Mohon tunggu...
Heni Yunilda Hasibuan
Heni Yunilda Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika di SMA Garuda Cendekia - Mahasiswa Program Doktor Pendidikan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Senang menyelami hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, terutama pendidikan matematika dan pendidikan khusus.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Etnopedagogi sebagai Pengintegrasian Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya

16 April 2023   05:48 Diperbarui: 16 April 2023   05:47 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Foto: Klasika Kompas/Wahyu Hidayat

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekhasan tersendiri dalam bidang pendidikan. Salah satunya adalah terintegrasinya kebudayaan dengan pendidikan. Hal ini dapat dengan mudah diketahui secara sederhana melalui penamaan kementerian yang menaungi kedua hal tersebut, yaitu Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi. Namun, tentunya filosofinya jauh lebih dalam dari sekedar penamaan tersebut.

Budaya dengan pendidikan di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang baru. Indonesia memiliki Bapak Pendidikan Nasional, yaitu Ki Hadjar Dewantara yang mengusung filosofi pendidikan dalam bahasa Jawa, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. 

Semboyan ini terus-menerus digaungkan dan dikenal secara luas dengan bahasa asalnya, meskipun sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Hal ini menjadi salah satu bukti kuat yang menunjukkan bahwa Indonesia sedari dulu sudah mengintegrasikan budaya dengan pendidikan.

Ilustrasi Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Foto: Klasika Kompas/Wahyu Hidayat
Ilustrasi Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Foto: Klasika Kompas/Wahyu Hidayat

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim berusaha untuk memperkuat konsep pengintegrasian kebudayaan dengan pendidikan melalui kebijakan implementasi Kurikulum Merdeka. Penguatan Profil Pelajar Pancasila menjadi salah satu usaha nyata pengintegrasian kebudayaan dengan pendidikan. 

Hal ini tercermin dalam salah satu kompetensi Profil Pelajar Pancasila yang diharapkan dapat berkembang pada pelajar di Indonesia, yaitu berkebinekaan global. 

Poin penting yang menjadi titik berat kompetensi ini adalah Merdeka Berbudaya, yaitu mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan yang menjadi cerminan dari karakteristik bangsa Indonesia, namun tetap berpikiran terbuka terhadap budaya lain yang bernilai positif.

Implementasi pengembangan Profil Pelajar Pancasila dilaksanakan melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau lebih dikenal luas sebagai P5. Kegiatan ini terus-menerus digaungkan semenjak Kurikulum Merdeka resmi diluncurkan oleh Nadiem Makarim dan menjadi hal yang terus diperbincangkan dalam kelompok-kelompok diskusi. 

P5 disambut dengan baik oleh banyak sekolah sebagai suatu terobosan baru dalam pembelajaran. Dalam program P5, ada enam kompetensi Profil Pelajar Pancasila yang diharapkan dapat dikembangkan dalam diri siswa, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; 2) berkebinekaan global; 3) bergotong royong; 4) mandiri; 5) bernalar kritis; dan  6) kreatif. 

Sebagai usaha untuk memenuhi hal tersebut, pemerintah mencoba menghadirkan Merdeka Belajar dalam program P5 melalui kebebasan setiap satuan pendidikan untuk merancang dan mendesain program P5 yang didasari oleh karakteristik sekolah dan siswa. Selain itu, siswa juga diberikan kebebasan untuk memilih tema projek yang sesuai dengan minat dan potensi yang dimilikinya.

Kompetensi yang diharapkan berkembang dalam Profil Pelajar Pancasila. Foto: idsch.id
Kompetensi yang diharapkan berkembang dalam Profil Pelajar Pancasila. Foto: idsch.id

Masing-masing komponen berusaha untuk dipenuhi oleh setiap institusi dalam melaksanakan program P5. Ada institusi yang dengan sangat baik mengimplementasikan filosofi Ki Hadjar Dewantara yang berorintasi pada perkembangan minat dan potensi siswa. Terutama untuk sekolah-sekolah yang memang sudah menjalankan "ritme"nya bahkan sebelum Kurikulum Merdeka diimplementasikan secara meluas. 

Namun, tak banyak sekolah yang pada akhirnya hanya sekedar menjalankan kewajiban saja hingga akhirnya hanya menjadi formalitas tanpa memahami maksud dan tujuan digulirkannya program P5 oleh pemerintah.

Banyak guru mengeluhkan ketidakpahaman mereka terhadap implementasi Kurikulum Merdeka, terutama dalam pelaksanaan program P5. Teknis pelaksanaan yang disesuaikan dengan tafsiran sekolah masing-masing memberikan hasil yang juga disesuaikan dengan tafsiran tersebut. 

Hal ini tentunya berimbas pada tidak tepatnya tujuan yang diharapkan dapat tercapai, yaitu penguatan Profil Pelajar Pancasila. Pelaksanaan program P5 seolah menjadi projek uji coba atau trial and error.

Masalah bermunculan semenjak sekolah-sekolah mulai mencoba untuk melaksanakan P5. Kurangnya informasi yang jelas dan detail tentang teknis pelaksanaan P5 membuat banyak sekolah, terutama guru sebagai pelaksana di lapangan, merasa kebingungan bagaimana harus melaksanakan program yang sejatinya baik untuk pendidikan. 

Meskipun pemerintah telah menerbitkan buku Panduan Penguatan Projek Profil Pelajar Pancasila, namun pendistribusiannya belum tersebar ke seluruh sekolah pelaksana Kurikulum Merdeka.

Ditambah lagi dengan tidak adanya kewajiban pada para guru untuk mengikuti pelatihan mengenai hal yang baru ini. Kedua hal tersebut tentu saja berimbas pada ketidakutuhan informasi yang diperoleh guru untuk melaksanakan P5 sehingga berimbas kepada kekurangjelasan dan ketidakyakinan guru dalam merancang dan melaksanakan P5. 

Masing-masing sekolah mencoba menerka-nerka teknis implementasi P5, terutama sekolah berlabel swasta yang seolah diharuskan memiliki kemandirian yang lebih dalam melaksanakan program pemerintah.

Salah satu hal yang perlu disoroti adalah pengintegrasian kebudayaan pada pendidikan yang idealnya terlaksana dalam program P5. Banyak sekolah yang pada akhirnya hanya mencocok-cocokkan kearifan budaya lokal dengan projek yang dilakukan siswa dalam program P5. 

Sayangnya, budaya lokal yang diangkat dalam projek siswa kebanyakan hanya sekedar membuat panganan khas daerah setempat. Selain itu, pameran hasil karya siswa dalam program P5 juga diramaikan oleh pembuatan karya seni rupa oleh siswa. 

Pertanyaan besarnya adalah apakah kedua hal tersebut memang menjadi tujuan dari diadakannya program P5? Apakah seluruh kompetensi dalam Profil Pelajar Pancasila dapat berkembang hanya dengan melakukan kedua hal tersebut? Pada jenjang sekolah dasar, mungkin saja jawabannya adalah iya. Tetapi pada jenjang sekolah menengah, terutama sekolah menengah atas, tentu saja jawabannya tidak. Lantas apa yang dapat dilakukan?

Fokus utama dalam program P5 adalah proses pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi dan karakter siswa. Hal ini juga berarti bahwa program P5 memiliki tujuan bukan semata-mata hanya pada hasil atau produk yang dihasilkan, melainkan dititikberatkan pada proses yang dilakukan siswa selama melakukan pembelajaran pada program P5. 

Dengan demikian, setiap satuan pendidikan perlu merancang program P5 yang mampu memfasilitasi pengembangan kompetensi Profil Pelajar Pancasila melalui proses pembelajaran bermakna. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan projek berbasis karya ilmiah etnopedagogi.

Etnopedagogi dapat diartikan secara sederhana sebagai pembelajaran berbasis budaya, baik sebagai sumber belajar ataupun sebagai media pembelajaran. Melalui projek berbasis karya ilmiah etnopedagogi, siswa diharapkan mampu mempelajari budaya setempat atau kearifan lokal yang menarik untuk diangkat dalam projeknya dan dikaitkan dengan materi pembelajaran dalam mata pelajaran di sekolah. 

Hal ini dapat dilakukan melalui eksplorasi budaya dengan melakukan observasi langsung pada pusat-pusat kebudayaan atau bersumber pada pakar budaya setempat atau mengkaji hasil penelitian pada jurnal-jurnal ilmiah yang telah dilakukan oleh banyak peneliti di Indonesia. 

Siswa juga dapat diajak untuk merancang dan melakukan penelitian berbasis computational thinking secara sederhana dengan harapan agar siswa dapat menemukan konsep materi yang sedang atau telah mereka pelajari di sekolah dalam kearifan lokal yang melekat pada kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, semua kompetensi Profil Pelajar Pancasila diharapkan dapat berkembang.

Melalui projek berbasis karya ilmiah etnopedagogi, siswa dapat mengkontekstualkan apa yang dipelajarinya di kelas dengan apa yang ada dalam kehidupannya sehari-hari atau yang ada di lingkungan sekitarnya. 

Selain itu, siswa juga menjadi bagian dalam mempertahankan dan melestarikan budaya bangsa. Dengan demikian, Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya dapat terintegrasi dan terpadu sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam Kurikulum Merdeka melalui implementasi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun