Sebelumnya: Bagian 1Â
Malam yang Mengenaskan
Senin, 30 Mei, papi merasa agak pusing. Ia memutuskan untuk periksa ke dokter. Saudara yang tinggal di rumah mengambilkan nomor antrian agar papi tidak harus lama menunggu di ruang tunggu praktik dokter. Sedianya kakak saya akan mengantar papi. Akan tetapi, ia harus pulang dahulu ke rumahnya untuk kembali menemani papi ke dokter.
Sembari menunggu, papi duduk di teras rumah. Apa yang ia lakukan? Membaca Alkitab. Itulah papi. Namun, baru kurang lebih pukul 18.00 Wita, papi memutuskan untuk segera jalan menuju ke dokter tanpa ditemani kakak saya. Mungkin, karena alamat praktik dokter tidak jauh dari rumah, maka papi memilih naik angkutan umum (angkot) meski saat itu cuaca gerimis.
Mami berbaring di kamar. Tak dapat lagi menemani papi seperti biasanya. Itulah sesungguhnya pergumulan kami saat itu. Mami sakit. Ia menderita Kanker Payudara Stadium IV dan belum lama kembali dari Makassar menjalani kemoterapi pascaoperasi. Siapa yang sakit, siapa yang pergi. Itulah kedaulatan Tuhan.
Dengan payung kecil di tangannya, papi berjalan ke luar dari rumah menyusur jalan pemukiman warga menuju ke jalan raya di mana ia akan naik angkot dari situ ke dokter. Sampai di situ, kisah detik-detik terakhir papi di rumah, kami ketahui dari kesaksian saudara yang tinggal di rumah.
Ia tidak dapat menemani papi karena harus menemani mami di rumah. Kami dua bersaudara, yakni saya dan kakak saya. Kakak sudah berkeluarga. Ketika itu saya sedang studi Pascasarjana di Tomohon, Sulawesi Utara.
Kisah selanjutnya kami peroleh dari kesaksian bapak-bapak tukang ojek di pangkalan ojek yang letaknya tidak jauh dari TKP, yakni di jalan raya tepat di depan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Beberapa di antara bapak tukang ojek itu mengenal papi. Kata mereka, papi terlihat berdiri di pinggir jalan dengan memegang payung kecil di tangannya kemudian bergerak menyeberang jalan.
Tiba-tiba papi berhenti di tengah, yakni tepat di garis putih pembatas dua jalur jalan raya itu. Di situ garis putihnya tidak putus-putus melainkan bersambung. Artinya, di situ kendaraan tidak boleh melambung kendaraan di depannya.
Mendengar bapak itu menyebut garis putih pembatas jalur jalan, teringatlah saya, itu adalah pesan papi ketika saya masih di Sekolah Dasar:
"Kalau menyeberang jalan lalu ada kendaraan yang tiba-tiba terlihat masih akan melintas di depan kita, Hennie berdiri di garis putih, tunggu mobil itu lewat, baru Hen lanjut menyeberang. Karena walau sudah terlihat sepi, ada saja supir yang melaju kencang, tiba-tiba sudah ada di depan kita. Jika seperti itu, sementara Hen sudah bergerak menyeberang, berhenti sebentar di garis putih itu. Mobil tidak boleh melewati kita yang berdiri di garis itu. Itu seperti garis Zebra Cross, tidak boleh dilintasi kendaraan jika di situ ada orang yang hendak menyeberang."
Dan, itulah yang papi lakukan di malam itu. Siapa sangka, petunjuk untuk saya berdiri di garis putih, itu juga adalah petunjuk akan akhir hidupnya.