Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang paling pajang diantara masa-masa yang lain. Anak-anak adalah masa dimana seorang individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. kemudian masa anak-anak merupakan masa dimana perkembangan emosi sangat ditentukan oleh keadaan di sekitar.
Perkembangan emosi anak-anak sangat kuat, pada saat masa anak-anak emosi sangat tidak stabil atau masa terjadinya ketidakseimbangan emosi karena anak-anak "keluar dari fokus". Dalam arti bahwa ia mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Pola-pola emosi umum yang sering ditampilkan oleh anak-anak adalah emosi yang berhubungan dengan rasa takut seperti khawatir, was-was, dan malu.
Emosi yang umum pada awal masa kanak--kanak adalah amarah yang penyebab utama adalah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari orang lain. Emosi takut, akan ditampilkan sebagai pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut. Seperti cerita-cerita, gambar--gambar, acara radio, kejadian-kejadian yang menakutkan.
Pada mulanya reaksi anak terhadap rasa takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar, dan bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan. Dengan demikian anak-anak sangat rentan terkena traumatik jika pada masa perkembangan emosinya yang tidak stabil terjadi kejadian-kejadian yang memilukan dan membekas dalam ingatannya. Hal ini otomatis akan berdampak kepada perkembangannya dimasa yang akan datang.Â
Dalam konteks penanggulangan problema pasca bencana, justru pendampingan yang bersifat psikologis menjadi kunci penyelamat keberlangsungan eksistensi bagi korban yang masih hidup yang harus merencanakan kehidupannya di masa datang terutama bagi anak-anak yang masih akan tumbuh dan berkembang.
Sementara Konseling merupakan profesi yang objek praktik spesifiknya (OPS) adalah manusia. sehingga keberadaan konseling diharapkan dapat membantu permasalahan trauma tersebut, khususnya untuk anak-anak. Konseling traumatik membantu anak-anak korban bencana menata kestabilan emosinya kembali, sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit.
Mengembalikan emosi secara benar dan dapat berpikir secara realistik. Dengan demikian seharunya konseling traumatik dapat memberikan kontribusi yang berbeda kepada para korban untuk menemukan kembali rasa percaya diri yang sempat terkoyak tak berdaya dirampas bencana. Kegiatan konseling bisa dijadikan alternatif dalam mengatasi traumatik yang berkelanjutan.Â
Dalam proses konseling, konselor berupaya memberikan kondisi-kondisi pada klien agar mereka mampu memenuhi kebutuhannya akan kebermaknaan, cinta, kebutuhan akan aktualisasi sehingga klien bisa membuat solusi serta berani melakukannya. Awalnya, anak -anak bisa diajak untuk berbagi mengenai hal yang membebaninya tersebut. Disini, anak -anak dibiarkan untuk mengungkapkan segala yang dirasakan hingga mendapatkan kebutuhannya akan rasa aman.
Kedua, konselor bisa membantu warga dan anak-anak untuk menemukan solusi atas apa yang menjadi ketakutannya. Terakhir, warga dan anak-anak diajak untuk berani menerima kenyataan dengan ikhlas. Bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa dan ini bukanlah menjadi akhir dari segalanya, namun untuk menunjukkan seberapa kuat diri kita mampu bangkit lagi setelah terjatuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H