Jadi, ketika roh ditarik ke luar dari arah kepala (ubun-ubun), maka yang lebih dahulu meninggalkan raga adalah roh bagian kaki. Roh kaki meninggalkan raga kaki. Perlahan-lahan terus naik hingga seluruh tubuh telah ditinggalkan oleh roh.
Proses penarikan roh itu berlangsung perlahan karena saya belum langsung mati. Sepertinya, oleh karena itulah orang yang akan meninggal tetapi belum langsung mati, proses dingin di tubuhnya berlangsung secara bertahap, yakni dimulai dari kaki, naik ke betis, paha, badan, tangan hingga seluruh tubuh telah dingin. Mungkin bagi orang yang seketika itu harus mati, pencabutan rohnya berlangsung cepat.
Diri yang saya rasakan adalah diri roh saya, bukan diri raga saya. Jadi, pikiran dan rasa termasuk teriakan saya kepada Tuhan itu berasal dari roh saya yang separuh sudah keluar itu bukan dari raga saya. Sementara Raga saya diam tak bergerak di atas kasur dan saya tidak tahu lagi seperti apa rasanya raga saya saat itu.
Kalau pada saat itu ada orang yang memegang kaki raga saya hingga pinggang, Â pasti mereka akan merasakan bahwa bagian itu sudah dingin sampai batas pinggang. Sebab, bagian itu sudah ditinggalkan oleh roh saya.
Satu hal lagi, roh diri itu melihat dan mendengar. Selagi saya mengetik ini, tiba-tiba saya membayangkan mereka yang saya layani menjelang kematian mereka, roh mereka sudah keluar sebagian dan sedang memerhatikan orang-orang di sekitar tubuhnya saat itu :-), seperti roh saya bisa melihat jelas tubuh saya dan seisi ruangan kerja di mana peristiwa itu terjadi.
Akhirnya ...
Apa yang saya bagikan di sini tentang bagaimana proses dan bagaimana rasanya roh tercabut dari raga adalah bukan didasarkan pada ajaran suatu agama atau keyakinan atau kepercayaan tertentu, bahkan juga tidak berdasarkan ajaran keyakinan saya sebagai seorang Kristen, dan juga bukan berdasarkan ilmu pengetahuan apapun. Entah sama, entah berbeda. Itulah yang saya rasakan. Itulah yang saya alami. Itulah yang terjadi.Â
Di sini saya hanya sedang menyampaikan kisah nyata hidup saya. Dan, ini baru kali kedua saya mempublikasikan cerita ini, malah kali pertama hanya garis besar saja dalam postingan status Facebook saya. Bahkan, di situs blog pribadi saya, HEP, belum pernah saya membagikan ini.Â
Makin banyak waktu yang sudah berlalu di hidup kita, makin sedikit waktu yang tersisa bagi kita. Apapun yang terjadi di hidup ini, mari kita jangan jauh dari Yang Mahakuasa, karena hanya Ia yang dapat memastikan apakah kita akan tiba di hari esok atau tidak.
Salam. HEP.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H