Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Oknum "Hipermetropia"

30 Desember 2018   12:09 Diperbarui: 9 Februari 2019   06:56 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam dunia kesehatan, hipermetropia atau hiperopia adalah gangguan pada mata yang membuat manusia tidak bisa melihat objek dekat dengan jelas, tetapi sebaliknya objek yang jauh terlihat jelas. Singkatnya, jelas melihat jauh, kabur melihat dekat. Oleh sebab itu, ini sering disebut rabun dekat.

Rabun dekat ini ternyata tidak hanya terjadi pada mata fisik manusia. Banyak orang yang mata jasmaninya sehat-sehat saja, tetapi tidak demikian halnya dengan mata psikisnya. Ia sangat jelas melihat diri orang lain, tetapi sebaliknya ia kabur melihat dirinya sendiri.

Orang jenis "hipermetropia" ini bisa sangat cermat melihat kekurangan orang lain, jeli memandang kelemahan orang lain, dan teliti menemukan kesalahan orang lain, tetapi sayang sekali, lamur memandang kekurangan, kelemahan, dan kesalahan diri sendiri.

Kita sedang diperhadapkan dengan masalah yang tidak bersifat fisik belaka, yakni bukan hanya soal makan dan minum, kerja dan uang, miskin dan kaya saja, dan lainnya.

Masalah yang lebih besar dari semua itu justru ada pada diri manusia sendiri, yakni mentalitas (keadaan dan aktivitas keadaan jiwa [batin], cara berpikir dan berperasaan).

Korupsi bukan perkara miskin atau kaya. Korupsi adalah masalah mental manusia! Ada banyak orang miskin di dunia ini yang tidak mencuri untuk hidup. Ada banyak pekerja bergaji kecil tetapi tidak korupsi meski ia punya kesempatan untuk itu.

Juga, bagaimana negara bicara tentang peningkatan produktivitas kerja dan usaha bila para pekerja bermental pemalas dan bekerja hanya demi gaji?

Andai saja motivasi menjadi pegawai dan karyawan bukan semata-mata demi gaji tetapi adalah karena mau ikut membangun negara ini lewat kerja dan karya, maka saya yakin, tidak ada pegawai yang hanya datang absen, lalu keluyuran, dan datang absen lagi tanda jam pulang untuk terima gaji utuh. Ini persoalan mentalitas!

Semua aspek pembangunan bangsa ini dikerjakan oleh MANUSIA. Negara ini akan maju atau tidak, bersatu atau terpecah, punah atau tidak, itu ada pada manusia-manusia di negara ini!

Bagaimana bisa membangun negara ini bila kita terpecah belah? Bagaimana membangun negara ini kalau hanya saling mencemooh, saling menuding, saling menyepelekan, saling menjatuhkan, dan sebagainya? Apa yang didapatkan dari semua itu?

Setiap hari kita menyaksikan oknum-oknum yang hanya jago mencermati kekurangan orang lain, tetapi tidak sadar bahwa ia sedang menderita "hipermetropia"!

Dalam kehidupan sehari-hari pun demikian. Tidak sedikit kita bertemu dengan manusia "rabun dekat". Oknum-oknum jenis ini sangat suka membicarakan orang lain, anak orang lain, rumah tangga orang lain, atau lainnya. Lalu, bagaimana dengan diri sendiri, anak sendiri, rumah tangga sendiri, dan lainnya?

Sepertinya kita perlu bercermin dari kalimat Oscar Wilde ini:

"I don't want to go to heaven. None of my friends are there."

"Saya tidak ingin ke surga. Tidak ada teman-teman saya di sana." 

Lebih baik menyadari diri adalah orang berdosa daripada menganggap diri orang benar. Menyadari diri punya kekurangan, kelemahan, dan kesalahan akan melatih kita menjadi pribadi yang rendah hati dan berhati-hati dalam menilai orang lain.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengajak kita bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Negara ini sudah 73 tahun tetap berdiri tegak dengan fakta tak terkiranya kekurangan, kelemahan, bahkan kegagalan! Lagipula, kita bukan baru miskin hari ini. Kita sudah memiliki kemiskinan ini dari awal negara ini berdiri! Punahkah negara ini?

Terbukti sampai detik ini NKRI tetap berdiri sebagai negara yang tak kalah berdaya saing dengan negara-negara lain di dunia oleh karena Tuhan Yang Mahaesa menolong manusia-manusia di dalamnya dengan bersatu padu membangun negara ini perlahan namun pasti dalam kebinekaan!

Sudah 73 tahun usia negara ini dengan bukan Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Lalu, misalnya, bila Prabowo dan Sandiaga Uno tidak terpilih apakah negara ini akan punah? Mengapa tidak punah dari kemarin? Mengapa baru akan punah jikalau bukan mereka Presiden dan Wapres? Atau, siapa sebenarnya yang akan memunahkan negara ini?

Menutup tulisan ini, mari simak "Kejujuran" Iga Mawarni ini:

Mengapakah di hati kita masih saja s'lalu ada dusta yang selalu kita lakukan dengan sadar dan tanpa ada rasa sesal.

[*] Apalagi kalau ada benci, rasa iri hati dan dengki. Tanpa kau lihat siapakah dirimu. Bersihkan pula hatimu. 

[Refrein] Marilah dengan jujur kita mengakui kelemahan dan kesalahan diri. Bersihkan jiwa dari noda dan goda. Nyatakan rasa sesal di hati.

Walau Tuhan Maha Pengasih, janganlah kita penuhi kepalsuan dalam dunia ini, keserakahan nafsu duniawi. [Refrein, *]

#RefleksiAkhirTahun2018.

Salam. HEP.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun