Mohon tunggu...
Heni Nugrohojati Silalahi
Heni Nugrohojati Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis artikel dengan topik parenting, keluarga, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Menumbuhkan Resiliensi pada Anak

14 Februari 2023   19:59 Diperbarui: 2 November 2023   05:34 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Ben McLeod on Unsplash   

It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one that is most adaptable to change. - Charles Darwin (Father of Evolution)

Teman-teman tentu akrab dengan salah satu kutipan populer di atas kan. Mari kita bersepakat bahwa anak-anak perlu kita bekali dengan kemampuan adaptasi sedini mungkin. 

Terlebih pada Era VUCA (Volatily, Uncertainty, Complexity and Ambiguity) saat ini. VUCA adalah sebuah kondisi ketika perubahan terjadi begitu cepat, tidak pasti, kompleks dan ambigu yang disebabkan oleh transformasi digital atau teknologi.

Kemampuan adaptasi ini termasuk saat anak-anak merasa stress, pesimis, depresi dan putus asa terhadap segala bentuk persaingan dan perubahan yang serba mendadak akibat Era VUCA di atas. 

Ketika segala sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, mereka menyadari segala emosinya. Mereka juga paham bahwa perasaan dan kondisi tidak nyaman itu hanya sementara. 

Mereka bersedia untuk mencoba lagi dengan cara-cara baru untuk mencapai tujuannya. Kemampuan untuk menjadi lentur terhadap segala kondisi dan tangguh untuk bangkit kembali inilah yang kemudian disebut sebagai resiliensi.

Anak-anak dengan resiliensi cenderung mau mengambil risiko yang sehat karena mereka tidak takut gagal memenuhi harapan. Mereka penasaran, berani dan percaya pada insting. 

Mereka tahu batasan dan mau mendorong diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman. Kemampuan ini membantu mereka mencapai tujuan jangka panjang dan memecahkan masalah secara mandiri.

Lalu bagaimana cara untuk menumbuhkan resiliensi pada anak seperti di atas?

1. Bermain

Lego dan balok merupakan jenis permainan yang memberi kesempatan anak untuk memecahkan masalah dan mencapai goal. Contohnya : Aku ingin membuat tower yang sangat tinggi dengan lego ini. Bagaimana aku bisa mewujudkannya tanpa membuatnya jatuh ya?

Seperti perkataan Diane Ackerman, seorang penulis dari Amerika Serikat "play is our favourite brain's way of learning". 

Benar adanya bahwa beragam imajinasi, kognisi dan emosi anak diasah saat mereka bermain baik sendirian maupun berkelompok. Lewat bermain anak-anak jadi memiliki empati, tahu cara sosialisasi dan negosiasi serta gemar eksplorasi.

2. Membangun Relasi Sehat

Saat sedang bersama anak, sebaiknya orang tua bisa bersikap mindful. Contohnya singkirkan handphone agar bisa hadir secara sadar dan penuh untuk anak. 

Dengarkan apa yang anak sedang ceritakan dan beri tanggapan yang antusias saat ia membutuhkannya. Kondisi ini membuat anak merasa dirinya berharga karena pendapatnya didengarkan.

Anak-anak yang tumbuh dalam relasi yang sehat dan menyenangkan dengan orang tua (bisa ditambahkan dengan saudara, pengasuh/guru) cenderung menjadi anak yang ekspresif dan bahagia. 

Mereka merasa dicintai dan sadar berada di lingkungan yang aman. Perasaan inilah yang mendorong mereka jadi percaya diri untuk mencoba, berani menghadapi tantangan dan menumbuhkan resiliensi pada diri.

3. Menjadi Role Model

Contoh kasus: Saat seorang ayah sedang bermain dengan anaknya, tiba-tiba ia menerima email penolakan final interview pekerjaan dari perusahaan impiannya. 

Untuk mengungkapkan kekecewaan, si ayah berkata "Oke, aku sudah berusaha maksimal untuk ini, tapi belum berhasil. Aku sangat marah dan sedih sekarang. 

Tapi aku tahu kalau perasaan ini hanya sementara. Tidak bekerja di perusahaan ini bukan akhir dari impianku. Aku akan mencari peluang baru. Nak, apakah Ayah boleh minta peluk darimu?"

"Being a role model is the most powerful form of educating" demikianlah pernyataan John Wooden seorang pelatih basket dari Amerika. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat dan dengar. 

Gerakan, kata-kata dan emosi orang tua menjadi sarana belajar bagi anak. Pada kasus di atas, si ayah merespon kegagalannya dengan tenang dan solutif. 

Berkaca dari ayahnya, anak pun akan cenderung melihat kegagalan sebagai bagian dari proses mencapai impian dan sangat bisa diatasi. Children see, children do.

Bagaimana, semakin semangat untuk melahirkan generasi tangguh sarat resiliensi kan? Go for it, parents!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun