Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengampuni "Pembunuh" Ayah Saya | 1

25 Juli 2018   12:44 Diperbarui: 29 Januari 2019   16:34 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arsjik Strausz Paulus. Itu nama ayah saya. Nyaris tidak banyak yang tahu nama lengkap papi karena sering disingkat A.S. Paulus. Orang mengenal dan menyapanya dengan Pak Paulus. Kami memanggilnya, Papi.

Secara umum, kesehatan papi baik. Pernah dirawat di RS karena kolestrol. Tapi itu sudah jauh waktu dari kisah ini terjadi. Kalau ada sakit, itu masih dapat disebut penyakit umum faktor usia mengingat ketika itu papi sudah berumur 69 tahun. Namun, secara fisik papi tampak tidak setua usianya.

Papi adalah seorang yang energik. Ia selalu saja aktif. Seusai mengakhiri jabatannya selaku pimpinan Kantor Perpustakaan Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) karena waktu pensiun PNS sudah tiba, bukannya beristirahat, papi malah makin fokus melanjutkan kerjanya di dunia pendidikan sebagai dosen di dua Perguruan Tinggi di kota Kendari dan juga pimpinan di salah satu Perguruan Tinggi itu.

Tidak hanya itu, papi juga makin aktif dalam pelayanan di gereja yang telah dijalaninya sejak tahun 1969 hingga saat itu. Saat itu ia masih menjabat selaku Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dan Perbendaharaan Gepsultra untuk ketiga kalinya. Bahkan di hari Minggu, sehari sebelum peristiwa itu terjadi, papi baru kembali diteguhkan untuk melanjutkan pelayanannya sebagai Penatua. 

Mungkin karena papi juga diketahui adalah seorang pelayan di gereja, maka dalam berita meninggalnya papi, salah satu koran daerah menerangkan, bahwa papi juga adalah seorang Pendeta. Saya bangga akan hal itu. Sebab, ia disebut Pendeta bukan karena titel itu ada padanya, tetapi karena hidupnya.

Walau begitu, bukan berarti beliau fanatik. Jauh kami dari itu. Sebagian besar keluarga kami beragama Islam. Om, tante, sepupu, dan banyak lagi adalah pribadi-pribadi Muslim yang taat. Yang perempuan umumnya sudah berhijab dan belum lama ini satu ponakan saya sudah berniqab.

Kami tumbuh bersama sebagai keluarga besar. Natal dan Lebaran itu kami. Natal, mereka di kami. Lebaran, kami di mereka. Tidak hanya kaum keluarga. Suku Moronene, suku dari papi, salah satu suku di Sultra, adalah sebagian besar kaum Muslim.

Sedikit tentang Suku Moronene, saya tulis pada artikel Lako Mesikolah, Lagu Moronene Sulawesi Tenggara. 

Papi di-tua-kan dalam masyarakat sukunya. Ia bahkan menjadi ketua suku masyarakat Moronene di Sultra. Toleransi terwujud dalam banyak kebersamaan, termasuk pada perayaan hari-hari raya keagamaan, walau nyata kami berbeda.

Karena itu, ketika ada larangan kaum Muslim mengucapkan selamat Natal kepada kami, terperangah kami. Puluhan tahun kami melakukan itu dengan saling kasih yang tulus.

Bagaimana pun juga, kami menghormati aturan itu. Secara agama, kami tidak punya hak untuk komplain. Namun, secara ikatan kekerabatan keluarga, sejujurnya, itu pilu.

Sebagai yang memiliki keluarga besar Muslim, seakan hendak berkata, janganlah pisahkan kami di sini. Bila kelak kami terpisahkan karena perbedaan agama, maka di sinilah, di dunia inilah kami masih bisa bersama ikut bersukacita mensyukuri kebesaran Allah Yang Esa.

Papi sangat menghormati keyakinan kaum keluarganya. Jika tidak begitu, tidak mungkin ia dipilih menjadi ketua suatu masyarakat adat yang mayoritas adalah Muslim. 

Ia bahkan menegur dengan keras keponakannya atau siapa pun kaum keluarga Muslim yang main ke rumah tetapi tidak sholat, tidak Jumatan atau tidak berpuasa pada masa berpuasa. Lebih keras lagi terhadap keluarga kami yang Mualaf tetapi tidak bersungguh-sungguh dalam keyakinannya yang baru.

Saya tidak lupa salah satu kalimat papi ketika menegur mereka karena tidak menjalankan ibadah mereka, "Jangan mempermainkan agama. Kamu sudah memilih itu. Jalani itu dengan baik!". Akhirnya, saya jadi suka melaporkan mereka ke papi kalau mereka tidak puasa :-]

Papi mengajari kami bagaimana menghormati dan menghargai keputusan yang diambil seseorang untuk hidupnya. Menghargai semua manusia tanpa memandang muka, itu ditaruhnya di hati dan pikiran saya.

Bila kita menghargai manusia sebagai ciptaan Yang Mahakuasa, maka apapun perbedaan manusia tidak akan membuat kita lupa, bahwa ia adalah buatan tangan Allah. Karya manusia saja harus dihargai apalagi karya Allah. 

Papi bukan tipe pribadi yang mengajari kami dengan banyak kata, tapi dengan hidupnya. Ia seorang yang rendah hati. Bukan di mata saya saja tapi juga di mata orang lain.

Satu contoh saja, minta supir berhenti di jalan masuk ke area kantor untuk turun memungut sampah yang dilihatnya tergeletak di tengah jalan di hadapan para pegawai kantor sementara ia pimpinan di situ.

Dari para pegawai yang melihat itu, cerita itu kami tahu. Mereka katakan, mereka jadi malu melihat itu.

Pribadi yang berbelas kasihan dan over murah hati. Saya sebut "over" karena papi pernah pulang dengan berjalan kaki sebab uang yang ada di dompetnya habis diberikan kepada orang yang menimbulkan belas kasihan di hatinya.

Hal itu saya ketahui karena saya suka membukakan sepatu dan kaos kakinya sepulang dari kerja. Melihat keringat di tubuhnya dan nafas ngos-ngosan yang tidak biasa, saya menanyakan itu. Papi katakan, bahwa ia pulang dengan berjalan kaki.

Papi bertemu seorang bapak di jalan, "Kasihan dia. Papi kasih saja semua uang papi." Setelah itu ia tertawa. Katanya, mobil kawan papi lewat lalu berhenti sejenak menyapa papi, "Pak, darimana?", tanya mereka. Papi jawab, "Oh, dari situ" sambil menunjuk toko tidak jauh dari papi berdiri.

Padahal, "Papi berdiri istirahat sebentar di situ karena cape. Papi lihat ada toko di situ. Papi tunjuk saja toko itu. Tidak tahu itu toko apa", kata papi sambil tertawa. Sama sekali tidak terlihat wajah kesal karena berjalan kaki malah tampak bahagia.

Pada hari pemakamannya, begitu banyak orang yang tidak kami kenal datang melayat, baik di rumah duka maupun di TPU. Mereka juga menangis seperti kami. Siapa papi buat mereka?

Ternyata mereka adalah orang-orang yang mengaku menerima berbagai macam bentuk kebaikan dan kemurahan hati papi di hidup mereka. Kami tidak pernah tahu itu.

Dan, Tuhan memberitahu kami dengan menghadirkan mereka bagi kami, untuk mengatakan kepada kami, bahwa memang papi pergi dengan cara mengenaskan, tapi hidupnya tidak mengenaskan. Ia telah menjadi berkat bagi banyak orang.

Itulah papi. Itulah ayah saya, Arsjik Strausz Paulus.-

Salam. HEP.-

Bersambung ke Bagian 2 : Malam yang Mengenaskan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun