Mendiang meninggalkan rumah dalam kondisi masih hidup. Ia kembali ke rumahnya dengan tak bernyawa lagi. Tetesan air mata kerap tidak tertahankan lagi bahkan raungan pilu juga mengambil tempatnya di situ, baik dari keluarga yang ikut bersama di ambulans maupun keluarga yang menyambut jenazah di rumah.
- Saat kedatangan orang terdekat dari mendiang.
Entah anak, saudara, orangtua, maupun sahabat, teman, rekan kerja, dan sebagainya, yang diketahui dekat secara pribadi dengan mendiang, yang sebelumnya tidak ada pada saat mendiang menghembuskan nafasnya yang terakhir.Â
Suasana yang tadinya sudah jauh lebih tenang tiba-tiba riuh kembali oleh suara tangisan dan jeritan pilu dengan kedatangan orang-orang tersebut.
- Saat peti jenazah akan ditutup.
Inilah momen yang paling "tidak diinginkan" oleh keluarga, khususnya oleh anak atau orangtua dari mendiang.
"Jangan ditutup....", suara itu terdengar di sela ratapan yang menyayat hati sambil memeluk tubuh orang yang sangat disayanginya yang telah membeku itu atau bertahan memegang pinggiran peti jenazah sambil mencegah orang-orang yang bertugas menutup peti itu.
- Saat jenazah mulai diturunkan ke liang lahad
Ini pun memberi rasa yang tidak kalah pilunya yang mengalirkan air mata, tatkala melihat mendiang yang tadinya ada bersama di alam kehidupan harus diturunkan ke dalam liang "lahad" [KBBI] - bukan "lahat", tempat di mana semua yang hidup (manusia) tak mungkin lagi bisa ada di situ bersamanya.
- Saat liang lahad mulai ditimbuni tanah.
Bagaimana mungkin ia kini harus ada di situ? Ditimbuni tanah. Sendirian. Tak berteman. Itulah saat paling akhir memandang keberadaannya. Â Sejauh mata memandang ia tak ditemukan lagi.