Mohon tunggu...
Heni Prasetyorini
Heni Prasetyorini Mohon Tunggu... Tutor - Edupreneur

Pegiat pendidikan coding untuk anak-anak di Heztek Coding

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sesuai Dugaan, Tak Ada Diskon Minyak Goreng di Bulan Ramadan Gini

29 April 2020   06:46 Diperbarui: 29 April 2020   06:49 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua minggu sebelum bulan puasa, saya sudah lumayan bikin persiapan stok bahan pangan di rumah. Terlebih satu bulan sebelumnya saya dan keluarga sudah mengisolasi diri sendiri, mengkarantina diri untuk di rumah saja. Demi berpartisipasi penuh tanggung jawab untuk mencegah penyebaran virus Corona strain terbaru alias Covid-19.

Saya sudah mengisi freezer dengan beberapa jenis frozen food. Membeli produk sambal, lauk teri krispi dan tuna asap yang dibuat oleh beberapa kenalan di komunitas UMKM Surabaya. 

Oh iya, tak lupa membeli 3 kg brago alias brambang goreng = bawang merah goreng untuk juga saya bagikan ke ibu di Jombang, ibu mertua di Lamongan juga untuk kakak dan adik  saya yang tinggal di Surabaya. Maklum, saya lahir dari keluarga besar jadi kalau mau belanja dan bagi-bagi tanda sayang, jumlahnya nggak bisa satu ons doang :)

Ternyata walaupun sudah nyetok bahan siap masak atau siap makan, urusan stok sembako nggak cukup juga. Ini efek wajar dari kegiatan masak tiap hari rupanya. Minyak goreng habis, gula menipis, kopi dan krimer ikut juga ingin diisi toplesnya. Alhamdulillah dah masuk waktu bagian gajian dari kantor suami, jadi saya bisa keluar untuk membeli keperluan bulanan. 

Masih di masa karantina dan social distancing. Juga kewajiban memakai masker saat ke luar rumah. Saya berangkat dengan naik motor sendiri dan menolak tawaran suami untuk mengantarkan. 

"Udah nggak usah, aku pergi sendiri aja. Malah bingung kalau diantar."

Suami saya nyengir aja dan melanjutkan hobinya berkebun di rumah. 

Hampir satu tahun ini saya belanja bulanan di Sakinah Mart. Bisa dibilang minimarket baru di sekitar rumah. Harga produk di sini lebih murah. Dan sering ada diskon. Tiap bulan itu, saya pasti dapat banyak diskon dari minyak goreng, shampoo, sabun cair cuci piring sampai deterjen. Pokoknya yang saya incer itu selain merk favorit ya yang diskon juga. Sama aja kayaknya seperti ibu-ibu lainnya ya :)

Nah, kali ini berbeda ternyata. 

Saya tertegun sekitar 5 menit di depan rak minyak goreng. Beberapa kali memastikan angka yang tertera di sana benar. 

Minyak goreng Sania, 2 liter, harga 25 ribu lebih?

Ha? bener ga nih? 

Biasanya diskon tinggal 22 ribuan aja. Atau malah bisa anjlok sampai 21 ribu. Jadi lumayan bisa beli sekitar 5 kemasan 2 literan untuk dibagi ke ibu dan ibu mertua kalau lagi berkunjung ke mereka. 

Serius ini harganya?

Saya coba berbaik sangka dengan mengira harga diskonan mungkin belum dipajang di rak bagian dalam. Maka saya menuju ke rak dekat kasir. Biasanya barang diskonan kan dipajang di situ. Eh ternyata, tidak ada minyak goreng merk favorit saya di sana. 

Saya mundur beberapa saat, berdiri di dekat kotak freezer es krim yang harganya murah meriah dengan inisal G itu. Saya menatap ke sekeliling toko. Beberapa kali mata tertumbuk di deretan kurma yang  beraneka harga dan jenisnya. 

Kurma?

Oh iya, ampun dah. Lupa kalau ini bulan puasa. Ya, pasti harga sembako naik.
Baru saya sadar. Lalu kembali ke rak belakang. Dan mengambil minyak goreng, garam, tepung dan sembako yang saya butuhkan tanpa perlu melongo 5 menit lagi berburu kertas bertulis diskonan. 

Dengan sadar diri saya menerima saja kenaikan harga yang sudah seperti budaya atau kebiasaan negeri +62 ini di tiap hari besar agama, seperti Ramadhan, Idul Fitri dan juga Natal. Untuk hari raya Nyepi dan Waisak, tidak ada gejolak yang berarti. Atau saya tidak detil juga mengamati. 

Tak ada rasa keluh sama sekali di dada. Bukan karena saya keluarga Sultan juga. Tapi dalam momen begini, saya ingat pesan atau celetukan ringan ibu saya. Tiap kali ada yang sambat alias berkeluh kesah, sembako mahal, semua mahal. Ibu akan berkata, "Walau mahal kalau masih bisa beli ya nggak mahal namanya. Dijalani aja. Diterima aja."

Kalau bahasa aslinya begini, "masio larang nek isok tuku yo wis".

Yang intinya, di kondisi apapun, kalau kita masih bisa bertahan, ya sudah. Selesai. Lakukan. Tak banyak menghabiskan energi untuk merutuk, mencaci maki pemerintah misalnya. Yo wis, ya sudah. 

Kalau ditarik lebih dalam lagi, makna celetukan ibu adalah lebih baik kita mengalihkan energi untuk cari duit lagi, bekerja, menjemput rejeki lagi yang udah ditentukan sejak jaman kita masih janin dalam perut ibunda. Sambil berusaha berhemat sesuai kebutuhan. 

Baik, urusan belanja bulanan untuk sembako, deterjen dan lainnya sudah beres. Saya kembali pulang setelah lebih dulu mengusapkan hand sanitizer gel yang disediakan di meja kasir. 

Sesampai di rumah, tak seberapa lama kemudian teman saya datang. Ibu-ibu teman saya waktu ikut pengajian tilawati itu mengantarkan pesanan saya. Sambal Bajak dan Tumis Ikan Peda bikinan dia. Juga sayur, bumbu, ayam dan udang yang saya masukkan ke jastip pasar alias jasa titip beli di pasar miliknya.

"Mbak Heni, ini semua barangnya.  Semuanya harga naik. Aku milih yang bagus-bagus. Yang ini, Simpen di freezer ini. Harganya ini semua ya."

Dia serahkan catatan harga cabe, bawang putih sampai udang. Saya mengiyakan tanpa ada pertanyaan dan komentar sedikit pun tentang harga naik atau tidak. Tidak protes jika lebih mahal daripada jika saya beli sendiri di pasar. Malah sangat bersyukur karena selisih harga itu jauh lebih berharga karena tenaganya bersusah payah mau saya titipi belanjaan di pasar. Saya bisa menunggu saja di rumah tanpa perlu antri dan muter-muter milih bahan di pasar. 

"Oke. Bungkus. Aman. Sip mbak. Mene nek wis entek aku order jastip pasar maneh ya? hehehe"

yang artinya, oke mbak, kalau bahan belanjaan ini habis lagi aku titip lagi ya, tolong belanjain lagi. 

Teman saya tersenyum lebar. Apalagi ketika kemarin saya tunjukkan ada artis sinetron yang banting stir juga jadi kurir belanja pasar seperti dia.

"Sambil bikin sambel, sambil open jastip pasar mbak. Ini prospek sampai ke depan loh. Malah ada yang bikin apps nih di hape."

Makin membara aja saya membakar semangatnya itu. Ya lumayan lah ya, kalau dia beneran bikin startup Jasa Kurir Belanja di Pasar, tentu saya kecipratan enaknya. Bisa kerja di rumah jauh lebih tenang, makin rajin masak sendiri, karena nggak perlu lagi ke pasar. Iya, saya paling males emang ke pasar itu :)

Masalahku, bisa jadi ide bisnis teman. 

Bukan begitu kawan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun