Mohon tunggu...
Heni Susilawati
Heni Susilawati Mohon Tunggu... Dosen - life with legacy

senang menulis tentang politik, demokrasi dan pemilu

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pemilu dan Legasi yang Kita Tinggalkan

10 Oktober 2021   05:23 Diperbarui: 10 Oktober 2021   19:56 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga melintas di depan mural bertema pemilihan umum di kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, Kamis (7/5/2020).  (ANTARA FOTO/FAUZAN via kompas.com)

Demokrasi prosedural sudah sangat akrab dengan kehidupan di negara kita. Pengalaman kepemiluan negara kita telah dimulai sejak pertama kali diselenggarakan yakni pada tahun 1955. 

Era pemerintahan Orde Baru, Pemilu rutin digelar mulai dari tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. 

Perjalanan kepemiluan berlanjut di era reformasi yakni Pemilu tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Pertama kali dalam sejarah, keserentakan hari pencoblosan dilakukan pada Pemilu tahun 2019. 

Publik akrab dengan istilah Pemilu lima kotak suara. Dengan segala dinamika yang membersamainya, pemilih menerima sekaligus lima lembar surat suara di Tempat Pemungutan Suara yaitu Surat Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Masa reformasi terdapat perubahan yang cukup signifikan yakni dengan gelaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada tahun 2004. Dan kita pun sudah sangat akrab dengan perisitiwa rutin lima tahunan berupa Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 

Rakyat sebagai pemegang daulat memilih langsung Gubernur dan Wakil dan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. 

Rejim Pilkada atau sekarang disebutnya sebagai Pemilihan secara langsung telah diselenggarakan sejak tahun 2008 dan 2013. Era pilkada serentak digelar sejak tahun 2015, 2017, 2018 dan terakhir 2020.

Dan suasana kebatinan negeri ini, sudah terasa riuh rendah dinamika politik menuju perjalanan Pemilu Tahun 2024. Tarik ulur jadwal antara Penyelenggara teknis, DPR dan Pemerintah belum tuntas bersepakat mengenai hari H pencoblosan. Namun sudah bisa diprediksi, kompleksitas penyelenggaraan pesta demokrasi di tahun 2024. Mengapa kompleks?

Pada tahun 2024 itu, ada dua agenda politik yang sangat strategis yakni tahapan Pemilu dan Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Tahapan Pemilu tetap sama yakni Pemilu lima kotak suara. 

Kompleksitas yang akan dihadapi jika tidak dikelola dengan baik tentu berpotensi menimbulkan berbagai mudharat. Kata kunci mengelola kompleksitas itu yakni dengan perencanaan yang matang.

Setiap keputusan politik di Senayan sana mesti didasarkan pada kajian yang matang, komprehensif, dan mengedepankan manajemen resiko penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan yang sangat berdekatan bahkan beririsan dari sisi tahapan teknis penyelenggaraannya.

Membincang tahun politik 2024 semakna dengan membincang masa depan generasi harapan bangsa. Rasanya kita mesti belajar dari perjalanan kepemiluan kita sejak 1955 hingga saat ini. 

Sesungguhnya, demokrasi prosedural memiliki tujuan mulia yakni memastikan terjadinya sirkulasi elit lewat instrumen sistem pemilu yang mengkonversi suara menjadi kursi baik di legislatif maupun eksekutif. 

Persoalan yang mungkin sering luput dari perhatian kita yakni visi besar bangsa ini untuk mempertimbangkan nilai legasi kepemiluan yang memenuhi prinsip pemilu demokratis kepada generasi muda. 

Perspektif ini penting untuk dimiliki oleh setiap pemangku kepentingan Pemilu dan Pemilihan. Kesadaran yang utuh dan keinginan yang kuat untuk menjad bagian dari perubahan demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial. Sebagai mekanisme untuk sirkulasi elit, Pemilu dan Pemilihan lebih dari sekedar mencoblos di TPS. 

Narasi kepemiluan yang sejalan dengan nafas pemilu demokratis menuntut komitmen dan kesediaan semua stakeholders untuk menghadirkan pemilu yang bersih, luber dan jurdil. 

Tujuan dan proses mesti lah ada dalam ekosistem demokrasi elektoral yang bernuansa kebaikan, ada dalam ekosistem pemikiran yang visioner, ada dalam ekosistem keinginan yang kuat agar demokrasi elektoraldengan anggaran yang sangat besar mampu menjadi sumber insipirasi dan legasi kebaikan bagi generasi mendatang.

Jujur saja kualitas demokrasi kita masih jauh dari harapan, meskipun harus kita akui di sana sini banyak juga perbaikan. Data yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 dalam indeks demokrasi di tingkat global. 

Kita termasuk dalam kelompok negara dengan demokrasi semu. Ada enam parameter yang digunakan dalam menentukan indeks demokrasi di tingkat global. 

Menurut lembaga tersebut, enam parameter itu yakni proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, berjalannya pemerintahan, partisipasi politik dan budaya politik. Apa masalah terberat kita dalam parameter proses pemilu dan pluralisme? 

Persoalan yang kita hadapi tidak jauh dari problem pemilu yang transaksional, pemilih yang permisif terhadap politik uang, kampanye hitam, ujaran kebencian dan hoax yang disebarluaskan. 

Demokrasi semu bermakna ada demokrasi tapi masih jauh dari diterapkannya secara utuh prinsip pemilu demokratis dalam demokrasi elektoral kita baik pemilu maupun pemilihan. 

Demikian pula partisipasi politik dan budaya politik di negara kita, masih teramat panjang perjalanan yang harus kita tempuh untuk menghadirkan pemilu dan pemilihan yang mendekati ideal. 

Masing-masing kita harus selesai dengan diri sendiri. Mula dari penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) ya tentu termasuk jajaran KPU dan Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota hingga badan adhok. 

Peserta pemilu dan kandidat harus juga selesai dengan dirinya sendiri, media massa, ormas, okp, lsm dan tentu saja pemilih. Selesai dengan diri sendiri dalam arti kita bertemu dalam ruang yang besar bernama demokrasi elektoral dengan komitmen yang sama untuk mewujudkan pemilu yang bersih, luber dan jurdil. 

Tanpa kesamaan spirit, motivasi dan visi rasanya kita hanya terjebak dalam peristiwa rutin lima tahunan bernama Pemilu dan Pemilihan. Kita baru berhasil di tataran output dengan terpilihnya jajaran eksekutif dan legislatif. Dan kita belum maksimal berhasil pada tataran outcome keterpilihan legislatif dan eksekutif. 

Tetap saja keterpilihan para pemimpin belum secara maksimal menyelesaikan sejumlah persoalan mendasar dari kehidupan warga kita. Kebermanfaatan itu belum dirasakan secara utuh. 

Kondisi kesejahteraan warga kita masih jauh dari harapan. Lapangan kerja dan tingkat pendapatan adalah contoh diantara kebutuhan mendasar warga kita.

Kita pun merasa prihatin. Mereka yang terpilih dalam kontestasi demokrasi elektoral justru menjadi bagian dari masalah. Biaya politik yang sangat mahal menjadi pemicu lahirnya para pemimpin yang lupa dengan janji kampanye. 

Ada ketidakkonsistenan antara komitmen yang kuat untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan visi dan misi serta program. Inkonsistensi itu jika kita cermati berbagai pemberitaan dan kajian tidak lepas dari masalah orientasi para pemimpin terpilih. 

Orientasi mengembalikan modal politik mencederai kualitas output para pemimpin terpilih. Akibatnya sulit kita berharap lahirnya para pemimpin yang sungguh-sungguh berkomitmen melaksanakan pembangunan bagi sebesar-besarnya kemajuan masyarakat. 

Lalu legasi apa yang kita tinggalkan bagi generasi masa depan? Praktek pemilu dan pemilihan yang transaksional tentu bukanlah kabar baik, bukan kabar yang menggembirakan bagi generasi masa depan. Apa yang kita lakukan, apa yang kita praktekan dan apa yang kita pertontonkan akan menjadi sumber pembelajaran bagi generasi mendatang. 

Secara tidak langsung kita nyontohin yang ga bener dari demokrasi elektoral. Secara tidak langsung, kita nyontohin praktek pemilu yang jauh dari idealisme. 

Memang banyak anak muda yang masih bisa berpikir kritis, namun bisa saja banyak juga anak muda yang terbawa arus karena sudah kadung belajar dari contoh yang kita tinggalkan. 

Secara data, pada tahun 2024 nanti jumlah generasi Z (kelahiran 1999-2012) jumlahnya berkisar 24,25 persen (68.08 juta jiwa) dari total populasi. Sementara itu generasi Y (kelahiran 1997-1998) berjumlah 28,39 % sepadan dengan 81,507 juta jiwa. 

Generasi X (kelahiran tahun 1965-1976) berjumlah 11,45% atau setara 32,703 juta jiwa, generasi baby boomers (kelahiran 1946-1964) berjumlah 9,65% atau 27.562 juta jiwa dan generasi tradisionalist (kelahiran 1928-1946)  yakni 2,5% atau 6,133 juta jiwa. 

Mari kita catat bersama, pada pemilu tahun 2024 secara demografis pemilih kita akan didominasi oleh kalangan yang berusia 26-47 tahun (generasi Y, selanjutnya generasi Z (17-25 tahun)  dan generasi X (kisaran usia 48-59 tahun). Dan generasi Baby Boomers serta kelompok tradisionalis akan menjadi kelompok mayoritas.

Artinya apa? Pemilu 2024 akan didominasi oleh generasi milenial, generasi digital native, dan generasi yang lahir di era kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi. 

Jumlah yang cukup besar itu tentu saja lebih dari sekedar angka statistik. Secara filosofis dan sosiologis kelompok anak muda itu adalah harapan masa depan bangsa. 

Pada tahun 2024 nanti ada gerbong pemilih pemula, ada juga kelompok anak muda yang punya potensi memiliki pengalaman memilih di TPS untuk yang kedua kalinya. 

Sungguh angka yang cukup besar ini mesti disikapi dengan penguatan komitmen kita semua untuk memberikan teladan bagaimana gelaran pesta demokrasi itu sarat dengan semangat meninggalkan legasi keteladanan kepada anak-anak kita, adik-adik kita, tunas-tunas harapan bangsa di masa depan. Keteladanan dimulai dari niat yang kita, diiringi dengan contoh yang nyata.

Kita perlu memberikan contoh sesuai dengan kapasitas dan peran yang kita jalankan di tahun politik 2024. Mayoritas partisipasi politik bertumpu pada kelompok pemilih yang akan tersebar di ratusan ribu TPS di seluruh Indonesia. 

Sudah saatnya keinginan kuat kita untuk meninggalkan legasi dan teladan yang baik dalam pemilu dan pemilihan. Pilihan niat dan tindakan itu akan berpengaruh besar bagi lahirnya kepemimpinan yang menjadi bagian dari pemecahan masalah. 

Masa depan generasi hari ini akan sangat bergantung pada generasi sebelumnya. Akan sangat bergantung pada pola kepemimpinan yang dilahirkan melalui kontestasi bernama Pemilu dan Pemilihan. 

Tantangan di masa depan tidaklah ringan. Namun akan menjadi ringan, jika para pemimpin yang terpilih lahir dari kontestasi pemilu yang bersih, luber dan jurdil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun