Kemampuan berempati tergolong ke dalam kecerdasan emosi. Seperti semua orang tidak cerdas intelektual, maka tidak semua orang juga cerdas emosional.
Oleh sebab itu, tidak semua orang dapat berempati, kecuali pernah mengalami hal yang kurang lebih sama atau memiliki karunia untuk itu atau belajar untuk itu. Bagi umat Kristiani, "menangislah dengan orang yang menangis" harus menjadi target pencapaian kerja kasih.
Setidaknya, semua orang dapat bersimpati, sebab simpati adalah sifat dasar kemanusiaan. Simpati dengan kata sýn, yakni "dengan", menempatkan manusia di samping manusia lainnya. Ada bersama manusia sebagai sesama manusia.
***
Apakah dengan mengulas ini, maka itu berarti kita telah lebih sehat pikiran dan perasaan atau lebih cerdas emosi daripada HR, IPDL, LZ, dan FS? Tidak!
Apa yang empat sekawan itu lakukan justru sedang mengingatkan kita untuk bercermin diri tentang kesehatan pikiran dan emosi kita.
Pikiran negatif itu tidak sehat sama seperti iri hati, sombong, benci, dan penyakit hati psikis lainnya.
Apalah artinya beroleh kemuliaan yang bersifat lahiriah semata sementara kita kehilangan elok di mata-Nya karena mulut kita, perilaku kita; sifat; tabiat, dan segala perbuatan kita, yang semua berakar dari pikiran dan perasaan yang tidak sehat.
Setiap peristiwa membawa pesan Ilahi kepada yang mengalaminya, tetapi itu juga menjadi peringatan bagi semua manusia. Hal yang sama bisa saja terjadi pada siapa saja.
Hidup bukan saja tentang bagaimana kita dan Tuhan, tetapi juga bagaimana kita terhadap sesama kita manusia apalagi yang sedang mengalami derita oleh berbagai kenyataan hidup.
Hari ini mereka yang menangis, mungkin esok kitalah yang menangis.