Mohon tunggu...
Heni Nugrohojati Silalahi
Heni Nugrohojati Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis artikel dengan topik parenting, keluarga, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Waspadai "Family Scapegoat Abuse" (FSA) di Sekitar Kita! (Bagian 1)

16 September 2023   08:34 Diperbarui: 2 November 2023   05:54 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo courtesy of freepik.com

Seorang psikolog keluarga pernah berkata : Ketika orang tua berulang kali memarahi anaknya, anak itu (mungkin) tidak akan membenci orang tuanya. Namun, pada akhirnya anak akan membenci dirinya sendiri.

Ada sebuah pesan menyayat hati dari seorang anak bernama Gabriel Fernandez berusia 8 tahun yang meninggal karena disiksa ibu kandung dan pacar ibunya. Mungkin rasa cinta Gabriel lebih besar dari sakit yang ia terima sehingga pada hari Ibu ia masih mau menulis catatan kecil untuk ibunya "My mom is special because she is a loving mom, and I love her because she is beautiful."

1. Definisi Family Scapegoat Abuse

Scapegoat abuse atau dalam Bahasa Indonesia bermakna mengkambing hitamkan, merupakan salah satu bentuk perundungan atau bullying. Rebecca C. Mandeville, seorang ahli sistem keluarga dan penulis buku berjudul "Rejected, Shamed and Blamed" menandai bahwa scapegoat abuse adalah bentuk pelecehan emosional terhadap anak. Scapegoat abuse ini biasanya terjadi pada sebuah keluarga yang sudah kehilangan fungsinya. Sejatinya sebuah keluarga berfungsi menjadi suaka justru berubah menjadi neraka versi mini di dunia.

Menyambung cerita kasus kematian Gabriel Fernandez, seorang anak berasal dari California.  Pada Mei 2013 ia dinyatakan meninggal dengan memar di kepala, patah tulang rusuk dan luka lainnya akibat siksaan tanpa henti yang ia terima dari orang terdekatnya. Ia sering kali pergi ke sekolah dalam kondisi luka lebam di sekujur tubuh.

Beragam luka di tubuh Gabriel kecil ini menjadi muara setelah beragam kekerasan verbal dan emosional yang dilancarkan ibu kandungnya. Gabriel sebenarnya memiliki 2 saudara perempuan, tapi scapegoat abuse ini hanya tertuju padanya. Menurut pengakuan ibunya, semua penyiksaan itu dipicu karena anggapan bahwa Gabriel seoarang gay. Tak berhenti di situ, ia menganggap bahwa semua permasalahan yang terjadi di rumah karena keberadaan Gabriel.

Tidak dipungkiri bagi para orang tua seringkali tingkah anak bikin pusing kepala dan ngelus dada. Ditambah beragam persoalan orang dewasa yang tak ada habisnya, tak ayal memperparah respon kita dalam menegur anak. Oleh karena itu hati-hati, apakah kemarahan kita terhadap anak murni karena menegur perilaku anak? Atau ada luka batin orang tua yang masih menganga sehingga anak jadi pelampiansannya? Perlu kita renungkan, jangan-jangan tanpa sadar kita berpotensi menjadi  pelaku scapegoat abuse dalam keluarga.

2. Kenapa orang tua melakukan Scapegoat Abuse?

Dilansir dari scapegoatrecovery.com, orang tua yang emosinya tidak stabil (narsistik dan gangguan kepribadian lain) cenderung berpeluang besar untuk melakukan scapegoat abuse kepada anaknya. Orang tua ini melepaskan rasa frusutasi, malu, perasaan ditinggalkan dan kebencian terhadap diri sendiri dengan menyerang anaknya.

Scapegoat abuse adalah sebuah proyeksi pembelaan diri orang tua. Orang tua merasa tidak perlu bertanggung jawab atas hal-hal negatif yang ia rasakan. Ia tidak tahan dengan dirinya sendiri sehingga memilih membenci dan menyerang anak untuk menegaskan bahwa dirinya tidak sama negatifnya dengan si anak. Ketidak berhasilan dalam hidup mendorong orang tua menjadi makhluk yang agresif terhadap anak. Agresivitas yang sarat dengan penolakan, mempermalukan dan menyalahkan anak inilah yang kemudian kian melanggengkan posisi anak sebagai korban scapegoat abuse.

3. Bagaimana cara orang tua memilih korban Scapegoat Abuse?

Meskipun bukan kesalahan anak, ada banyak alasan bagi orang tua memilih anak tertentu untuk menjadi korbannya. Sangat tidak masuk akal, tapi ada beberapa karakter anak di bawah ini yang menjadi pemantik orang tua untuk melukai anaknya.

a. Anak pemberontak

Anak yang berani menentang orang tua dengan mudah menjadi sumber masalah bagi keluarga. Anak-anak ini dianggap tidak bisa memenuhi ego orang tua atas kontrol dan kekusaan. Terang saja anak-anak yang dilabeli pemberontak ini dengan mudah disingkirkan dari eksistensi keluarga.

b. Anak sensitif

Orang tua scapegoat abuse cenderung merasa puas dan kembali memiliki kekuatan ketika anak yang mereka lecehkan memberi respon pilu entah menangis, kesakitan atau mohon ampun. Reaksi anak menjadi alasan kuat bagi orang tua untuk merasionalisasi perbuatannya agar anak tidak lembek dan berhenti menjadi anak sensitif.

c. Anak asing atau berbeda

Bukan rahasia umum kalau setiap anak yang hadir dalam keluarga membawa karakter yang berbeda dalam dirinya. Namun, seringkali anak yang terlampau jauh perbedaan karakternya dengan saudara yang lain membuat orang tua kewalahan dalam mengasuhnya. Akibatnya anak yang dianggap terlalu asing ini menjadi sasaran empuk scapegoat abuse di rumah.

Bahkan anak yang cerdas, rupawan dan baik budi pun kadang bisa membawa petaka dalam keluarga. Kesempurnaan si anak pernah menjadi hal yang ayah atau ibunya idamkan saat muda dulu. Lalu timbullah rasa dengki yang harus diterima si anak tak bersalah ini. Padahal akarnya berasal dari rasa kecewa orang tuanya di masa lalu.

d. The reminder

Seorang korban scapegoat abuse yang sudah dewasa datang ke psikolog dengan membawa cerita.

"Sebagai seorang anak, saya tidak mengerti mengapa saya selalu disalahkan sedangkan saudara perempuan saya selalu dianggap lebih istimewa. Saya adalah murid berprestasi tapi saudara perempuan saya tidak. Namun, ada sejarah yang menjadi pencetus semua perlakuan kasar ibu kepada saya. Ayah saya melakukan dosa dengan meninggalkan ibu saya dan menikah lagi dengan bahagia. Di mata ibu saya dianggap ikut berdosa karena berpenampilan seperti ayah yang tinggi, kurus, berambut cokelat dan berprestasi. Berseberangan dengan kakak perempuan saya yang merupakan tiruan ibu dengan berambut pirang, mungil dan lebih santai."

Sayangnya, anak-anak cenderung mengamini bahwa merekalah yang bermasalah. Mereka belum memiliki pengalaman untuk menyadari bahwa orang tualah yang perlu bantuan untuk memutus rantai scapegoat abuse ini.  Anak tidak punya pengetahuan kalau orang tua yang penuh kasih sayang dan bijaksana tidak membagi anak-anak ke dalam peran "anak baik tanpa cela" dan "anak nakal/buruk tanpa kebaikan". Dengan begitu anak dipandang sebagai manusia utuh yang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan.

Sebagai konsekuensi, para korban FSA harus berurusan dengan gangguan kepribadian/mental dan terapi sepanjang sisa hidupnya. Ironisnya bagi mereka yang selamat atau FSA survivor kebanyakan tidak pernah menyadari bahwa selama ini telah mengonsumsi tekanan dan pelecehan emosial dalam keluarga.

Apa saja dampak yang ditimbulkan Family Scapegoat Abuse bagi korbannya dan bagaimana cara memulihkan diri agar hidup mereka kembali berarti? Kita akan lanjutkan besok di bagian 2 ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun