Mohon tunggu...
Henida syifaAzzahra
Henida syifaAzzahra Mohon Tunggu... Penulis - Wonderfull islamic and natural

Wonderfull islamic and natural

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingnya Konseling Traumatik bagi Anak-anak Korban Bencana Alam

8 Mei 2019   05:43 Diperbarui: 8 Mei 2019   06:11 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara yang sangat rentan akan bencana alam, Banjir, Longsor, Kebakaran Hutan, Tsunami dan Gempa Bumi. Peristiwa-peristiwa itu secara langsung dan jangka panjang berakibat buruk bagi masa depan anak-anak. Bencana alam yang terjadi mengakibatkan kerugian yang luar biasa, baik kerugian materi maupun kerugian psikis.

Dampak psikis akan meninggalkan trauma yang mendalam bagi korban bencana alam, terutama anak-anak yang merupakan golongan sangat rentan sekali terhadap trauma. Karena anak-anak yang masih dalam proses perkembangan awal akan menyimpan seluruh kejadian dalam memorinya dan akan mempengaruhi tingkah laku di kemudian hari. Untuk membantu penderita traumatik adalah melakukan konseling.

Konseling traumatik sangat urgen sekali peranannya dalam pemberian bantuan bagi korban bencana alam khususnya bagi anak-anak. Konseling Traumatik diiperuntukan untuk kondisi trauma yang masih dalam batas kecemasan ringan dan sedang, seperti ketakutan yang berlebihan, phobia dan sebagianya.

Konsep konseling traumatik menggunakan berbagai pendekatan yang disesuaikan kepada tingkat kebutuhan korban bencana alam, dengan demikian ketika konseling traumatik digunakan untuk anak-anak maka pelaksanaannya berlandaskan tingkat perkembangan dan kebutuhan psikologis anak sehingga konseling traumatik akan tepat pada sasarannya.

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata Trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik akan dihayati secara berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga setiap orang akan memiliki reaksi yang berbeda pula pada saat menghadapi kejadian yang traumatik.
Ada beberapa ciri trauma:
1.Disebabkan oleh kejadian dahsyat yang mengguncang di luar rencana dan kemauan kita 

2.Kejadian itu sudah berlalu3

.Terjadi mekanisme psikofisik : kalau tidak melawan maka saya akan binasa

4.Sensitif terhadap stimulus yang menyerupai kejadian asli. Contohnya : korban gempa hanya mendengar bunyi tertentu saja maka dia akan ketakutan karena ia secara otomatis mengasosiasikan bunyi itu dengan kejadian yang mengguncang dirinya. 

Manusia yang mengalami kejadian yang hebat dalam hidupnya ini akan mengalami trauma begitu hebat, kecemasan-kecamasan yang berlebihan yang membuat kehidupan mereka terganggu. Perasaaan ketakutan ini akan membentuk sebuah Pola respon cemas
( Anxiety Response Pattern)
merupakan gangguan kecemasan yang dialami seseorang dan kecemasan itu tidak dapat dilukiskan secara obyektif apa yang dirasakannya. 

Dalam setiap bencana alam yang terjadi, kondisi trauma yang paling sering terjadi adalah pada diri anak-anak. Anak-anak sangat rentan sekali untuk terkena trauma. Selain kondisi psikologis mereka yang masih sangat membutuhkan perlindungan, anak-anak juga sangat membutuhkan kondisi-kondisi yang nyaman dan tenang untuk mencapai tugas-tugas perkembangannya.

Kesulitan dan penderitaan pada anak-anak tersebut membutuhkan penanganan langsung untuk pemulihan ke arah kehidupan yang normal, serta perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya hambatan psikologis karena masalah-masalah psikososial tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh berbagai pihak selama ini dirasakan bermakna untuk memulihkan kondisi mereka untuk dapat hidup secara normal dan memberikan dukungan untuk tumbuh secara positif. 

Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang paling pajang diantara masa-masa yang lain. Anak-anak adalah masa dimana seorang individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. kemudian masa anak-anak merupakan masa dimana perkembangan emosi sangat ditentukan oleh keadaan di sekitar.

Perkembangan emosi anak-anak sangat kuat, pada saat masa anak-anak emosi sangat tidak stabil atau masa terjadinya ketidakseimbangan emosi karena anak-anak "keluar dari fokus". Dalam arti bahwa ia mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Pola-pola emosi umum yang sering ditampilkan oleh anak-anak adalah emosi yang berhubungan dengan rasa takut seperti khawatir, was-was, dan malu.

Emosi yang umum pada awal masa kanak--kanak adalah amarah yang penyebab utama adalah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari orang lain. Emosi takut, akan ditampilkan sebagai pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut. Seperti cerita-cerita, gambar--gambar, acara radio, kejadian-kejadian yang menakutkan.

Pada mulanya reaksi anak terhadap rasa takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar, dan bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan. Dengan demikian anak-anak sangat rentan terkena traumatik jika pada masa perkembangan emosinya yang tidak stabil terjadi kejadian-kejadian yang memilukan dan membekas dalam ingatannya. Hal ini otomatis akan berdampak kepada perkembangannya dimasa yang akan datang. 

Dalam konteks penanggulangan problema pasca bencana, justru pendampingan yang bersifat psikologis menjadi kunci penyelamat keberlangsungan eksistensi bagi korban yang masih hidup yang harus merencanakan kehidupannya di masa datang terutama bagi anak-anak yang masih akan tumbuh dan berkembang.

Sementara Konseling merupakan profesi yang objek praktik spesifiknya (OPS) adalah manusia. sehingga keberadaan konseling diharapkan dapat membantu permasalahan trauma tersebut, khususnya untuk anak-anak. Konseling traumatik membantu anak-anak korban bencana menata kestabilan emosinya kembali, sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit.

Mengembalikan emosi secara benar dan dapat berpikir secara realistik. Dengan demikian seharunya konseling traumatik dapat memberikan kontribusi yang berbeda kepada para korban untuk menemukan kembali rasa percaya diri yang sempat terkoyak tak berdaya dirampas bencana. Kegiatan konseling bisa dijadikan alternatif dalam mengatasi traumatik yang berkelanjutan. 

Dalam proses konseling, konselor berupaya memberikan kondisi-kondisi pada klien agar mereka mampu memenuhi kebutuhannya akan kebermaknaan, cinta, kebutuhan akan aktualisasi sehingga klien bisa membuat solusi serta berani melakukannya. Awalnya, anak -anak bisa diajak untuk berbagi mengenai hal yang membebaninya tersebut. Disini, anak -anak dibiarkan untuk mengungkapkan segala yang dirasakan hingga mendapatkan kebutuhannya akan rasa aman.

Kedua, konselor bisa membantu warga dan anak-anak untuk menemukan solusi atas apa yang menjadi ketakutannya. Terakhir, warga dan anak-anak diajak untuk berani menerima kenyataan dengan ikhlas. Bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa dan ini bukanlah menjadi akhir dari segalanya, namun untuk menunjukkan seberapa kuat diri kita mampu bangkit lagi setelah terjatuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun