Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Menolak Dilihat

6 Desember 2024   01:00 Diperbarui: 6 Desember 2024   02:10 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam selalu memiliki rahasia. Di sudut sebuah kafe, dua sosok duduk terpisah, namun kehadiran mereka menyatu dalam sunyi yang sama. Aku melihatmu dari kejauhan, dengan tangan menggenggam cangkir kopi yang kini hanya menyisakan ampas. Hawa malam menghembuskan sepoi angin, mengabarkan pesan yang hanya kita pahami. Kau tak menoleh, namun aku tahu matamu sedang mengawasi, melalui pantulan jendela yang membingkai kesunyian kita.

Kita sudah lama hidup dalam ruang-ruang tanpa cahaya, di antara percakapan yang tak pernah dikeluarkan dari bibir. Kita adalah bisikan yang berkelindan, menghuni celah sempit di antara ketukan detik. Cinta ini tak pernah meminta panggung, tak butuh lampu sorot. Ia tumbuh di antara celah-celah ragu, di belakang tirai-tirai senja yang malu-malu.

Malam ini, kau tersenyum padaku, meski tidak benar-benar tersenyum. Bibirmu tetap rapat, namun aku bisa merasakan keluwesan senyummu di antara gerakan jemari yang menyentuh tepi meja. Aku ingin menyapa, ingin menggenggam tanganmu, tapi kita memilih untuk tetap diam, tak ingin memecahkan gelembung kecil yang melindungi kita. Cinta ini adalah rahasia, dan rahasia terindah adalah yang tak pernah diucapkan.

Kita meninggalkan kafe itu dengan cara yang sama seperti kita masuk --- sendiri-sendiri, tak bersuara. Hujan mulai turun perlahan, menghapus jejak langkah di trotoar. Aku berjalan di belakangmu, cukup dekat untuk mendengar detak jantungmu yang dipercepat rintik hujan. Aku bisa merasakan getar yang sama dalam dadaku; ini bukan tentang ketakutan, tapi tentang kesadaran bahwa kita memilih jalan yang tak ingin dilihat siapa pun.

"Kenapa tak kau pamerkan kita?" kau bertanya sekali, di lorong sempit itu, saat malam bersembunyi di balik bayang-bayang pohon. Suaramu seperti asap, tipis, nyaris tak terdengar. Tapi aku mendengarnya dengan jelas, seperti angin yang merayapi kulit.

Aku hanya tersenyum saat itu, senyum yang tak pernah kau lihat, karena aku memalingkan wajah. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam tatapanmu, sesuatu yang selalu membuatku ingin menyimpan segala hal tentang kita dalam kotak kecil yang hanya aku yang tahu letaknya.

"Kita ada, tapi tak harus dilihat," jawabku akhirnya, dengan suara lebih lembut daripada desah napas angin. Kau mengangguk, tapi tak sepenuhnya paham. Kau ingin pengakuan, ingin kita menjadi bagian dari dunia luar yang penuh sorot lampu dan suara tepuk tangan. Namun aku ingin cinta ini tetap seperti debu yang menari di sinar mentari --- indah, tapi tak pernah bisa disentuh.

**

Hari-hari bergulir seperti dedaunan yang jatuh dari pohon di musim gugur. Kita bertemu di tempat-tempat biasa, di kafe yang sama, di lorong yang sama. Ada senyuman kecil yang hanya kita yang mengerti. Ada tatapan yang menyimpan ribuan cerita yang tak perlu diceritakan. Cinta kita adalah sebuah buku yang halaman-halamannya kosong, tapi setiap lembar menyimpan jejak jemari kita, jejak yang tak terlihat.

Aku mencintaimu dalam sunyi, dalam setiap malam ketika aku terbangun dan merasakan kehadiranmu di sudut kamar, meski kau tak ada di sana. Aku tahu kau merasakan hal yang sama --- ada detik-detik di mana kita saling memikirkan, tapi tak pernah mengirim pesan. Kita hanya membiarkan gelombang perasaan itu datang dan pergi seperti ombak di pantai yang sepi.

Pernah suatu kali, saat senja merayap turun, kita bertemu di perempatan jalan. Kau berjalan di sisi yang berlawanan, namun aku tahu kita melihat satu sama lain. Ada detak jantung yang tak beraturan, ada peluh yang mengalir tanpa sebab. Tapi kita tak menghampiri. Kita hanya melintas, seperti dua bayangan yang berpapasan, tanpa meninggalkan jejak.

**

"Kita ini apa?" tanyamu pada malam ketika bulan separuh menggantung di langit, seperti potongan perak yang terkelupas. Aku diam, hanya menatapmu dari balik cangkir teh yang mengeluarkan asap tipis.

Aku ingin menjawab bahwa kita adalah debu bintang yang terjebak di antara waktu, cinta yang tak ingin diabadikan karena abadi dalam momen-momen kecil yang tak terlihat. Tapi kata-kata itu tak pernah keluar, hanya tertinggal dalam getar di ujung lidah.

"Apakah kau bahagia?" kau bertanya lagi, dengan suara yang hampir seperti rintihan angin. Aku melihat matamu yang penuh tanya, seperti danau dalam yang tak bisa kujelajahi. Aku tahu kau ingin sesuatu yang lebih, ingin kepastian yang bisa kau genggam. Tapi cinta ini adalah udara, tak berbentuk, tak bisa kau genggam.

Aku tersenyum, senyum yang kau benci karena selalu mengandung rahasia. "Aku bahagia, dalam cara yang tak bisa dilihat," jawabku akhirnya, membuatmu menghela napas panjang.

Kau menunduk, menyentuh jemari yang tak bisa kau sambungkan dengan jemariku. Kita duduk berdampingan di bangku taman itu, namun terasa seperti ada jurang yang membentang di antara kita. Hening, hanya ada suara angin yang melintas, membawa pergi kata-kata yang tak pernah terucap.

**

Cinta kita berakhir tanpa perpisahan. Tidak ada pelukan terakhir, tidak ada air mata yang menggenang di sudut mata. Kita hanya berhenti bertemu, berhenti saling menunggu di tempat-tempat biasa. Aku melihat foto profilmu berganti, dan aku tahu, kau telah memilih jalan yang berbeda.

Namun, dalam setiap malam yang hening, ketika aku menutup mata dan menarik napas dalam-dalam, aku masih bisa merasakanmu di sana, di tempat yang tak bisa dilihat siapa pun. Cinta ini tetap hidup, meski tak pernah diakui. Ia mengendap di sudut-sudut hati, seperti hujan yang lupa jatuh.

"Kita ini apa?" tanyamu pada ingatan yang kini hanya tinggal bayangan. Dan aku masih tak bisa menjawab, hanya tersenyum dalam gelap, membiarkan pertanyaan itu menguap bersama embun pagi.

Cinta yang menolak dilihat, tak pernah ingin menjadi legenda. Ia ada, tak untuk dikenang, tetapi untuk dirasakan dalam diam yang paling dalam. Seperti udara yang kau hirup setiap hari, kau tak melihatnya, namun kau tahu ia ada --- dan selalu ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun