(1) Kalau penyiar dan penyebar hoaks tidak tahu atau tidak menduga atau tidak mengira atau tidak menyangka bahwa berita yang disiarkannya dan disebarkannya adalah berita bohong, maka ia bisa lepas dari jeratan UU ini, khususnya  Pasal 14 UU RI No 1 Tahun 1946 Ayat 2.
Publik justru menjadi tidak meragukan berita itu karena siapa dulu yang bicara!! Maka, timbullah reaksi dari masyarakat, bahkan pengumpulan massa.
Dan, itu juga yang dijadikan dalih oleh mereka, bahwa mereka tidak menyangka RS bohong.
Oleh sebab itu, seharusnya UU ini tidak memberi peluang kepada "menyangka", melainkan tegas menyatakan bahwa tidak boleh menyiarkan dan menyebarkan suatu berita tanpa melalui proses konfirmasi akan kevalidannya.Â
(2) Hanya tidak boleh bila "tanpa hak menyebarkan informasi" (pasal 28 UU ITE).Â
Maka, mereka semua bebas. Mengapa?
- Karena semua berkata "tidak menyangka" itu bohong.
- Penyiaran hoaks melalui media sosial yang mereka lakukan termasuk jumpa pers yang dilakukan oleh Prabowo, mereka nyatakan memiliki dasar ijin dari RS sendiri. Artinya, mereka "mendapat hak" untuk menyebarkan informasi itu.
Kedua UU ini memiliki kelemahannya di sini. Terbukti, mereka yang notabene menyiarkan hoaks itu menjadi konsumsi publik malah bebas dari dua UU itu hanya karena "tidak menyangka" itu bohong dan karena "mendapat hak" dari RS untuk menyebarkan hoaks itu.