Adalah menarik bahwa gedung gereja dapat dibangun dengan ratusan juta bahkan miliaran rupiah, tetapi masih banyak warga jemaatnya hidup di batas bahkan di bawah garis kemiskinan.
Jika berkat Tuhan sebanyak itu hanya untuk membangun bangunan mati, maka apalah artinya semua itu? Sebab, gedung itu akan hancur bersama dunia ini.
Andai saja berkat Tuhan sebanyak itu dikelola sedemikian rupa untuk membantu jemaat memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, maka bukankan itu yang diinginkan Tuhan?
Bukankah pesan-Nya lewat nabi Yesaya:Â
"Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!" (Yesaya 58:6-7) ?
Dan, bukankah Yesus Kristus sendiri berkata:
"Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. ... Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku." (Matius 25:35-36, 45) ?
Menara itu sudah hampir menyentuh langit, tetapi masih ada jemaat merayap mencium tanah demi bertahan hidup di tengah kesusahan. Untuk apa semua kemegahan dunia itu, sementara ada jiwa-jiwa yang terhimpit beban hidup?
Upaya perbaikan ekonomi dan pengentasan kemiskinan juga adalah tanggung jawab gereja bagi warganya. Gereja harus memerhatikan kehidupan ekonomi jemaatnya dan memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan jemaat. Gereja harus terus berpikir bagaimana membawa jemaatnya kepada kehidupan yang lebih layak.Â
Bukan sebaliknya, hanya mengharapkan persembahan dari jemaat tapi tidak ikut memikirkan bagaimana mereka mendapatkan uang persembahan itu. Padahal sumber utama keuangan gereja adalah dari persembahan jemaat.Â
Jika gereja hanya mau persembahan jemaat, menetapkan iuran ini itu, sampul syukur ini itu, tetapi gereja itu sendiri tidak peduli dengan kehidupan ekonomi jemaatnya, maka itu tidak beda seperti sapi-sapi di peternakan yang hanya terus diperah susunya tanpa peduli dengan makan dan minum serta segala yang terkait dengan hidup sapi-sapi itu.