Mohon tunggu...
hpw53
hpw53 Mohon Tunggu... -

Pro Syariah dan khilafah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyikapi JKN dan Fasilitas BPJS

20 Agustus 2014   00:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:06 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1.pengembangan dana JKN

Jaminan kesehatan yang dilakukan pemerintah adlah karena peraturan dan perjanjian dengan organisasi internasional dalam Deklarasi PBB 1948 ttg HAM dan Pasal 25, Ayat (1) , serta dalam Resolusi WHA ke-58 2005 di Jenewabahwa Setiap negara perlu mengembangkan UHC melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang yang berkelanjutan.

Dari penelurusan dokumen-dokumen terkait dengan JKN yaitu lahirnya SJSN dan BPJS, nyatanya pihak asinglah yang banyak berperan bahkan menentukan, terutama ADB (Asian Development Bank).  Hal itu berawal pasca krisis tahun 1997.  Salah satu poin Letter of Intent (LoI) yang didektekan oleh IMF adalah liberalisasi sektor keuangan.  Untuk itu dibuat banyak proyek utang baik dari IMF, Bank Dunia dan ADB.

2.Pelayanan yang dapat dinikmati oleh masyarakat hanya pada batas tertentu, ada pelayanan yang tidak dijamin seperti;

·Tidak sesuai prosedur

·Pelayanan diluar Faskes yang bekerjasama dengan BPJS

·Pelayanan bertujuan kosmetik

·General Check up, pengobatan alternatif,

·Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, Pengobatan Impotensi

·Pelayanan kesehatan pada saat bencana

·Pasien bunuh diri, kesengajaan menyiksa diri atau karena Narkoba.

Sehingga untuk fasilitas tidak dijamin diatas membutuhkan biaya sendiri yang harus ditanggung oleh peserta, layanan yang dapat dinikmati oleh peserta juga hanya terbatas pada faskes yang bekerjasama dengan BPJS, sehingga saat layanan Faskes yang tidak terdaftar tidak ada maka masyarakat harus mengeluarkan tambahan biaya. Selain itu Sekitar 83 persen dana jaminan kesehatan ternyata digunakan untuk penyakit-penyakit yang bisa dicegah seperti diabetes, kanker, stroke, gagal ginjal dan lainnya.[1]Hal ini sinkron dengan konspirasi ke- yang dimana saat masyarakat mampu melakukan pencegahan terhadap penyakit tersebut maka dana yang di iurkan kepada BPJS tidak akan terpakai.

3.Konspirasi JKN sebagai pengendalian jumlah penduduk

Layanan JKN dijadikan program jangka panjang untuk mengendalikan jumlah penduduk. Pemerintah kini tengah menekankan beberapa program di bidang kesehatan seperti penekanan angka kelahiran melalui program Keluarga Berencana (KB), serta Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang sedang menjadi fokus program BKKBN.

Bagian Ketiga tentang wewenang dari BPJS[2]

4.Kapitalisme dibalik ketentuan iuran JKN

Pasal 11b

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk: menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendekdan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; Dana iuran yang telah dikumpulkanakandiinvestasikan dalam berbagai instrumen investasi di pasar finansial.   Hal jelas dinyatakan di UU SJSN dan UU BPJS.  Pasal 47 ayat 1 UU SJSN menyatakan, “Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai”.

selama ini seolah-solah dana iuran akan aman, dan jikapun diinvestasikan pasti aman dan untung, itu hanya propaganda kosong. Faktanya, investasi finansial bisa rugi.  Jika terjadi krisis finansial yang makin sering terjadi, investasi finansial bisa saja lenyap.

Jika investasi BPJS di pasar finansial yang berasal dari dana jaminan sosial yang jumlahnya sangat besar satu saat lenyap, maka Pemerintah wajib bertindak menyelamatkan BPJS, yang artinya wajib memberi talangan kepada BPJS.  Hal ini jelas disebutkan dalam UU BPJS Pasal 56 Ayat 2 dan 3.

Pasal 11f

mengenakan sanksi administratif kepada Pesertaatau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;

pasal 11h

melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan Sosial; tak ada ketentuan yang dijelaskan disini sehingga pihak swasta baik domestik dan asing pun dapat masuk menjadi peserta Fasek

5.Sasaran dari Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah empat golongan yang memberikan keuntungkan.

1.Pekerja Penerima Upah adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.  Penduduk yang tergolong kelompok ini adalah Pegawai Negeri Sipil, Prajurit TNI, Anggota POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri, Pegawai Swasta, dan Pekerja lainnya yang menerima upah.

2.Pekerja Bukan Penerima Upah adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri.  Penduduk yang tergolong kelompok ini adalah ‘Pekerja Di Luar Hubungan Kerja’ atau ‘Pekerja Mandiri’, dan Pekerja lainnya yang tidak menerima upah.

3.Bukan Pekerja tidak didefinisikan dalam PerPres JK.  Hanya daftar istilah yang ditetapkan.  Penduduk yang tergolong Bukan Pekerja adalah Investor, Pemberi Kerja, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan penduduk lainnya yang tidak bekerja dan mampu membayar iuran, Penerima Pensiun tidak terbatas pada pekerja yang memperoleh dana pensiun, melainkan janda, duda, anak yatim piatu yang menerima pensiun.  Semua penerima pensiun wajib mendaftar dan membayar iuran JKN.

4.penduduk yang terdaftar dalam Data Terpadu Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.  PP No. 101 Tahun 2012 menetapkan bahwa Data Terpadu ini ditetapkan enam bulan sekali dalam tahun anggaran berjalan oleh Menteri Sosial.

Semuanya adalah orang-orang yang memiliki upah dan gaji sehingga pemenuhan akan kesehatan mereka dapat berjalan dengan baik karena iuran mereka akan terus mengalir, sementara bagi pihak yang tak mampu membayar iuran “dibayarkan” oleh pemerintah dari dana APBN yang sebenarnya merupakan talangan dari peserta golongan yang bergaji yang tidak sakit atau memakai dana iuran kesehatan mereka, sehingga sebenarnya tak ada fasilitas kesehatan yang gratis.

5.Faskes yang diterimadipersempit agar aliran dana kesehatan tetap menjadi milik BPJS, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut ;

Selama peserta membayar iuran sesuai dgn kelompok peserta.

Bila peserta tdk membayar iuran atau meninggal dunia maka status kepesertaannya akan hilang.

Ketentuan lebih lanjut akan diatur oleh Peraturan BPJS.

Sorotan pada Peserta yg menginginkan kelas perawatan yg lebih tinggi dari pd haknya, dpt meningkatkan haknya dgn mengikuti asuransi kesehatan tambahan (akomodasi & ambulans. Ambulans hanya diberikan utk pasien rujukan dr Faskes dgn kondisi tertentu yg ditetapkan oleh BPJS Kes).

6.Cara pembayaran fasilitas kesehatan tidak hanya merugikan peserta JKN tetapi juga pengemban pelaksana(dokter)

BPJS Kesehatan membayar kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama dgn Kapitasi

Sedangkan utk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan BPJS membayar dgncara INA CBG’s .[3]

Jika disuatu daerah tdk memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang utk melakukan pembayaran dgn mekanisme lain yg lebih berhasil guna

7.Sorotan kepada provider atau lembaga yang bekerja sama dengan BPJS

Provider kesehatan pun tidak sembarangan, sebab ia harus bekerja sama dengan BPJS melalui kontrak disertai dengan persyaratan tertentu yang harus dipenuhinya. Provider ini lah yang akan bersaing untuk memperoleh keuntungan terlepas dari asalnya, domestik ataupun asing. Rumah sakit yang dikendalikan dengan prinsip bisnis tentu selalu berharap mendapat untung besar dengan memanfaatkan dokter serta profesional kesehatan sebagai pencari uangnya.

Sementara itu Chris Tan, Managing Director MSD (Merck Sharp & Dohme) Indonesia mengungkapkan kepada Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam pertemuan dengan delegasi US-ASEAN Business Council[4] di kantor Kementerian Kesehatan, dalam keterangannya kepada wartawan bahwa Sebagai pihak swasta, mereka ingin menyelaraskan bisnisnya dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, mereka bisa lebih mendukung pemerintah. Untuk itu, kami berharap dialog seperti ini dapat dilakukan lebih intensif,[5] dalam artian swasta asing juga ingin mengambil keuntungan dengan mendaftar sebagai lembaga faskes dari JKN.

8.Keberlanjutan dari pelaksanaan JSN akan menjadi pundi-pundi keuntungan bagi BPJS

Boleh jadi pada tahun-tahun pertama terjadi euforia penduduk ingin merasakan pelayanan kesehatan baru.Tapi setelah sistem ini berjalan dengan baik, kemungkinan besar dalam satu tahun itu banyak penduduk yang tidak menggunakan dana jaminan kesehatannya atau sangat minim menggunakannya karena ia rajin menjaga kesehatan (tidak sakit). Apalagi kalau dokter dan para profesional kesehatan telah mengedepankan pelayanan promotif melalui edukasi kesehatan dan preventif, tentu makin sedikit yang sakit dan makin banyak dana yang tidak terpakai untuk pelayanan kuratif (pengobatan). Karena itu, semakin banyak pula potensi dana sosial yang bisa digunakan sebesar-besarnya untuk mempertinggi derajat kesehatan rakyat Indonesia. Bahkan,tidak ada salahnya memberi insentif bagi dokter dan profesional kesehatan di pelayanan primer yang paling efisien menggunakan dana karena telah berhasil menyehatkan penduduk melalui program promotif dan preventifnya.

9.Negara lepas tangan dengan kesehatan rakyat padahal seharusnya mampu Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Kekayaan alam Indonesia sangat besar bila dikelola oleh negara, bukan swasta seperti sekarang. Berdasarkan hitungan APBN, produk minyak Indonesia mencapai Rp 295 trilyun, LNG (gas) Rp 435 trilyun, batubara sebesar Rp 311 trilyun, emas dan perak Rp 50 trilyun. Total hasil migas dan pertambangan ini mencapai Rp 1.091 trilyul per tahun.

Sementara itu sektor kelautan memiliki potensi sebesar Rp 738 trilyun.  Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10 persen, maka ini sudah sekitar Rp. 73 triliun. Sedangkan sektor kehutanan, kayu yang masih bisa menghasilkan diperkirakan mencapai Rp 1.000 trilyun.

Dengan demikian, dari akumulasi total pendapatan kekayaan alam di negeri ini, jika semuanya dikelola berdasarkan syariah, maka negara akan mendapatkan pemasukan per tahun sebesar Rp. 2.169 trilyun.

mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam suatu kesempatan menyatakan, negara cukup menyediakan dana sebesar Rp 25 trilyun setahun untuk menjamin kesehatan masyarakat. Menuruntnya, anggaran sebesar itu cukup bagi seluruh rakyat guna memenuhi kesehatan dasar mereka.

Maka, sungguh sangat aneh bila kemudian negara melepaskan tanggung jawabnya dari uang yang sebenarnya tidak seberapa dibandingkan pendapatan potensial negara yang ada. Seharusnya rakyat bisa berobat gratis kapan pun dan di mana pun dari hasil kekayaan alam negeri ini.  Bahkan jika anggaran kesehatan dinaikkan menjadi dua kali lipat yakni sebesar Rp 50 trilyun setahun pun, negara masih akan tetap bisa memenuhi layanan kesehatan dengan gratis.

[1] Pernyataan Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi. JPNN.Com

[2] http://www.jkn.kemkes.go.id UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[3] Cara INA CBG’s adalah membayar dokter sesuai fasilitas dan obat yang mereka gunakan, sementara gaji dokter hanya tunjangan dari pemerintah

[4] delegasi US-ASEAN Business Council yang berasal dari berbagai sektor bisnis. Saat ini, para delegasi tengah melakukan kunjungan di berbagai instansi pemerintah RI untuk bekerjasama di sektor perdagangan, penguatan ekonomi dan integrasi ekonomi.

[5] www.jawa pos national network

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun