Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uang Itu Penipu dan Pengkhianat!

13 November 2018   20:03 Diperbarui: 30 Januari 2019   01:24 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: markinternational.info

Uang adalah benda mati. Manusialah yang membuat benda mati menjadi ada artinya, ada gunanya, ada fungsinya, ada nilainya, dan ada harganya. Benda mati tidak punya arti apa-apa hingga manusia memfungsikannya.

Tanpa manusia, uang tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa manusia, uang sama sekali tidak berguna. Tanpa manusia, uang hanyalah tumpukan kertas yang tidak bernilai apa-apa.

Lalu, bagaimana uang dan harta kekayaan yang adalah benda-benda mati itu bisa mengatur hidup pemiliknya bila benda-benda itu tidak dapat mengatur dirinya sendiri? Bagaimana uang dapat memastikan hidup manusia sementara dia sendiri tidak punya hidup?

Bagaimana uang bisa memperpanjang hidup manusia sementara ia sendiri tidak punya nafas? Dan, bagaimana mungkin manusia bergantung kepada uang sedangkan uang justru bergantung kepada manusia?

Tak beda dengan manusia menggantungkan dirinya pada sebilah lidi. Lidi patah, manusia jatuh. Demikianlah banyak manusia menggantungkan dirinya pada uang dan jatuh.

Jatuh ke dalam kesombongan dan kecongkakan. Jatuh ke dalam kekuatiran, kecemasan, dan ketakutan. Jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan. Jatuh ke dalam berbagai pelanggaran dan dosa.

Fakta bahwa uang adalah benda mati kemudian menjadi terbalik. Manusia menjadi seperti benda mati yang tak dapat bergerak tanpa uang. Uanglah yang menggerakan manusia. Uang telah menjadi penggerak roda kehidupan di dunia.

Uang seolah menjadi nafas kedua manusia sebab segala yang diperlukan guna kelangsungan hidup manusia di dunia memerlukan uang. Tanpa uang manusia tak bisa makan. Tanpa uang manusia tak berpakaian, tak berumah, tak punya apa-apa.

Kehidupan harus ditukar dengan uang. Ada uang, ada kehidupan. Uang sukses meyakinkan manusia, bahwa padanyalah ada jaminan kelangsungan, kesejahteraan, dan kenyamanan hidup manusia.

Oleh sebab itu, mencari dan mengumpulkan uang menjadi tujuan manusia. Dengan memiliki uang sebanyak-banyaknya manusia meyakini hidupnya akan senang, aman, dan terjamin.

Manusia begitu percaya ia akan baik-baik saja dengan uang dan karena uangnya. Ia mengira uangnya bisa mempertahankan senyuman di bibirnya. Ia menyangka uangnya bisa mencegahnya dari air mata, kesakitan, dan kematian.

**

Ninoi, sebut saja demikian, adalah seorang ASN bergaji belasan juta rupiah dengan banyak bonus dan kejutan uang plus-plus. Sudah beberapa bulan terakhir Ninoi tak dapat lagi ke kantor. Ia tiba-tiba menderita sakit yang membuatnya harus bolak balik ke Rumah Sakit.

Berat badannya turun drastis. Orang yang mengenalnya akan terkejut bila melihat kondisi tubuhnya itu. Sinar bola matanya redup dan menghampa. Tubuh yang dulu kokoh berdiri telah lemah. Ninoi terlihat seperti orang yang telah berusia lanjut.

Ninoi adalah salah satu dari banyak manusia yang beroleh kenikmatan hidup karena kekayaan dan menjadi sombong dengan itu. Ia kerap menghina orang lain yang dipandangnya tidak punya kekayaan seperti dirinya.

Ia juga kerap bangga karena punya gaji dan bakal menerima pensiun yang besar. Memang, jika ia menerima sekaligus, uang pensiunnya akan berbunyi "nyaring". Ia begitu bangga akan hal itu sehingga kerap berucap: "Saya punya gaji kog! Saya nanti punya pensiun!".

Masa pensiun memang sudah di ujung mata, tapi Ninoi telah tampak kuyu. Ia tak bisa ke mana lagi, tak bisa makan, tak bisa menikmati hidupnya seperti dulu saat ia begitu pongah akan uang dan status orang kaya pada dirinya.

Ninoi kerap menghina seseorang: "kurus kering!". Menyebut orang yang tidak punya kekayaan seperti dirinya adalah "Gembel!". Menuduh orang lain makan dari uangnya seolah Tuhan tidak sanggup memberi makan enak Si Gembel yang dihinanya.

Badan Ninoi menipis seperti hinaannya. Makanan seenak dan semahal berapa pun tak bisa masuk ke perutnya. Berbagai kata-kata hinaannya seakan kembali kepada dirinya sendiri. Waktu yang tersisa berlalu dengan derita kesakitan dan ketidakberdayaan.

Uangnya tidak berdaya apapun kecuali mengantarnya ke dokter dan memberinya bermacam jenis obat. Uangnya tidak dapat mengembalikan tidurnya yang nyenyak. Uangnya hanya bisa menyediakan makanan, tetapi uangnya tak dapat membuatnya menelan makanan itu.

Uang yang dibanggakannya ternyata tak berkuasa memupus rasa takutnya akan maut. Uangnya bahkan hanya bisa menjadi rangkain bunga indah nan harum di pusaranya.

Uang yang dipercayainya telah menipunya bahkan mengkhianatinya!

Salam. HEP.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun