Saya tamat Sekolah Tinggi Teologia Indonesia bagian Timur (STT INTIM) Makassar pada tahun 1997. Majelis Sinode Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (GEPSULTRA) menempatkan saya di Jemaat Tisarahi, yang berjarak 162,4 km dari kota Kendari, yakni di Desa Taubonto Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Sedikit tentang Bombana, lihat: Lako Mesikolah, Lagu Moronene Sulawesi Tenggara
Untuk apa saya ditempatkan di situ? Untuk menjalani masa vikariat atau masa persiapan menjadi seorang Pendeta. Pribadi yang menjalani masa vikariat disebut Vikaris. 'Vikaris' berasal dari kata Latin 'vicarius' atau 'vikaria', yang artinya wakil; pengganti; pembantu; penjabat.
Melinda Zidemi menyandang gelar Vikaris. Ia telah kurang lebih enam bulan menjalani masa vikariatnya di salah satu jemaat dari Gereja Kristen Injili Indonesia (GKII) di desa Bukit Batu Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan.
Masa vikariat adalah prasyarat yang harus dijalani oleh seorang yang hendak menyandang jabatan gerejawi selaku Pendeta. Seseorang tidak dapat ditahbiskan atau diteguhkan menjadi Pendeta bila belum melalui masa itu. Standar waktu yang diberikan umumnya adalah dua tahun.
Setelah dua tahun, Vikaris menjalani berbagai tes atau ujian. Jika lulus, ia kemudian diajukan untuk dapat diteguhkan menjadi Pendeta. Namun, bila belum lulus, ia harus kembali menjalani perpanjangan masa vikariat untuk mengikuti lagi ujian pada dua tahun kemudian. Seorang teman saya menjalani masa vikariatnya hingga empat tahun.
Kegagalan tes Vikaris umumnya ada pada hasil psikotes. Persolan psikis. Mental. Mentalitas. Hal mentalitas adalah poin penting dan mendasar bagi seorang Pendeta, sebab seorang Pendeta tidak bekerja dengan kertas, tetapi dengan manusia-manusia yang memiliki seribu satu karakter. Jumlahnya tak hanya satu, melainkan sekian banyak jiwa apalagi jemaat dengan jumlah anggota yang besar.
Semua itu dipercayakan Tuhan kepadanya untuk dituntun atau digembalakan dengan kasih agar menjadi manusia-manusia yang mengasihi manusia dan mengasihi Tuhan serta segala ciptaan-Nya.Â
Hal mentalitas juga penting untuk menghadapi tantangan yang datang dari luar jemaat. Seorang Pendeta tidak bertumpu pada cerdas pikir, tetapi cerdas hati. Tidak hanya memiliki daya tahan tubuh, tetapi terutama berdaya tahan hati.
Itulah juga salah satu dasar pertimbangan seorang Vikaris di tempatkan di jemaat yang ada di perdesaan, yakni gereja yang jumlah anggotanya jauh lebih kecil dari yang ada di kota. Vikaris harus melatih dirinya pada lingkup yang kecil terlebih dahulu.
Pada saat yang sama, seorang Vikaris terlatih untuk tidak hidup dalam kemudahan dan kenyamanan dalam hal medan pelayanan dan ketersediaan fasilitas yang lengkap seperti mereka yang hidup di kota.
Apalagi pada zaman saya menjadi Vikaris. Ketika ban motor kempes, saya harus mendorong motor itu sejauh 5 km untuk mendapati tempat tambal ban. Jalanan sepi bukan aspal. Di kiri kanan hanya hutan belukar. Tidak rata, tetapi naik turun. Saya mendorong motor itu sendirian.
Saya pun sudah biasa bangun di pagi hari dengan lubang hidung hitam sebab pada saat itu listrik belum masuk ke desa itu. Kami menggunakan lampu minyak buatan "dalam negeri", yakni lampu dari kaleng bekas minuman dengan sumbu kompor dan minyak tanah.Â
Rumah-rumah jemaat tidak semua di sekitar lokasi gereja. Jarak satu rumah ke rumah lainnya berjauhan. Ada yang tinggal di persawahan. Ada yang di gunung. Tak bisa dengan kendaraan. Sepeda pun tidak. Hanya dengan kaki.
Untuk daerah persawahan, biasanya saya memakai sepeda. Memarkir sepeda di rumah penduduk, lalu masuk berjalan kaki melintasi hutan kecil menuju ke rumah mereka yang berada dekat dengan sawah atau di tengah sawah.
Terkait sawah, saya tidak akan pernah lupa, bagaimana suatu ketika, pada waktu lewat tengah malam, saya melihat dari kejauhan api besar menyala di sebuah rumah jemaat di tengah sawah.
Di kolong rumah mereka ada tumpukan gabah kering. Lampu minyak yang mereka gunakan jatuh ke kasur. Api sulit dipadamkan karena berkarung-karung gabah kering di bawah kolong rumah itulah yang membuat api menjadi begitu besar dan melahap habis seluruh rumah sawah itu.
Saya berteriak minta tolong, tetapi tidak ada satu pun orang yang mendengar karena rumah penduduk berjarak sekian kilometer. Hanya saya dan sepupu saya, namanya Noce -- Saya akan mengirimkan artikel ini ke dia. Pasti ia pun tidak melupakan peristiwa tragis nan pilu itu.
Tergopoh-gopoh dengan beberapa kali terjatuh di sawah karena pematang yang licin, tidak perduli! Dengan badan yang telah berlumpur sawah, saya terus saja berlari menuju pusat api dengan mengangkat rok panjang yang saya kenakan. Gelap. Hanya cahaya api yang memberi sinaran bagi kami melihat tumpuan kaki kami.
Kira-kira berjarak 10 meter, tetiba saya mendengar suara letupan yang sangat keras. Terlihat sang ibu lari ke luar dengan menggendong bayi. Sedangkan, suaminya, karena panik, berlari ke luar dengan bantal guling di tangannya. Setelah sadar itu bukan anak perempuannya, ia masuk ke dalam api hendak mengambil anak sulungnya itu.
Namun, putri kecil, yang rajin ke Sekolah Minggu itu, telah pergi. Ternyata, letupan yang terdengar seperti dentuman bom itu adalah ledakan kepala gadis kecil yang berumur 9 tahun yang terkurung di dalam api. Ah, air mata saya menitik. Menulis ini mengembalikan ingatan saya pada peristiwa itu.
Untuk pertama kali dalam hidup saya, saya harus menguburkan anak manusia yang tidak lagi berwujud manusia. Hati saya serasa hancur melihat kenyataan itu. Namun, tugas harus saya lakukan.
Itulah pelayanan duka dan penguburan pertama yang saya lakukan sebagai seorang yang memberi diri menjadi hamba-Nya dengan status awal Vikaris. Sedangkan, pelayanan duka dan penguburan yang saya lakukan pertama kali sebagai Pendeta adalah memakamkan seorang Ibu yang meninggal dalam keadaan mengandung.
Pada dasarnya, kerja seorang Vikaris secara umum adalah kerja seorang Pendeta. Yang belum bisa dilakukan oleh Vikaris adalah melayani Sakramen, yakni Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus, peneguhan, dan pemberkatan.
Hanya itu yang belum bisa dilakukan oleh seorang Vikaris. Sebab, untuk bisa melakukan itu, Vikaris harus diurapi terlebih dahulu dengan melalui prosesi pentahbisan Pendeta.
Oleh sebab itu, seorang Vikaris dalam pelayanannya hanya menggunakan stola (lihat stola warna hijau yang dikenakan oleh Vikaris Melinda pada gambar tajuk). Pada saat telah ditahbiskan, barulah toga (pakaian jabatan pendeta) dapat dikenakan.
Dua tahun saya menjalani masa Vikariat (1997-1999). Minggu, 16 Mei 1999, saya ditahbiskan menjadi Pendeta. Baru akan 20 tahun pada 16 Mei 2019 ini. Puji Tuhan.Â
Setelah ditahbiskan, seorang Pendeta harus membuat laporan kerja masa vikariat. Di bawah ini laporan kerja saya pada waktu itu dan foto tahun 1999. Saya kehilangan foto asli atau mungkin masih ada, sebab semua itu sudah digudangkan. Harus membongkar seluruh barang peninggalan orangtua untuk menemukannya.
Masa vikariat seperti itulah yang tengah dijalani oleh Melinda Zidemi. Akan tetapi, ia tewas di tangan dua pria pemerkosanya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah Tuhan.
Oleh kasus ini, ada orang yang memberi catatan agar perempuan Vikaris tidak ditempatkan di perdesaan. Saya kira, tidak begitu juga. Akan tetapi, memang, hal kondisi medan pelayanan terkait keamanan harus menjadi perhatian pihak Sinode.Â
Bagi Vikaris sendiri, jika hendak bepergian dengan melalui daerah sepi atau hutan kecil, sebaiknya minta ditemani oleh orang dewasa. Jangan abai bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Bangunlah hubungan yang baik dengan siapa saja agar tidak menjadi asing bagi masyarakat.
Majelis Jemaat di mana seorang perempuan Vikaris bertugas di gerejanya sebaiknya menyiapkan orang-orang yang mendampingi Vikaris saat harus bepergian melalui daerah-daerah yang sepi apalagi rawan.
Lebih dari semua itu, "Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN." (Yesaya 55:8). Tidak semua calon Pendeta atau Vikaris mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Melinda. Jalan hidup setiap manusia berbeda.
Cara pulangnya memang mengenaskan, tetapi hidup Melinda Zidemi tidaklah mengenaskan. Ia pergi dalam keadaan sedang di masa pemberian dirinya menjadi hamba Tuhan. Percayalah, jika manusia tahu memberi apa yang baik bagi orang yang mengerjakan hal yang baik, apalagi Tuhan.
Turut berduka yang amat sangat, tetapi dengan pengharapan yang teguh kepada kepada Sang Pencipta, bahwa Melinda Zidemi telah damai bersama-Nya. Roh Kudus menguatkan dan menghibur keluarga dan jemaat yang ditinggalkan.
Selamat jalan, Vikaris Melinda. Sampai bertemu di sana.
Shalom. HEP.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H