Minyak goreng Sania, 2 liter, harga 25 ribu lebih?
Ha? bener ga nih?Â
Biasanya diskon tinggal 22 ribuan aja. Atau malah bisa anjlok sampai 21 ribu. Jadi lumayan bisa beli sekitar 5 kemasan 2 literan untuk dibagi ke ibu dan ibu mertua kalau lagi berkunjung ke mereka.Â
Serius ini harganya?
Saya coba berbaik sangka dengan mengira harga diskonan mungkin belum dipajang di rak bagian dalam. Maka saya menuju ke rak dekat kasir. Biasanya barang diskonan kan dipajang di situ. Eh ternyata, tidak ada minyak goreng merk favorit saya di sana.Â
Saya mundur beberapa saat, berdiri di dekat kotak freezer es krim yang harganya murah meriah dengan inisal G itu. Saya menatap ke sekeliling toko. Beberapa kali mata tertumbuk di deretan kurma yang  beraneka harga dan jenisnya.Â
Kurma?
Oh iya, ampun dah. Lupa kalau ini bulan puasa. Ya, pasti harga sembako naik.
Baru saya sadar. Lalu kembali ke rak belakang. Dan mengambil minyak goreng, garam, tepung dan sembako yang saya butuhkan tanpa perlu melongo 5 menit lagi berburu kertas bertulis diskonan.Â
Dengan sadar diri saya menerima saja kenaikan harga yang sudah seperti budaya atau kebiasaan negeri +62 ini di tiap hari besar agama, seperti Ramadhan, Idul Fitri dan juga Natal. Untuk hari raya Nyepi dan Waisak, tidak ada gejolak yang berarti. Atau saya tidak detil juga mengamati.Â
Tak ada rasa keluh sama sekali di dada. Bukan karena saya keluarga Sultan juga. Tapi dalam momen begini, saya ingat pesan atau celetukan ringan ibu saya. Tiap kali ada yang sambat alias berkeluh kesah, sembako mahal, semua mahal. Ibu akan berkata, "Walau mahal kalau masih bisa beli ya nggak mahal namanya. Dijalani aja. Diterima aja."
Kalau bahasa aslinya begini, "masio larang nek isok tuku yo wis".