Aku mengenalnya ketika penerbangan lanjutan Singapura - Frankfurt tiba-tiba dibatalkan. Padahal sebelumnya telah ditunda selama tiga jam. Malam sudah mulai larut. Calon penumpang pun riuh rendah menggerutu, termasuk aku.
Koper yang mestinya terkirim ke tempat tujuan terpaksa harus kami ambil. Sebagian penumpang mengerubungi meja petugas maskapai yang ada di bandara. Mereka berharap mengganti jalur perjalanan. Siapapun ingat cepat tiba di tempat tujuan.
Aku tidak punya pilihan lain. Biar saja aku terima dengan lapang dada bahwa penerbangan ditunda hingga esok hari. "Ada gangguan teknis," begitu tadi pengumumannya.
Masih ada beberapa jam lagi sebelum bus yang mengantarkan kami ke hotel tiba. Kami boleh mengisi perut di rumah makan yang tersedia di bandara. Menjelang tengah malam dalam suasana tak menyenangkan seperti ini, selera makan pun hilang.
Aku ambil sekedar roti pengganjal perut dan sebotol minuman.
"Kita duduk di sebelah sana yuk."
Mekati, wanita ramah yang kukenal di penerbangan tadi berkata sambil menunjuk meja di pojok.Â
Tadi setelah pengumuman diberikan ia terlihat panik dan kebingungan sendiri.
Aku perhatikan dia mencoba mengajak beberapa orang Indonesia berbicara, sepertinya minta tolong.
Ah, kasian, mungkin ini kali pertama dia terbang sendiri. Makanya aku iyakan saja ketika dia mengatakan perlu teman.
"Kamu sendiri ya, wanita yang bersama kamu tadi siapa?" Â tanyaku ketika kami duduk menikmati makanan.
"Orang Indonesia juga, tapi sombong sekali." Melati menjawab kesal.
"Mungkin mereka capek dan kesal penerbangan batal. Sementara di rumah sudah ditunggu keluarganya," timpalku menenangkan dia.
Siapa yang tidak kesal dengan situasi ini. Apalagi ada yang tanya-tanya minta bantuan. Aku juga kesal, tapi melihat wanita ini aku iba.
Dia tidak mengerti pengumuman dalam bahasa Inggris dan Jerman yang disampaikan tadi. Makanya dia mencari seseorang untuk ditanyai.Â
***
Sesuai jadwal, bus datang dan mengantar kami menuju hotel. Kami mendapat kamar sendiri-sendiri. Tapi Melati memohon untuk sekamar denganku.
Sebetulnya aku tak mau. Aku belum kenal dia. Tapi, aduhhh... daripada nanti aku dihantui rasa bersalah menelantarkannya, ya sudahlah.
Dia terlihat betul-betul seperti orang yang tidak mengerti apa-apa. Mengisi kartu kedatangan imigrasi saja dia tidak mengerti. Dengan tanpa membuatnya tersinggung aku bantu mengisi data-datanya.
***
Di kamar hotel bintang 5 lima yang nyaman kami berdua berbincang. Waktu yang kami miliki tidak lama, mestinya aku bisa tidur beberapa jam jika sendirian. Tapi, begitu tiba di hotel aku tidur 2 jam saja, setelah itu mandi dan siap-siap. Jam 6 pagi kami harus sudah harus siap-siap menuju bandara lagi.
Aku kabarkan pada suamiku bahwa pesawat tertunda dan memberikan nomor telepon suami Melati. Aku minta tolong agar ia menelpon lelaki berkebangsaan Perancis itu, mengabarkan berita ini dan meminta suami Melati untuk menelpon melalui nomor telepon hotel dan memberikan nomor kamar hotel kami.Â
"Suamimu baik sekali ya."
Melati mengomentari begitu aku selesai berbicara dengan suamiku.
Aku cuma berterima kasih sambil tersenyum.
Tak berapa lama telepon kamar berdering. Melati berbicara dengan suaminya dengan bahasa yang terbata-bata antara bahasa Indonesia, Inggris dan Perancis.
Aku tidak bermaksud menguping, tapi berada di dalam kamar hotel mana mungkin aku tidak mendengarnya.
Lantas rasa penasaranku tak kuasa dibendung. Jadi aku tanyakan sudah berapa lama ia menikah dan tinggal di negeri tetangga Jerman itu.
Delapan tahun, mengarungi rumah tangga dengan lelaki yang berbeda bangsa dan kultur. Hidup jauh di tanah air tanpa teman di sekitarnya.
Melati ingin sekali punya anak, tetapi suaminya tidak. Keputusan yang akhirnya disepakati oleh Melati. Tetapi dengan berjalannya waktu, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Katanya hidupnya hampa dan sepi di rumah yang sepertinya belum menyatu dengan jiwanya.
Aku tak tahu harus berkata apa. Lebih baik menjadi pendengar yang baik saja. Hanya dia yang bisa mengambil keputusan akan melangkah ke mana.
***
Tiba di bandara, penerbangan kami dialihkan ke maskapai penerbangan negara Singapura. Aku bantu Melati untuk check-in.
Hanya tanda tanya besar bagiku, dia katanya sudah beberapa kali pulang pergi Indonesia Perancis. Tapi kenapa dia seperti orang yang baru pertama terbang ketika petugas check-in bertanya.
Sedih sekali melihat kejadian ini. Selama 8 tahun tidak ada yang ia pelajari dari perjalanan yang ia lalui.Â
***
Aku berpisah di bandara Frankfurt. Melati melanjutkan penerbangan ke satu kota di negara yang terkenal dengan menara Eiffel itu. Aku peluk erat dia dan berjanji untuk tetap berhubungan.
***
Enam bulan lewat setelah komunikasi kami melalui telepon terakhir kali. Tapi hari ini teleponku tak terjawab. Nomor yang aku tuju sudah tidak bisa dihubungi lagi.
Ah, Melati, semoga engkau bahagia di mana pun berada!
.
-------
HennieTriana Oberst
DE 12042020
*Terinspirasi dari perjalanan lalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H