Minggu pagi pertengahan musim gugur tahun 2009.
Kami dikejutkan oleh suara telpon. Sudah tidak terlalu pagi sebenarnya, tetapi ini kebiasaan kami untuk menambah jam tidur lebih lama di akhir minggu. Suamiku menjawab telpon singkat dan di akhir kata aku dengar ia hanya mengucapkan kalimat pendek "Iya, kami akan datang segera". Dia lalu duduk, tertunduk lemas, dan mengatakan lirih padaku "Papa telah pergi". Kami akhirnya menangis berdua.Â
Awal musim semi di tahun yang sama Ayahku pergi, sekarang disusul oleh ayah mertuaku. Tak ada waktu untuk berlarut menangisi kepergian ini, kami harus berkemas dan segera menuju ke sana, jarak tempuh dengan mobil sekitar satu setengah jam.
~~000~~
Suasana rumah seperti biasa sepi. Ibu mertuaku (ibu tiri dari suamiku) sedang duduk di sofa ruang tamu ditemani bu Dokter, sahabat keluarga, dan seorang paramedis dari rumah sakit yang memeriksa kondisinya. Beliau tadi jatuh di lantai ruang tamu, jadi dikuatirkan benturan di kepalanya berakibat fatal. Tak kulihat air matanya, tapi kesedihan bisa aku baca di raut wajah dan tatapan matanya. Bukankah tangis yang tertahan itu lebih menyiratkan kepedihan yang luar biasa dan sangat menyesakkan dada.Â
Tidak menunggu lama pengurus jenazah dari sebuah perusahaan yang menangani ini telah hadir, kebetulan pemiliknya (suami istri) yang merupakan sahabat lama ibu mertuaku ini juga ikut hadir, turut mengucapkan belasungkawa. Mereka kemudian pamit setelah urusan selesai dan membawa jenazah untuk persiapan pemakaman.
Ibu mertuaku didampingin suamiku dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa kondisinya lebih rinci lagi. Menjelang sore beliau kembali ke rumah. Aku dan putriku menginap di rumah mertuaku, menemani beliau yang sendiri dalam kondisi sedih dan lemah fisiknya. Ia yang biasanya terlihat sangat fit di usia 70 tahun lebih, hari ini terkulai lemah, serasa berbicarapun ia tak sanggup lagi.Â
Suamiku adalah anak tunggal mereka, walaupun ia bukan lahir dari rahim beliau, bagi suamiku ia tetap memiliki dua orang ibu (ibu kandung dan ibu tiri). Kami lewati malam bertiga, karena suamiku pada Senin pagi itu harus ke kantor beberapa jam dan segera kembali ke rumah orang tuanya. Aku tak bertanya apa-apa pada ibu mertuaku, kubiarkan ia berkisah sendiri.Â
Ayah mertuaku pergi dalam hitungan yang singkat, ketika ibu mertuaku sedang berada di dapur untuk mengambilkan minuman dan obat dan vitamin yang dibutuhkan suaminya. Ketika kembali ternyata suaminya telah tertidur untuk selamanya. Seperti yang dipastikan oleh paramedis yang dipanggil beberapa saat kemudian.
~~000~~
Pagi aku terjaga begitu mendengar suara 'gedebuk' seperti benda jatuh, aku segera lari ke kamar mertuaku. Kulihat beliau terduduk di lantai. Ia terjatuh lagi ketika akan berjalan ke luar dari kamarnya. Aku bantu ia bangun dan menuntunnya kembali ke tempat tidur dan membuatkannya secangkir teh hangat. Yang mengejutkanku, ketika aku memasuki kamar tidurnya, beliau tak mengenaliku dan bertanya padaku,Â
"Kamu siapa?"Â
Aku lihat tangan kanannya sedikit lemah. Jadi aku pesan padanya untuk tetap berbaring dan kalau perlu apa-apa harus panggil aku. Segera kutelfon suamiku yang ternyata sedang dalam perjalanan menuju ke rumah orang tuanya.
~~000~~
Perasaan heran akan kelemahan gerak tangan ibunya ini menyegerakan suamiku untuk menelfon Dokter keluarga dan disarankan secepatnya memanggil ambulance berikut paramedisnya. Ibu mertuaku kembali dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Suamiku yang menemaninya, aku lebih memilih menemani putriku yang masih balita, yang masih tak mengerti apa yang terjadi saat ini. Suamiku kembali setelah beberapa jam. Seperti kekhawatirannya, ibu mertuaku kena serangan stroke, tangan kanan dan bagian tubuh kanannya lumpuh, ia juga pada saat tertentu tak mengenali kami lagi.
Mungkin kepedihan hati dan rasa kehilangan akan kepergian suaminya yang tiba-tiba menyebabkan ia tak kuasa menanggung semuanya. Beliau akhirnya harus tinggal di rumah sakit. Rencana kami adalah mengajak beliau tinggal bersama dengan kami jika ia setuju. Kami belum mengajukan hal tersebut padanya, Â karena hal ini juga butuh pertimbangan yang mungkin tidak gampang baginya untuk memutuskan.Â
Jika ia pindah dan tinggal dengan kami, tentu ia akan berpisah dengan lingkungannya sehari-hari di mana banyak teman, kenalan dan beberapa kerabatnya yang juga tak jauh tinggalnya.
Waktu berbulan-bulan telah berlalu, kondisi ibu mertuaku tidak juga membaik. Beliau juga telah berada beberapa minggu berada di satu klinik yang biasanya diperuntukkan bagi pasien untuk pemulihan setelah operasi atau kondisi khusus lainnya (biasa disebut di Jerman dengan Rehaklinik; Klinik Rehabilitasi). Ibu mertuaku tak mungkin kembali ke rumahnya dan hidup sendiri di sana, juga tak akan mungkin tinggal bersama dengan kami. Kondisi rumah kami yang tidak terdiri dari satu lantai sangat tak memungkinkan, karena beliau harus berada di kursi roda.Â
Akibat lumpuhnya setengah anggota badan beliau perlu seseorang yang siap 24 jam. Keputusan akhir adalah beliau harus tinggal di Panti Wreda, tempat yang diperuntukkan bagi para orang tua lanjut usia. Ada tenaga medis yang akan siap sedia di sana, di samping itu beliau tak akan merasa kesepian.
~~000~~
Setiap akhir minggu kami menuju panti ini. Sebuah bangunan luas berikut tamannya yang tertata sangat rapi dan asri. Biasanya kami datang antara jam makan siang dan sore hari, waktunya menikmati kopi atau teh berikut kue dan cemilan kecil lainnya. Penghuni panti yang berada di gedung yang terdiri atas beberapa lantai ini dibagi-bagi atas beberapa kelompok. Di tiap unit ini terdapat satu ruangan besar untuk bertemu, mengobrol atau hanya menikmati tontonan yang bisa disaksikan pada televisi yang ada di ruangan tersebut, tersedia juga beberapa buku dan majalah di rak yang tidak terlalu besar.Â
Ada ruangan yang lebih luas lagi yang terdapat di sana sebagai ruang makan, dilengkapi dengan meja makan yang besar dan kursi yang cukup juga untuk kerabat dan anggota keluarga yang kebetulan datang mengunjungi mereka. Wajah bahagia dan ceria yang aku lihat ketika mereka mengetahui ada anggota keluarga yang berkunjung ke sana, walaupun itu bukan keluarga mereka. Di panti ini ada banyak kegiatan yang diberikan untuk mengisi hari-hari mereka, seperti senam bersama, menyanyi, merangkai bunga dll, di samping kegiatan utama yang diberikan oleh dokter dan perawat bagi kesehatan para penghuni panti. Seperti ibu mertuaku yang tetap mengikuti latihan untuk menggerakkan dan melatih otot tangan dan kakinya.
~~000~~
Suasana hati yang tak menentu yang aku rasakan jika memasuki panti ini. Penghuni panti adalah para orang tua yang berusia di atas 70 tahun, sebahagian dari mereka memiliki keluarga, tetapi sebahagian lain ada juga yang tidak memiliki lagi. Dari pertemuan dan pembicaraan dengan mereka, aku mendapat kesan bahwa mereka lebih memilih tinggal di panti ini selain pengawasan yang 24 jam, juga mereka bisa menikmati hidup mereka dan melakukan kegiatan sendiri tanpa perlu merepotkan anak-anak mereka ataupun anggota keluarga yang lain.Â
Bagiku sebagai anak, sebenarnya tak ada keinginan menitipkan orang tua di panti ini kalau tidak karena keadaan yang memaksa, seperti yang dialami ibu mertuaku. Tak ada anak yang bermaksud mengasingkan orang tua mereka.Â
Bagi kami ini adalah pilihan sulit tapi yang terbaik bagi ibu mertuaku, karena beliau akan diawasi dan ada tenaga medis yang siaga 24 jam di sana. Seandainya ada orang yang berfikir dan menuding bahwa menitipkan orang tua di panti wreda seperti yang kami lakukan ini adalah satu bentuk dari tidak berterimakasih dan tidak berbakti pada orangtua, pasti prasangka tersebut terjadi karena orang-orang yang menganggap seperti  itu tidak tahu dan tidak berada di situasi sulit yang kami alami.Â
.
-------
HTO - Beijing, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H