Ada yang pernah dengar pepatah “tak ada gading yang tak retak”? Mungkin ini yang sedang dialami KPK kita tercinta. Dulu, KPK diibaratkan seperti superhero yang berdiri sendiri, gagah perkasa, melawan korupsi tanpa pandang bulu. Tapi, seiring waktu, entah kenapa, jubah superhero itu kini terasa sedikit kusut dan malah terlihat seperti seragam Aparatur Sipil Negara (ASN). Apakah ini tanda-tanda bahwa KPK sudah tidak lagi independen? Mari kita bahas dengan sedikit humor, tapi tetap kritis!
Ingat saat revisi UU KPK 2019 yang bikin heboh seantero negeri? Ya, itu adalah momen di mana banyak orang merasa KPK sedang diberi 'baju baru'. Lucunya, baju baru ini bukan untuk membuat mereka terlihat lebih gagah, tapi justru seperti memasukkan mereka ke dalam kotak yang lebih kecil. Apa yang terjadi? KPK jadi harus minta izin Dewan Pengawas setiap kali mau nyadap orang. Dulu, KPK bak petir yang menyambar, sekarang, mau menyambar pun harus bilang “permisi” (Kompas, 2019)
Sebagai pegawai negeri, pegawai KPK juga harus patuh pada aturan main ASN. Jadi, kalau dulu ada pegawai KPK yang super kritis dan tajam dalam bekerja, kini mereka harus lebih "hati-hati" karena ada aturan birokrasi yang mengikat. Ada yang bilang, ini seperti mengganti sayap elang dengan rantai emas. Cantik memang, tapi jelas mengurangi daya terbangnya (Tempo, 2021)
Dalam proses pemilihan pimpinan KPK, sepertinya ada kesan bahwa yang terpilih bukan sekadar yang terbaik, tapi yang "terbaik" menurut versi pihak tertentu. Seperti ada permainan catur yang kita tidak lihat, dan pion yang kita kira akan maju ternyata malah mundur dengan strategi yang sulit dipahami. Sangat mungkin, "lucu-lucu" begini lah yang membuat kita bertanya-tanya: apakah para pimpinan KPK ini benar-benar bebas, atau hanya sebebas burung dalam sangkar? (Indonesia Corruption Watch, 2019)
Di era dulu, KPK dikenal tegas, bahkan beberapa pejabat sampai gigit jari karena takut diseret. Tapi sekarang, kasus-kasus tertentu tampaknya melambat seperti jalan di belakang truk besar di tanjakan. Aneh, kenapa kasus yang melibatkan orang-orang tertentu justru seperti memiliki rem tangan yang kuat? (Kompas, 2020)
Tidak hanya di dalam negeri, perhatian dunia internasional terhadap KPK juga mulai merosot. Dulu, KPK dipuja-puja sebagai salah satu lembaga antikorupsi paling tangguh di dunia. Namun kini, beberapa laporan internasional menyoroti bagaimana perubahan di KPK berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia (Transparency International, 2020). Ini bukan lagi soal jubah superhero, tapi soal kepercayaan yang mulai pudar.
Pernah mendengar kisah "independensi" yang menghilang bak sihir? Nah, banyak yang percaya bahwa intervensi dari eksekutif dan legislatif bisa jadi memiliki pengaruh lebih dari yang terlihat. Seperti pertunjukan sulap di mana kita terpana melihat tangan kanan, tapi lupa mengawasi tangan kiri. Jangan-jangan, tangan yang tidak terlihat ini yang sebenarnya memainkan peran penting di balik layar? (Amnesty International, 2020)
Ada juga cerita soal anggaran. Di dunia birokrasi, anggaran adalah segalanya. Dan ketika anggaran KPK dipangkas atau dikontrol ketat oleh pihak tertentu, apakah ini berarti KPK masih bisa bergerak dengan bebas? Bukan rahasia lagi bahwa tanpa uang, sulit untuk melawan korupsi yang bermodal besar (The Jakarta Post, 2020)
Bahkan dalam ranah humor, KPK yang dulu penuh wibawa, kini sering jadi bahan candaan. Ada yang bilang, "KPK sekarang lebih mirip kucing rumahan daripada harimau hutan." Lucu memang, tapi juga menohok. Kucing rumahan ini mungkin gemuk dan nyaman, tapi harimau hutanlah yang ditakuti.
Laporan dari berbagai sumber, seperti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International, menunjukkan bahwa reformasi yang diterapkan malah memperlambat kerja KPK. Jadi, bukan lagi soal apakah KPK bisa melakukan penyelidikan, tapi seberapa cepat dan seberapa jauh mereka bisa pergi sebelum harus kembali ke kandang? (Indonesia Corruption Watch, 2019)