Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Koalisi Baru Asia: Upaya Perdamaian dan Keberanian Indonesia di Tengah Ancaman Perang Nuklir

3 September 2024   01:33 Diperbarui: 3 September 2024   01:46 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asia Timur saat ini berada pada titik kritis yang berpotensi mengubah sejarah kawasan tersebut. Ketegangan di Semenanjung Korea, dengan riwayat konflik panjangnya, kembali menjadi pusat perhatian global, menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan perang nuklir. Persaingan senjata antara Korea Utara dan Korea Selatan, yang masing-masing didukung oleh kekuatan besar seperti Rusia dan Amerika Serikat, telah menciptakan dinamika baru yang tidak bisa diabaikan. 

Korea Utara dilaporkan memiliki sekitar 40 hingga 50 senjata nuklir pada 2024, sementara Korea Selatan mengalokasikan sekitar USD 50,2 miliar untuk anggaran pertahanan pada tahun 2023, meningkat dari USD 46,3 miliar pada tahun sebelumnya. Di tengah ketidakpastian global ini, Asia Tenggara, khususnya Indonesia memiliki peluang emas untuk mengubah peta geopolitik dengan mengambil langkah-langkah revolusioner yang berani dan tidak konvensional.

Indonesia, sebagai negara dengan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, memiliki posisi strategis yang unik. Sejak Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, Indonesia telah menunjukkan kemampuan diplomatiknya untuk memfasilitasi dialog dan kerjasama antar negara. Namun, dunia saat ini membutuhkan lebih dari sekadar mediator netral. 

Dengan populasi lebih dari 275 juta jiwa pada tahun 2023 dan PDB sebesar USD 1,29 triliun, Indonesia memiliki kapabilitas dan legitimasi untuk mengambil peran yang lebih aktif. Salah satu langkah revolusioner yang bisa diambil adalah membentuk Koalisi Perdamaian Asia Timur (East Asia Peace Coalition, EAPC) sebagai aliansi keamanan regional baru yang berfokus pada anti-nuklir dan anti-hegemoni.

Alih-alih menunggu situasi memburuk dan hanya bereaksi terhadap krisis, pemerintah Indonesia dapat memimpin upaya mendesain ulang arsitektur keamanan Asia Timur. EAPC bisa mencakup negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, serta negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan yang juga memiliki kepentingan yang sama. 

Tujuan koalisi ini adalah untuk tidak hanya menjadi benteng pertahanan tetapi juga secara aktif memediasi dan menawarkan solusi konkret dalam mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea. EAPC dapat berperan dalam menetapkan jalur-jalur komunikasi krisis, meningkatkan latihan militer bersama yang bersifat defensif, serta melibatkan diplomasi antar masyarakat untuk menguatkan perdamaian berkelanjutan.

Koalisi ini memerlukan lebih dari sekadar deklarasi politik. Ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk memulai sebuah "diplomasi budaya" yang lebih mendalam. Dengan memanfaatkan kekayaan tradisi dan sejarah Asia, Indonesia dapat mendorong pendekatan baru terhadap perdamaian yang tidak hanya bergantung pada kekuatan militer atau politik semata. 

Diplomasi ini dapat mencakup program pertukaran budaya, pendidikan, dan inisiatif masyarakat sipil yang menekankan pentingnya persatuan Asia di tengah ancaman eksternal. Misalnya, sebuah festival perdamaian tahunan yang diadakan di kota-kota besar Asia, mempertemukan seniman, pemikir, dan aktivis dari seluruh wilayah untuk berdialog tentang masa depan Asia yang lebih aman. Acara semacam ini dapat memperkuat rasa saling pengertian dan empati antar bangsa, yang pada gilirannya dapat menurunkan eskalasi konflik.

Dalam konteks ini, angka-angka menunjukkan urgensi dari pendekatan proaktif. Anggaran pertahanan Korea Selatan yang meningkat menjadi USD 50,2 miliar mencerminkan ketegangan yang meningkat, sedangkan anggaran pertahanan Jepang yang mencapai USD 46,3 miliar pada 2023, naik 10% dari tahun sebelumnya, menunjukkan tren global menuju peningkatan alokasi untuk keamanan. Angka-angka ini tidak hanya menyoroti kompetisi militer yang ketat tetapi juga kebutuhan mendesak untuk langkah-langkah diplomatik yang dapat meredakan ketegangan.

Di era informasi saat ini, Indonesia dapat mengambil langkah berani dalam bidang teknologi dengan memimpin upaya pembentukan Pusat Komando Siber Regional yang berfungsi untuk melawan disinformasi dan propaganda yang dapat memicu ketegangan antar negara.

Dengan fakta bahwa serangan siber di Asia meningkat sebesar 30% dari tahun 2022 hingga 2023, pusat ini akan berperan sebagai penjaga informasi yang terpercaya di kawasan, memberikan analisis objektif dan memperingatkan negara-negara Asia tentang kemungkinan manipulasi informasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 

Dengan menjadi penjaga informasi netral, Indonesia tidak hanya membangun kepercayaan di antara negara-negara Asia tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin regional. Langkah ini bisa dimulai dengan melibatkan akademisi, pakar teknologi informasi, dan jurnalis dari seluruh Asia untuk bekerja sama dalam menciptakan platform berbagi informasi yang dapat dipercaya.

Namun, inisiatif ini mungkin menghadapi risiko. Negara-negara besar seperti AS, Rusia, atau China bisa melihat langkah ini sebagai ancaman terhadap kepentingan mereka di Asia Timur. Namun, ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan bahwa diplomasi tidak harus selalu memihak pada salah satu kekuatan besar. Indonesia bisa berperan sebagai "Kekuatan Keseimbangan Baru", berdiri di luar konflik kepentingan global. 

Sebagai negara dengan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia memiliki posisi unik untuk menawarkan solusi yang tidak konvensional dan keluar dari kerangka pemikiran tradisional. Sejarah hubungan diplomatik Indonesia dengan berbagai kekuatan global menunjukkan bahwa pendekatan "bebas aktif" ini bisa menjadi fondasi untuk strategi yang lebih inklusif dan non-konfrontatif.

Indonesia juga perlu melihat ketegangan di Semenanjung Korea sebagai kesempatan untuk menegaskan posisi ASEAN di panggung internasional. Saat ini, ASEAN cenderung bersikap reaktif terhadap perkembangan geopolitik, tetapi dengan ancaman nyata di depan mata, saatnya bagi ASEAN untuk membentuk "Komite Keamanan Asia Timur", yang bertindak sebagai mekanisme respons cepat terhadap krisis keamanan di kawasan. Komite ini dapat melibatkan militer, diplomat, dan pakar keamanan dari seluruh negara anggota ASEAN yang fokus pada pencegahan konflik, termasuk pengawasan senjata nuklir. Komite ini juga bisa menjadi wahana bagi negara-negara ASEAN untuk menyuarakan pendekatan kolaboratif dalam mengatasi ancaman global.

Indonesia dapat memimpin upaya pengembangan Perjanjian Zona Bebas Nuklir Asia Timur, yang memperluas cakupan perlindungan dari Traktat Bangkok 1995 untuk mencakup Semenanjung Korea dan Laut China Timur. Perjanjian ini akan mengharuskan negara-negara yang menandatanganinya untuk tidak mengembangkan, memperoleh, atau menggunakan senjata nuklir, serta membuka diri untuk inspeksi oleh badan internasional yang netral. Langkah ini bisa mengurangi ketegangan dan membangun kepercayaan. Upaya semacam ini memerlukan diplomasi tingkat tinggi dan kesiapan untuk menegosiasikan kompromi yang adil antara pihak-pihak yang berkonflik, yang mana Indonesia dapat memainkan peran sentral sebagai fasilitator.

Elemen kunci dari semua ini adalah keberanian untuk berinovasi dalam diplomasi. Indonesia harus memanfaatkan posisinya sebagai negara demokratis terbesar di Asia Tenggara dan salah satu ekonomi terbesar di Asia untuk menunjukkan bahwa keamanan dan stabilitas tidak harus dicapai melalui dominasi militer atau politik. Sejarah mengajarkan kita bahwa perdamaian sejati tidak datang dari senjata, tetapi dari keberanian untuk berdialog dan memahami perbedaan. Dengan mengedepankan inovasi diplomasi, Indonesia dapat menunjukkan bahwa perdamaian bukan sekadar absennya perang, melainkan hasil dari upaya kolaboratif dan rasa saling percaya yang terbangun di antara negara-negara.

Untuk merealisasikan visi ini, Indonesia harus memperkuat diplomasi multilateralnya dengan memperluas jaringan diplomatik yang ada. Langkah pertama adalah mengadakan dialog tingkat tinggi yang melibatkan aktor-aktor utama di Asia Timur dan Tenggara, termasuk negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan China. 

Forum-forum internasional seperti Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur dapat memfasilitasi pertemuan trilateral dan multilateralisme untuk menciptakan jalur komunikasi yang lebih terbuka dan mengurangi risiko konflik. Sebuah mekanisme diplomatik yang kuat dapat membantu mengatur kembali hubungan kekuatan di kawasan dan mengurangi ketergantungan pada pendekatan militeristik.

Selain itu, penting bagi Indonesia untuk menggalang dukungan domestik bagi inisiatif kebijakan luar negerinya melalui kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Dukungan publik yang kuat akan memberikan landasan yang kokoh bagi pemerintah dalam bernegosiasi di forum internasional.

Kampanye kesadaran publik, seminar-seminar, dan kerja sama dengan universitas serta lembaga penelitian dapat membantu membentuk opini publik yang mendukung inisiatif internasional Indonesia. Mengedepankan pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai peran Indonesia di panggung global dapat meningkatkan rasa bangga nasional dan partisipasi aktif dalam proses diplomasi.

Indonesia juga dapat menginisiasi pembentukan Dewan Pertahanan dan Keamanan Asia Timur yang berfokus pada kerja sama pertahanan non-militer. Dewan ini dapat menangani isu-isu seperti keamanan siber, penanggulangan bencana alam, serta krisis kemanusiaan. 

Pendekatan yang lebih humanis ini dapat menarik perhatian negara-negara kawasan untuk bersama-sama mencari solusi damai dan inovatif. Pendirian dewan semacam ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan keamanan yang lebih luas di kawasan Asia Timur dan Tenggara serta kemampuan untuk merumuskan kebijakan yang inklusif dan kooperatif.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia tidak hanya akan memperkuat posisinya sebagai pemimpin di Asia Tenggara tetapi juga menetapkan preseden baru dalam diplomasi internasional yang mengutamakan solusi damai dan kolaboratif. Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk membuktikan bahwa di tengah ancaman perang nuklir, ada jalan lain yang lebih beradab dan konstruktif. 

Dunia membutuhkan pemimpin yang berani mengubah aturan main, dan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan moral dan diplomasi yang dapat mengarahkan dunia menuju perdamaian sejati. Dengan fondasi ekonomi yang kuat dan sejarah panjang dalam diplomasi yang inklusif, Indonesia bisa menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih stabil dan harmonis di Asia dan sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun