Di sebuah pagi yang teduh di pinggiran Yogyakarta, kelompok mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada sibuk mencatat data pertumbuhan tanaman padi berwarna hitam keunguan yang ditanam di bawah pohon trembesi (Samanea saman). Penelitian yang berlangsung di lahan percobaan ini bertujuan mengeksplorasi kombinasi unik antara pohon trembesi dan padi beras hitam (Oryza sativa var. indica), sebagai solusi menghadapi perubahan iklim yang kini menjadi ancaman nyata bagi ketahanan pangan Indonesia.
Beras hitam bukanlah varietas baru dalam dunia pertanian Nusantara. Berdasarkan laporan Badan Litbang Pertanian tahun 2023, beras hitam telah lama dikenal sebagai sumber pangan bernutrisi tinggi, kaya akan antosianin yang bersifat antioksidan. Namun, karena produktivitasnya lebih rendah dibandingkan varietas padi putih, tanaman ini semakin tersingkir. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2022, hanya sekitar 0,5% dari total lahan sawah di Indonesia yang ditanami beras hitam.
Sementara itu, pohon trembesi dikenal sebagai pohon dengan kapasitas luar biasa dalam menyerap karbon dioksida. Laporan dari Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 2021 menyebutkan bahwa satu pohon trembesi dewasa mampu menyerap hingga 28,5 ton karbon dioksida per tahun, jumlah yang setara dengan emisi karbon dari kendaraan bermotor kecil selama dua tahun. Dengan kanopinya yang lebar, trembesi juga menciptakan efek mikroklimat, menurunkan suhu tanah, dan meningkatkan kelembapan udara di sekitarnya.
Gabungan pohon trembesi dan padi beras hitam ini adalah inti dari penelitian agroforestri yang sedang berlangsung. Agroforestri, menurut Food and Agriculture Organization (FAO), adalah sistem yang mengintegrasikan pohon dan tanaman pangan dalam satu lahan untuk meningkatkan produktivitas sekaligus keberlanjutan ekosistem.
Pada tahun 2022, tim peneliti Universitas Gadjah Mada memulai proyek percontohan di sebuah desa kecil di Kabupaten Sleman. Dalam lahan seluas satu hektare, mereka menanam 50 pohon trembesi dengan jarak tertentu untuk mengurangi kompetisi cahaya, sementara padi beras hitam ditanam di bawah kanopinya. Penelitian awal ini mencatat hasil yang menggembirakan. Hasil panen pertama menunjukkan bahwa produktivitas beras hitam meningkat sebesar 15% dibandingkan lahan kontrol tanpa pohon trembesi. Selain itu, kebutuhan irigasi turun hingga 30%, berkat kemampuan trembesi menahan air di lapisan tanah atas. Kanopi pohon ini juga menurunkan suhu lahan sekitar 2 derajat Celcius, membantu tanaman padi bertahan dari stres panas yang kian sering terjadi akibat perubahan iklim.
Kisah sukses ini tidak hanya terjadi di Sleman. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), sekelompok peneliti dari Balai Besar Penelitian Tanaman Pangan mengadaptasi metode serupa menggunakan pohon lontar (Borassus flabellifer), yang memiliki fungsi mikroklimat serupa dengan trembesi. Lontar digunakan untuk menaungi tanaman padi lokal, jagung, dan sorgum. Penelitian ini mencatat hasil yang sebanding: peningkatan hasil panen sebesar 20% dan penurunan kebutuhan air hingga 25%.
Namun, perjalanan ke arah pertanian berkelanjutan ini tidaklah mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah resistensi terhadap perubahan sistem pertanian. Di banyak wilayah Indonesia, pohon sering ditebang karena dianggap mengurangi produktivitas lahan. Penelitian dari Universitas Andalas pada 2021 menemukan bahwa 70% petani di Sumatera Barat enggan menanam pohon di sekitar lahan mereka karena takut kehilangan hasil panen.
Edukasi menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini. Tim peneliti Universitas Gadjah Mada, misalnya, mengadakan lokakarya di desa-desa untuk menjelaskan manfaat agroforestri. Mereka membawa data nyata dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa pohon seperti trembesi tidak hanya membantu tanaman bertahan di kondisi ekstrem tetapi juga meningkatkan hasil panen dalam jangka panjang.
Perubahan iklim adalah ancaman nyata yang sudah dirasakan oleh petani di seluruh Indonesia. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa selama 30 tahun terakhir, rata-rata suhu di Indonesia meningkat sebesar 0,3 derajat Celcius. Pola hujan juga berubah drastis, dengan musim kering yang lebih panjang dan intensitas hujan yang lebih tinggi saat musim basah.
Data penelitian juga menunjukkan bahwa agroforestri berbasis trembesi mampu meningkatkan ketahanan lahan dari efek perubahan iklim. Sebuah laporan pada 2023 oleh tim Universitas Gadjah Mada menyimpulkan bahwa sistem ini tidak hanya mengurangi stres tanaman akibat suhu tinggi tetapi juga meningkatkan produktivitas dengan cara yang berkelanjutan.
Di tingkat nasional, cerita tentang pohon kehati dan beras hitam ini membawa harapan baru. Pemerintah mulai melirik potensi sistem ini untuk diintegrasikan ke dalam program ketahanan pangan nasional. Pada 2023, Kementerian Pertanian meluncurkan program percontohan agroforestri di 10 provinsi, bekerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian.
Namun, keberlanjutan program ini masih bergantung pada dukungan kebijakan dan investasi jangka panjang. Banyak pihak berharap pemerintah lebih serius mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan pengembangan agroforestri, termasuk untuk mendukung petani dalam masa transisi.
Agroforestri bukan hanya praktik yang relevan di Indonesia, tetapi juga telah diadopsi di banyak negara dengan hasil yang menjanjikan. Di India, pohon neem (Azadirachta indica) sering digunakan untuk memberikan naungan dan melindungi tanaman pangan dari serangan hama. Sistem ini tidak hanya meningkatkan hasil panen tetapi juga membantu petani mengurangi penggunaan pestisida kimia. Di Kenya, proyek agroforestri dengan pohon akasia (Acacia senegal) telah membawa manfaat serupa, termasuk peningkatan produktivitas lahan dan penyediaan resin alami sebagai sumber pendapatan tambahan.
Laporan dari World Agroforestry Centre (ICRAF) pada 2022 menyebutkan bahwa agroforestri memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan petani kecil hingga 40% sekaligus mengurangi risiko kerusakan tanah. Lebih dari 100 juta hektare lahan di seluruh dunia telah berhasil diintegrasikan ke dalam sistem agroforestri, menunjukkan skalabilitas pendekatan ini dalam konteks perubahan iklim global.
Masyarakat adat di Indonesia juga memiliki tradisi agroforestri yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Suku Dayak di Kalimantan, misalnya, mengelola hutan adat dengan menanam pohon buah-buahan seperti durian, rambutan, dan cempedak di antara tanaman pokok seperti padi gogo dan singkong. Sistem ini dikenal sebagai simpukng dan terbukti menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Sementara itu, di Sulawesi, masyarakat adat Toraja mempraktikkan teknik mappasilaga tana yang mengintegrasikan pohon bambu sebagai pelindung lahan pertanian dari erosi dan banjir. Teknik ini tidak hanya mempertahankan kesuburan tanah tetapi juga mendukung keanekaragaman hayati lokal.
Inspirasi dari masyarakat adat ini menunjukkan bahwa solusi berbasis alam (nature-based solutions) seperti agroforestri sebetulnya bukanlah hal baru. Tantangan utamanya adalah bagaimana memperkenalkan metode ini kepada masyarakat luas dalam skala yang lebih besar.
Salah satu keunggulan beras hitam adalah statusnya sebagai komoditas premium yang bernilai ekonomi tinggi. Di pasar internasional, harga beras hitam bisa mencapai tiga kali lipat harga beras putih biasa. Hal ini membuka peluang untuk meningkatkan pendapatan melalui sistem agroforestri. Namun, untuk mencapai potensi ini, diperlukan dukungan dalam bentuk pemasaran dan branding.
Keberhasilan agroforestri di Indonesia sangat bergantung pada dukungan pemerintah. Saat ini, program percontohan yang dikelola Kementerian Pertanian dan lembaga penelitian seperti LIPI merupakan langkah awal yang baik. Namun, untuk mencapai dampak yang lebih luas, diperlukan kebijakan yang lebih proaktif, seperti pemberian subsidi dan insentif, investasi dalam infrastruktur, serta kemitraan publik-swasta untuk mendukung pemasaran produk agroforestri.
Di tengah ancaman perubahan iklim, agroforestri menawarkan harapan baru bagi ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Pohon kehati seperti trembesi, lontar, dan akasia tidak hanya menjadi pelindung tetapi juga pilar bagi masa depan pertanian yang lebih resilien.
Referensi
Badan Litbang Pertanian. 2023. Laporan Penelitian Padi Beras Hitam.
CIFOR. 2021. Trembesi dan Potensi Mitigasi Karbon.
BMKG. 2023. Perubahan Iklim di Indonesia.
FAO. 2022. Agroforestri dalam Ketahanan Pangan.
World Agroforestry Centre (ICRAF). 2022. Agroforestry Solutions for Climate Resilience.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI