Tetapi saat ini resep pembuatan Tsingtao sudah berubah, tidak lagi murni seperti awal pendirian pabrik dahulu. Walaupun begitu Tsingtao bir termasuk dalam 10 besar perusahaan bir terbesar dunia.
Gedung lama Tsingtao Brauerei yang terletak di Dengzhou Road no.56 sekarang dijadikan museum. Dari kejauhan terlihat bentuk 4 kemasan kaleng bir yang bertuliskan Tsingtao menghiasi atapnya.
Bagi yang ingin mengunjungi Festival Bir, tersedia secara gratis bus model kuno untuk menuju lokasi ini. Bus antik tersebut berwarna hijau. Saat kami berada di kota ini, festival bir sedang berlangsung. Tetapi kami sengaja tidak mengunjunginya. Berwisata dengan anak tentu kurang bijaksana membawanya ke tempat seperti ini.
Sepanjang jalan di sekitar pertokoan kota tua sesekali terlihat di depan toko satu drum berwarna perak, dengan kantongan plastik-plastik yang digantungkan di sampingnya. Terdapat karton bertuliskan angka tertentu. Awalnya saya tidak memperhatikan drum-drum itu, karena tidak bisa membaca apa yang tertulis di situ, kecuali angka dan lambang mata uang Yuan.
Ternyata itu adalah drum yang berisi bir, dijual secara eceran, dengan kemasan plastik dan diminum dengan pipet (sedotan). Kalau di Indonesia, minuman yang dijual dengan kemasan seperti ini contohnya es jeruk, air tebu, dan es kelapa muda.
Inilah cara unik masyarakat Qingdao menikmati minuman bir mereka. Menurut yang saya dengar, minum bir dengan menggunakan sedotan membuat orang lebih cepat mabuk. Entahlah, saya belum membuktikannya, karena saya tidak suka minum bir.
Catatan;
*Pinyin berasal dari penyebutan singkat Hanyu Pinyin, yaitu romanisasi (penulisan huruf non Latin ke huruf Latin) resmi Cina untuk Bahasa Mandarin Standar di RRT.
Hennie Triana Oberst - DE.30072020
Referensi; dw.com, spiegel.de
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H