Melajang dengan karir cemerlang sebagai perempuan terkadang ada tidak enaknya. Ucapan nyinyir yang kudengar dari sana sini. Belum lagi jika sesekali menghadiri temu keluarga besar. Mana mungkin aku bisa selalu menghindar jika sedang berada di rumah orang tuaku. Terpaksa harus tebal kuping, walaupun kadang menyakitkan.
Sudah lebih dari dua tahun aku menjalin hubungan dengan lelaki ganteng dari tanah seberang. Aku betul-betul jatuh cinta padanya, Esra, sosok pria yang diidamkan banyak wanita.
Perkenalan kami terjadi ketika ia sedang bertugas di Indonesia. Kebetulan Esra adalah rekan kerja Sarah, sahabatku. Suatu hari saat aku sedang minum kopi berdua dengan Sarah, tanpa sengaja kami bertemu Esra.
"Eh, dia single tuh Ran. Yuk aku kenalin." Sarah berbisik.
Pertemuan demi pertemuan seperti menjadi kebiasaan. Aku tidak menceritakan kepada Sarah bahwa sejak dua tahun ini aku dan Esra menjalin hubungan khusus. Sarah telah pindah mengikuti suaminya yang sering berpindah-pindah tugas. Jika kami berbincang ia tidak pernah menyinggung tentang Esra, tak juga dari pihakku.
Mestinya bulan ini Esra datang melamarku, tapi pandemi corona ini menunda segala rencana. Ditambah lagi masalah yang aku harus ceritakan pada Sarah. Aku tak tau pada siapa lagi aku harus meminta saran.
"Aku ingin menikahimu, Ranti. Tapi aku harus mengakui, bahwa sebenarnya aku sudah berumah tangga."
Setahun lalu Esra mengakui statusnya. Pernikahan karena janji ayahnya kepada ayah wanita itu. Pernikahan itu harus dilaksanakan tak ada kompromi di keluarga mereka.
Aku shock, tak tahu harus berbuat apa. Laki-laki ini begitu aku cintai. Perkenalan kami 5 tahun lalu dan hubungan kami 2 tahun terakhir ini bukan hubungan main-main.Â
Kedua orangtuaku menyerahkan sepenuhnya padaku. Aku dianggap cukup dewasa mengambil keputusan untuk masa depanku, walaupun aku tahu ada gurat kekecewaan tergambar di wajah mereka.
Marah pada diri sendiri, tapi aku tak mungkin melepas cintaku pada laki-laki ini. Kami berencana menikah, dan statusku sebagai istri keduanya.
"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu, Ran?"
Sarah menanyakan dengan nada yang khawatir dari seberang telepon.
Mungkin dia kecewa aku tak pernah menceritakan hubunganku dengan Esra. Aku merasa sangat jahat dan bukan sahabat yang baik baginya.
Sarah, seperti adanya dia, selalu ada untukku, dalam situasi apapun.
"Aku doakan kamu bahagia dengan keputusanmu itu, Ran. Tolong kabari aku, berita baru apapun, please. Doaku untuk kalian berdua. Semoga langgeng ya."
Tangisku yang menjawab ucapan Sarah. Sahabatku yang satu ini paling bisa menguasai keadaan dan paling mengerti aku.
Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Merebut hati suami orang lain dan menguasainya menjadi bagian dari hidupku.
Jahatkah aku?Â
Aku ingin tidur saja, menunggu pandemi ini berlalu dan menjalani hidup baru sebagai istri Esra.Â
.
-------
Hennie Triana Oberst
DE 01052020
"Kisah ini hanya fiksi"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H