya, bahkan pada masa-masa awal di Jerman, teman-teman akrab dari kelas bahasa Jerman dulu meminta saya mengadakan kelas masak kilat untuk mereka.

Saya ingat sekali waktu itu mereka saya ajari membuat Semur Ayam dan Sambal Terong, kami di Medan menyebutnya "Sambalado Terong". Masakan ini yang biasa dimasak di rumah dulu, jadi saya belajar dari Ibu saya. 

Teman-teman saya menyediakan tempat dan semua bahan makanan, saya hanya diminta berbagi ilmu. Mereka berasal dari Romania,  Amerika Serikat, Brazil, Venezuela dan salah satu negara di Afrika.

Dari perbedaan selera lidah berbagai benua, ternyata kedua olahan tersebut bukan saja digemari, tetapi melekat di hati mereka.

Resep dan cara memasak dicatat oleh mereka sedemikian rupa. Lucu juga melihatnya, karena masakan yang saya anggap sederhana ini ternyata bisa begitu diminati.

Memasak, menurut saya pribadi, adalah juga kreativitas kita. Menetap di negara yang tidak selalu lengkap menyediakan bahan makanan untuk meracik masakan khas Indonesia, membuat saya dan mungkin hampir semua orang Indonesia yang tinggal di luar negeri menjadi lebih kreatif.

Ada beberapa bumbu yang bisa diganti dengan bahan lain yang sejenis, dan hasilnya akan mendekati kelezatan rasa aslinya. 

Seperti kata pepatah; "Tak ada rotan akar pun jadi".

Mengajari bangsa lain yang tidak akrab dengan kuliner Indonesia bisa juga membuat kita geleng-geleng kepala.

Ketika saya menetap sementara di Shanghai, ada seorang teman baik yang berasal dari negeri Tirai Bambu. Kami sama-sama pendatang di kota Shanghai. Sama seperti kita di Indonesia, kuliner tiap daerah di Cina juga berbeda-beda.

Saya bahkan terkejut ketika pertama sekali mengunjungi Tiongkok. Masakan yang saya santap sangat berbeda dari "Chinese food" yang saya kenal di Indonesia.

Teman baik saya ini sebut saja namanya, Patricia. Kebetulan kami tinggal di satu kompleks perumahan yang sebagian besar dihuni oleh keluarga Jerman, Perancis dan keluarga campuran seperti kami, ada sebagian lagi warga lokal tetapi tidak terlalu banyak.

Saking dekatnya, kami sering saling mengunjungi dan mencicipi masakan yang berbeda-beda. Patricia menyukai hampir semua masakan yang saya sajikan.

Sekali waktu dia mencoba membuat Pepes Ayam, saya membuat pepes tanpa daun pisang karena tidak punya. Olahan Pepes Ayam ini saya sederhanakan sesuai bahan yang ada, tetapi sangat cocok untuk lidah orang Jerman.

Kebetulan suami Patricia juga orang Jerman, seperti suami saya. Menurut Patricia, suaminya sangat menyukai pepes ayam tersebut, bahkan minta sering-sering disajikan di rumah mereka.

Kesempatan lain Patricia minta diajari membuat Kari. Saya pernah menyajikan Kari Sapi saat mengundangnya. Tapi mengajarkannya meracik kari yang membutuhkan bumbu yang beragam tersebut akan membuat Patricia menyerah.

Saya kenal dia sangat baik, kuliner dari daerahnya selalu sederhana bumbunya, bahkan terlalu sederhana untuk lidah orang Indonesia.

Maka saya katakan agar Patricia membeli bumbu kari kemasan jadi, produk dari Indonesia atau Singapura. Hanya perlu menambahkan sedikit bahan lainnya seperti bawang merah, bawang putih dan santan. 

Suatu siang Patricia mengundang saya makan. Saat saya tiba dia mengatakan telah mencoba Kari, menu kami siang itu.

Lapar saya hilang, ketika mencicipi masakan tersebut. Ternyata menurut Patricia dia tidak mendapatkan santan, jadi santan digantinya dengan susu.

Mau tidak mau saya harus menelan masakan yang sudah ada di piring, dan mengatakan enak. Itulah bedanya selera lidah tiap individu. Bagi Patricia olahan Kari tersebut sama saja rasanya, menggunakan santan atau susu.

Saya tidak berani mengkritik usahanya untuk mencoba kuliner Nusantara, agar dia tidak berkecil hati. Tapi saya katakan akan lebih pas jika menggunakan santan karena itulah bahan aslinya.

Ya, memang tidak selalu satu bahan bisa kita gantikan dengan bahan lain yang mirip.

Salam kuliner!

-------

Hennie Triana Oberst - DE.10082020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun