Desember selalu datang seperti utusan tak diundang, membawa kabar bahwa segalanya akan berakhir, entah bahagia, hampa, atau getir. Aku berdiri di balkon kos kecilku, menatap langit malam yang kelabu. Ada semacam kekosongan di udara, sesuatu yang lebih berat dari dinginnya angin yang meniup lemah tirai jendela. Suara kembang api sesekali meledak di kejauhan, tapi tak ada satu pun yang memantul di atas kepalaku.
Di jalanan, orang-orang berlalu-lalang, mengenakan jaket tebal dan senyum tipis, seperti mereka tahu sesuatu yang aku tidak tahu. Mereka membawa balon, trompet, atau sekadar kantong belanja yang penuh dengan janji-janji akhir tahun. Aku mencoba membayangkan apa yang mereka pikirkan. Mungkin, mereka percaya bahwa tahun baru adalah pengampunan, sebuah kesempatan untuk menghapus dosa-dosa yang mereka buat selama dua belas bulan terakhir. Tapi bagiku, Desember hanyalah bulan dengan lembaran kalender paling kosong.
Aku mengunci pintu balkon dan meraih jaket. Ada sesuatu yang memanggilku keluar, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.
Di pasar malam akhir tahun, aku berjalan tanpa tujuan. Kaki-kaki ini membawa tubuhku seperti punya pikirannya sendiri. Lampu-lampu neon berkedip malas, mengelilingi penjual makanan, mainan, dan segala macam benda yang tidak kuinginkan. Di sebuah sudut, seorang anak kecil meniup trompet, menghasilkan suara nyaring yang membuatku sedikit meringis.
Aku berhenti di depan seorang penjual kembang api. Anak-anak kecil berdiri di sana, mata mereka penuh dengan antusiasme. Tapi aku tidak bisa melihat itu. Aku hanya melihat tangan kecil mereka yang menukar uang dengan ledakan sementara. Apa yang mereka pikirkan? Apakah ledakan itu cukup untuk menerangi sesuatu di dalam jiwa mereka?
"Mas mau beli?" suara si penjual membangunkanku dari lamunan. Aku menggeleng. "Tidak, hanya lihat-lihat."
"Beli saja, mas. Tahun baru ini katanya ada keberuntungan besar." Aku tertawa kecil, tanpa benar-benar merasa lucu.
Keberuntungan besar? Rasanya aku telah menghabiskan tahun ini mengejar keberuntungan kecil yang terus saja melarikan diri.
Aku terus berjalan.
Di ujung pasar malam itu, aku melihat sesuatu yang aneh. Sebuah meja kecil dengan kain hitam yang menutupi, nyaris tak terlihat di bawah bayangan pohon. Di belakang meja itu, seorang pria tua duduk diam. Tidak ada lampu neon, tidak ada suara keras, hanya lentera kecil di mejanya. Di depannya, ada papan kayu bertuliskan: "Dengar Cerita Tahun yang Mati."