Arsjik Strausz Paulus. Itu nama ayah saya. Nyaris tidak banyak yang tahu nama lengkap papi karena sering disingkat A.S. Paulus. Orang mengenal dan menyapanya dengan Pak Paulus. Kami memanggilnya, Papi.
Secara umum, kesehatan papi baik. Pernah dirawat di RS karena kolestrol. Tapi itu sudah jauh waktu dari kisah ini terjadi. Kalau ada sakit, itu masih dapat disebut penyakit umum faktor usia mengingat ketika itu papi sudah berumur 69 tahun. Namun, secara fisik papi tampak tidak setua usianya.
Papi adalah seorang yang energik. Ia selalu saja aktif. Seusai mengakhiri jabatannya selaku pimpinan Kantor Perpustakaan Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) karena waktu pensiun PNS sudah tiba, bukannya beristirahat, papi malah makin fokus melanjutkan kerjanya di dunia pendidikan sebagai dosen di dua Perguruan Tinggi di kota Kendari dan juga pimpinan di salah satu Perguruan Tinggi itu.
Tidak hanya itu, papi juga makin aktif dalam pelayanan di gereja yang telah dijalaninya sejak tahun 1969 hingga saat itu. Saat itu ia masih menjabat selaku Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dan Perbendaharaan Gepsultra untuk ketiga kalinya. Bahkan di hari Minggu, sehari sebelum peristiwa itu terjadi, papi baru kembali diteguhkan untuk melanjutkan pelayanannya sebagai Penatua.Â
Mungkin karena papi juga diketahui adalah seorang pelayan di gereja, maka dalam berita meninggalnya papi, salah satu koran daerah menerangkan, bahwa papi juga adalah seorang Pendeta. Saya bangga akan hal itu. Sebab, ia disebut Pendeta bukan karena titel itu ada padanya, tetapi karena hidupnya.
Walau begitu, bukan berarti beliau fanatik. Jauh kami dari itu. Sebagian besar keluarga kami beragama Islam. Om, tante, sepupu, dan banyak lagi adalah pribadi-pribadi Muslim yang taat. Yang perempuan umumnya sudah berhijab dan belum lama ini satu ponakan saya sudah berniqab.
Kami tumbuh bersama sebagai keluarga besar. Natal dan Lebaran itu kami. Natal, mereka di kami. Lebaran, kami di mereka. Tidak hanya kaum keluarga. Suku Moronene, suku dari papi, salah satu suku di Sultra, adalah sebagian besar kaum Muslim.
Sedikit tentang Suku Moronene, saya tulis pada artikel Lako Mesikolah, Lagu Moronene Sulawesi Tenggara.Â
Papi di-tua-kan dalam masyarakat sukunya. Ia bahkan menjadi ketua suku masyarakat Moronene di Sultra. Toleransi terwujud dalam banyak kebersamaan, termasuk pada perayaan hari-hari raya keagamaan, walau nyata kami berbeda.
Karena itu, ketika ada larangan kaum Muslim mengucapkan selamat Natal kepada kami, terperangah kami. Puluhan tahun kami melakukan itu dengan saling kasih yang tulus.
Bagaimana pun juga, kami menghormati aturan itu. Secara agama, kami tidak punya hak untuk komplain. Namun, secara ikatan kekerabatan keluarga, sejujurnya, itu pilu.