Pertanyaan yang aku juga sulit menjawabnya. Apakah mungkin aku yang dengan kesadaran penuh dan ikhlas hati menerima ajakan mas Bram untuk menjadi istrinya, akan menolak ajakannya untuk bercinta, layaknya sepasang manusia yang memang saling mencinta?
Jujur saja, wanita dewasa seperti aku ini mana mungkin tidak membutuhkan belaian seorang lelaki. Omong kosong dan munafik sekali kalau aku katakan aku tak butuh lelaki.
Aku berpikir bahwa cinta bisa datang dengan berjalannya waktu, seiring kebersamaan kami mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi ternyata tak sesederhana itu. Mas Bram adalah sosok yang lembut, tetapi dia sangat pendiam sekali. Terkadang aku tak mengerti perasaan apa yang ada di dalam hatinya.
Kadang aku ingin dia marah, atau menentangku kalau memang dia tak setuju. Tapi harapan itu tak pernah datang, bertahun-tahun aku tunggu. Atau paling tidak dia bisa bersikap sedikit romantis padaku, tidak terlalu kaku, sehingga aku tahu apa sebenarnya yang dia inginkan.
Rasa cintaku pun mulai memudar. Aku rasanya tak ingin diganggu dia lagi. Ingin sendirian.
“Jadi gimana menurutmu, Tari?” tanyaku.
“Seburuk itu ya, Nit? Hanya ada dua pilihan; membicarakan hal tersebut secara terbuka. Mungkin perlu berkonsultasi dengan ahlinya. Atau jika tidak bisa diselamatkan lagi, ya kalian harus berpisah.”
Tari menyatakan kalimatnya tenang dan sedikit prihatin memandangku.
“Jangan bilang demi anak, Nit. Menurutmu apa anak-anak kalian nggak bakalan tahu kalau hubungan orang tuanya tidak lagi harmonis?“
Tari menambahkan kalimatnya. Mungkin dia melihat raut wajahku agak kaget mendengar jawaban sebelumnya.
“Itulah Tari, saranku untukmu jangan menikah hanya karena desakan orang di sekitarmu dan menikahi orang yang sebetulnya tidak kamu cintai.“