Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Kecil untuk Menteri Agama yang Baru, Fachrul Razi

26 Oktober 2019   04:19 Diperbarui: 26 Oktober 2019   06:25 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Untuk saya garis bawahi, ya, saya bukan Menteri Agama Islam. Saya Menteri Agama Republik Indonesia yang menangani bermacam-macam agama."

Itu adalah pernyataan Fachrul Razi, Menteri Agama Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 dalam Dialog Kompas Petang Kompas TV (23/10/2019).

Terima kasih untuk pernyataan itu. Tidak perlu saya menjelaskan mengapa saya berterima kasih, sebab dengan FR memandang perlu mengeluarkan pernyataan itu, maka saya yakin, Beliau mengerti mengapa saya berterima kasih. 

Tidak berpanjang lagi, langsung saja saya menyampaikan satu catatan kecil yang kiranya dapat menjadi masukan dari saya kepada Menag FR, yakni tentang khotbah dan ceramah yang dipublikasikan di media sosial, khususnya Youtube, yang isinya membahas tentang Kitab Suci agama lain. 

Saya tidak tahu di media sosial lainnya, sebab saya sudah lama tidak lagi menjadi pengguna aktif media sosial kecuali Youtube. FB saya gunakan hanya untuk membagikan artikel saya di sini.

IG saya pun demikian. Sesekali saya membagi kata-kata motivasi di situ atau penggalan video Smule saya karena saya juga hobi menyanyi. Lebih-lebih dengan Twitter. Itu nyaris tidak pernah saya gunakan.

Di Youtube saya cukup aktif, sebab banyak berita yang tidak dapat saya saksikan langsung di TV dapat saya lihat tayangannya kembali di saluran Youtube milik media TV, khususnya Kompas TV dengan Live Streaming-nya yang bisa saya tonton di mana saja.

Karena seringnya berselancar di Youtube, saya pun dibuat tercengang-cengang dengan aneka jenis konten yang bebas diunggah ke Youtube seolah tanpa batasan dan tanpa pikir dampaknya. Publik dapat melihat Nikita Mirzani yang memasak di dapur dengan hanya menggunakan bra dan celana dalam. Bebas.

Tidak kalah mencengangkan adalah video-video yang menayangkan khotbah atau ceramah yang isinya tidak hanya membahas ajaran berdasarkan Kitab Suci agamanya, tetapi juga membahas isi Kitab Suci agama lain.

Entah dia adalah seorang Pendeta atau Ustaz atau lainnya, intinya: yang Islam membahas Alkitab dan yang Kristen membahas Alquran.

Dalih yang kerap dipakai adalah itu untuk umat yang seagama dengannya. Akan tetapi, sudah tidak dapat dikatakan demikian, sebab video itu telah menjadi tontonan publik saat itu diunggah ke Youtube dengan pengaturan penontonnya adalah publik.

Karena publik, maka siapa pun bisa menonton itu termasuk penganut agama yang Kitab Sucinya sedang dibahas di situ. Timbullah pertanyaan: "Loh, kok begitu?" atau protes: "Tidak seperti itu!", dan sebagainya.

Kolom-kolom komentar pun menjadi medan perdebatan netizen yang saling membenarkan diri dan saling menertawakan bahkan saling menghujat. Video-video itu kemudian disebarluaskan melalui aplikasi percakapan (Messenger, Whatsapp, dll) dengan keterangan atau kalimat provokatif.

Fatalnya lagi, video-video itu dipotong dengan menayangkan bagian tertentu saja yang diyakini bisa langsung mempengaruhi emosi orang yang agamanya dibahas di video itu.

Video-video seperti itu tidak menyejukkan hati penganut agama yang Kitab Sucinya dipreteli pemahamannya oleh orang-orang yang tidak berkompeten atau tidak lagi berkompeten bicara tentang hal itu.

Ini bukan hal ecek-ecek. Jika hal ini terus saja dilakukan, maka itu seperti merawat bara. Di situ tidak ada mediator. Tidak ada wasit. Media sosial bak arena para gladiator atau ring bagi para petinju yang bertinju tanpa wasit, yang keluar dari situ dengan rasa tidak puas bahkan kemarahan.

Membawa rasa itu ke alam nyata. Mengendap di hati dan pikiran bagaikan magma di perut gunung berapi. Hingga akhirnya, hanya karena perkara kecil bisa menjadi momentum memuntahkan magma kebencian itu menjadi lahar yang menghancurkan kesatuan dan persatuan bangsa ini.

Aktivitas penajaman polarisasi bukan hanya politik tetapi juga agama yang ikut mengasah intoleransi bebas berlangsung di media sosial lewat berbagai status atau postingan atau lewat tulisan-tulisan dan tayangan-tayangan di berbagai media yang dibagikan di media sosial.

Oleh sebab itu, saya berharap, kiranya Menteri Agama yang baru memberi perhatian akan hal ini, karena setiap agama bertumpu pada kebenaran Kitab Sucinya, bukan pada "ketidakbenaran" Kitab Suci agama lain.

Bukankah sebaiknya setiap pembicara agama menggunakan kesempatan publikasi untuk menyampaikan isi Kitab Suci keyakinan agamanya sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu hal-hal apa saja yang diajarkan dalam Kitab Suci agamanya itu?

Ada banyak hal yang dapat dijadikan materi khotbah atau ceramah dari Kitab Suci masing-masing yang sampai akhir zaman tidak akan habis dibahas. Mengapa tidak membahas itu?

Dengan begitu, orang yang tidak tahu menjadi tahu dan yang sudah tahu makin tahu serta makin mengerti dan memahami ajaran agama berdasarkan Kitab Sucinya.

Sebagaimana sudah saya kemukakan pada artikel lain yang terkait dengan ini, bahwa keyakinan akan kebenaran suatu agama hanya dapat dijelaskan oleh agama itu sendiri dan oleh orang yang mengimani agama itu.

Keyakinan akan kebenaran Alkitab hanya dapat dijelaskan oleh Alkitab itu sendiri dan orang yang mengimani apa yang tertulis di dalam Alkitab. Demikian pula, keyakinan akan kebenaran Alquran hanya dapat dijelaskan oleh Alquran itu sendiri dan orang yang mengimani apa yang tertulis di dalam Alquran.

Ketika Alkitab itu dipercakapkan dari sudut pandang Alquran oleh orang yang tidak beriman Kristen atau tidak lagi beragama Kristen dan itu dipublikasikan menjadi konsumsi publik dan apa yang disampaikan itu bertentangan atau tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam keyakinan agama Kristen, maka pergesekan bahkan perlawanan akan hal itu tidak terhindari.

Demikian juga sebaliknya. Ketika Alquran dipandang dari sudut pandang Alkitab oleh orang yang tidak beriman Islam atau tidak lagi beragama Islam dan itu dipublikasikan menjadi konsumsi publik dan apa yang disampaikan itu bertentangan atau tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam keyakinan agama Islam, maka pergesekan bahkan perlawanan akan hal itu pun tidak terhindari.

Namanya agama, itu berbasis iman; percaya; yakin. Membahas isi Kitab Suci tidak dapat dilepaskan dari subjektivitas beriman atau tidak beriman terhadap Kitab Suci tersebut. Tanpa iman, Kitab Suci hanyalah sebuah buku ilmu pengetahuan, bukan ilmu kehidupan di dunia dan di akhirat.

Adalah hak setiap agama untuk menguatkan iman umatnya dengan berbagai cara. Akan tetapi, bila itu sudah terkait dengan agama lain atau Kitab Suci agama lain, maka sebaiknya itu menjadi percakapan dalam lingkup komunitas agama itu sendiri.

Kalau publikasi tersebut dimaksudkan untuk menarik hati penganut agama lain, maka saya kira adalah keliru bila itu dilakukan dengan menghina dan menertawakan suatu agama dengan maksud supaya penganut agama itu meninggalkan agamanya.

Perhatikanlah para penjual di pasar. Mereka menyebutkan harga dan kualitas dagangannya. Mana ada penjual di pasar berteriak-teriak dengan maksud agar orang membeli jualannya dengan berkata: "Pedagang di sebelah jualannya busuk!". Pasti terjadi konflik di situ.

Kalau pun mau menggunakan metode menjatuhkan pedagang lainnya, dia tidak melakukannya dengan berteriak hingga didengar oleh pedagang lain, tetapi berbisik, "Bu, jangan beli ikan di situ. Ikannya busuk". Itu lebih dapat menarik langganan orang lain.

Tentu saya tidak menyarankan metode itu. Itu hanya contoh, bahwa jika ingin menjual, sampaikan kualitas jualan Anda. Itu jauh lebih dapat menarik minat pembeli. Apalagi bila Anda menyampaikan dengan cara yang baik dan tutur kata yang sopan. Itu lebih simpatik lagi.

Akan tetapi, bila Anda menjual dengan menghina jualan penjual lain dan mengejek apalagi dengan menertawakan disertai kata-kata tidak pantas, saya kira, orang juga tidak bodoh. Yang ada orang akan berkata, "Tidak baik sekali orang ini! Mau jualan saja harus menghina orang".

Kalau diperhatikan, orang berpindah agama itu bukan karena mendengar atau menonton khotbah atau ceramah yang berisi penghinaan terhadap agama lain. Justru orang menjadi tertarik pada suatu agama ketika ajaran agama itu tersampaikan dengan cara yang menyentuh hatinya.

Bertahan dengan strategi membahas Kitab Suci agama lain apalagi mengandung penghinaan untuk membuat orang tertarik kepada suatu agama justru akan merusak citra agama itu sendiri.

Demikian catatan kecil saya yang kiranya mendapat perhatian dari Menag yang baru. Main-mainlah sesekali ke Youtube, Pak Menag. 

Salam. HEP.-

Baca juga: Berpindah Agama Bukan untuk Menjelekkan Agama Sebelumnya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun