Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Bab 3 Pasal 9 butir d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Abu Bakar Ba'asyir (ABB), narapidana kasus terorisme di Indonesia, telah menjalani tujuh setengah tahun hukuman dari vonis lima belas tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Juni 2011.
Dan, sekarang sedang semarak wacana pembebasan ABB dengan alasan kemanusiaan karena pria kelahiran Jombang 17 Agustus 1938 itu telah berusia 80 tahun.
Seorang narapidana memang memiliki hak mendapatkan pembebasan bersyarat. Demikian termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Bab III Pasal 14 Butir k.
Walau demikian, pembebasan bersyarat harus tetap mengikuti prosedur hukum yang berlaku, baik syarat substantif maupun syarat administratif yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2013 dan juga Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Megunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Namun, ABB tidak mau menandatangani dokumen pembebasan bersyarat yang salah satunya mencantumkan syarat pernyataan setia pada Pancasila dan UUD 1945.
Pihak kuasa hukum ABB, Muhammad Mahendradatta, menjelaskan, bahwa alasan ABB tidak mau menandatangani dokumen pembebasan bersyarat itu adalah pernyataan-pernyataan yang harus ditandatangi oleh ABB itu berada dalam satu ikatan dokumen macam-macam di mana di dalamnya termuat poin yang ditolak oleh ABB, yakni mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi tindak pindana yang pernah dilakukan.
Bila ABB menandatangani, maka itu berarti ABB mengakui kesalahannya. Sementara, ABB bersiteguh, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana yang divoniskan kepadanya [sumber].
Saya tidak mau mengomentari hal ABB tidak mengaku bersalah, walau pengadilan telah menyatakan ABB terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Itu urusan ABB dan Sang Pencipta Yang Mahatahu.
ABB boleh saja tidak mau mengaku bersalah, tetapi ABB harus membuktikan, bahwa yang tidak disetujui olehnya hanyalah hal mengaku bersalah dan tidak akan melakukan tindak pidana yang sama.
Poin pernyataan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 seharusnya dipisahkan dari poin lainnya dengan dasar hukum UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Jangan berdalih dokumen bertumpuk persyaratan!! Ini lebih penting daripada sekadar tidak mau mengaku bersalah.
Sebab, salah satu syarat menjadi WNI adalah mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, pertanyaan saya:
1. Bila ABB tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945, maka masih pantaskah ABB menyandang status kewarganegaraan Indonesia?
Bukankah suatu organisasi masyarakat disebut dan dibubarkan dengan dasar, pertama-tama dan utama, adalah karena tidak mengakui Pancasila sebagai dasar NKRI? Maka, jika seorang WNI dalam perjalanan hidupnya tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945, apakah status WNI-nya tetap saja boleh disandangnya?
2. Bila ABB bisa tetap WNI tanpa mengakui Pancasila dan UUD 1945, maka apakah itu berarti semua orang bisa menjadi WNI tanpa harus mengakui Pancasila dan UUD 1945??
Pembiaran ABB berstatus WNI tanpa pengakuan terhadap Pancasila dan UUD 1945 akan menjadi preseden buruk! Mereka yang memang sudah ingin menggantikan Pancasila dan UUD 1945 dengan dasar pilihan kelompok sendiri akan mengikuti cara ini.
Pemerintah harus bertindak tegas akan hal ini. Pun bila ABB batal dibebaskan, hal MENGAKUI PANCASILA dan UUD 1945 dari ABB harus jelas di mata hukum dan masyarakat.
Bagaimana mungkin membebaskan orang yang oleh putusan pengadilan sudah terbukti sah dan meyakinkan ikut terlibat dalam tindakan terorisme sementara ia sendiri berkukuh tidak bersalah dan pada saat yang sama juga tidak mau mengakui Pancasila dan UUD 1945?
Bahkan, WNI yang terbukti terhisab dalam ormas tolak Pancasila yang sudah dibubarkan harus pula membuat pernyataan pribadi kembali mengakui Pancasila dan UUD 1945.Â
Sebab, hal kewarganegaraan adalah pribadi bukan organisasi saja. Organisasinya dibubarkan tetapi tidak berarti pribadi-pribadi anggota ormas itu berubah pikiran.
Satu demi satu pribadi anggota ormas itu harus menandatangani pernyataan setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Jika tidak mau, cabut kewarganegaraan Indonesia-nya, sebab status WNI bersyarat mutlak mengakui Pancasila dan UUD 1945.
Jangan sampai ada fakta membuktikan, bahwa di Indonesia Anda bisa tidak suka dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi Anda boleh tetap WNI.
Salam. HEP.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H