Membawa bekal makanan ke sekolah dan tempat kerja sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sini. Sejak kecil anak saya selalu membawa bekal makanan, mulai di playgroup, Kindergarten, Sekolah Dasar dan sekarang di sekolah menengah.
Hanya setahun belakangan ini ia tidak membawa bekal lagi, lebih suka membeli makanan di kantin sekolah (Menza, sebutannya di Jerman).
Jika membeli makanan di Menza cara bayarnya dengan chip yang diisi secara berkala. Harga makanan di kantin sekolah selalu lebih murah dibandingkan dengan di warung di luar sekolah.
Sejak anak saya memasuki Sekolah Dasar ia mendapat uang saku per minggu, jumlahnya juga tidak besar, seperlunya saja. Memasuki sekolah menengah jumlahnya saya tambahkan sedikit, untuk berjaga-jaga jika ia jajan di luar sekolah ketika istirahat makan siang.
Tahun ajaran ini ia bersekolah hingga sore hari hanya 2 hari saja per minggu. Istirahat makan siang selama 1 jam itu terkadang dimanfaatkan mereka makan di luar kantin sekitar sekolah. Hanya istirahat makan siang ini anak-anak dibolehkan meninggalkan sekolah.
Saya biasakan ia untuk menabung sisa uangnya yang tidak terpakai. Memang lebih sering tidak terpakai, karena dia lebih sering makan siang di kantin sekolah. Uang tabungannya ini boleh ia gunakan untuk membeli barang yang dia suka, yang bukan kebutuhan utamanya.
"Habis nanti uang tabunganku, Ma."
Pernah anak saya mengatakannya ketika dia ingin membeli laptop merek tertentu. Saya minta dia bayar sendiri karena laptop untuk keperluan sekolahnya telah kami belikan.
Akhirnya ia pikir-pikir lagi, dan membatalkan keinginannya itu. Dia menghitung berapa lama dia harus mengumpulkan uang sakunya lagi untuk mengisi tabungannya.
Memang kesannya kami terlalu pelit. Tetapi kami tidak mau membuatnya manja, ditambah statusnya sebagai anak tunggal. Barang-barang elektronik yang ingin dia beli harus ia bayar sebagian dari tabungan uang sakunya.Â
Dengan cara ini mudah-mudahan dia mengerti bahwa mengumpulkan uang itu tidak mudah.
Sepertinya dia mengerti, dua bulan lalu ia ingin membeli tablet baru. Ia katakan separuh harganya ia akan bayar. Walaupun dengan berat hati mengeluarkan uangnya.Â
Sebagai orang tuanya, saya juga berat hati menerima uangnya. Tetapi demi kebaikannya sendiri, terkadang saya harus tega juga. Agar ia mengerti dan tidak menganggap bahwa uang itu akan mengalir begitu saja.
Saya belajar dari pengalaman sendiri. Dulu saya mendapat uang saku dari Ibu, cukup untuk ongkos naik becak pulang pergi sekolah, dan sesekali jajan di kantin sekolah.Â
Jika ingin jajan di luar itu, maka harus berkorban pulang sekolah jalan kaki. Tapi sepertinya memang lebih menyenangkan jalan kaki pulang sekolah, beramai-ramai dengan teman-teman. Mampir jajannya juga beramai-ramai.
Setiap bulan saya dapatkan uang bulanan dari Ayah, untuk ditabung dan digunakan untuk keperluan tambahan. Dulu saya gunakan untuk membeli kaset (anak sekarang nggak kenal kaset), film untuk kamera (jaman belum digital), selain itu keperluan perempuan lainnya, tak jauh dari sepatu dan accesories.
Menurut pendapat saya, satu hal yang membuat anak-anak di sini lebih hemat adalah tidak adanya pedagang jajanan keliling. Sehingga keinginan jajan lebih bisa diminimalkan, anak-anak juga terbiasa makan masakan di rumah.
Uang sakunya juga bisa ditabung dan dimanfaatkan untuk hal lainnya yang lebih berguna.
-------
HennieTriana Oberst
DE 11032020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H