Mohon tunggu...
Hengky Fanggian
Hengky Fanggian Mohon Tunggu... Wiraswasta -

There Must be a Balance Between What You Read and You What Write

Selanjutnya

Tutup

Politik

Habib Rizieq: Right Man on The Right Place

6 Februari 2017   09:27 Diperbarui: 6 Februari 2017   09:48 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin ada rekan yang bertanya dalam hati, judul ini maksudnya apa ? Sindirankah ataukah saya ini memang pendukung fanatik sang Habib ? Bukan itu yang saya maksud, maksud saya sebetulnya sederhana sekali yakni alangkah baiknya bila sang Habib berada pada posisi yang tepat untuk dirinya.

Saya adalah orang yang berpikiran bahwa di dalam suatu negara yang besar dan kompleks hampir semua karakter semestinya dapat ditampung. Contoh yang ekstrim misalnya, orang yang berkarakter kejam dapat ditampung menjadi Algojo, yang akan rutin mengeksekusi mati para koruptor dan bandar narkoba.

Mana mungkin kita pilih orang yang lembut hati untuk profesi seperti itu. Rekan blogger yang baru saja saya narasikan artikelnya nyeletuk, bilang pemikiran saya ini kok mirip dengan yang diajarkan Dale Carnegie. Ya betul, saya memang pengagum beliau sejak SMP.

Lantas sang Habib mau ditaruh dimana ??? Secara tak sengaja saya membaca tulisan di http://www.kompasiana.com/khairrubinoor/penerapan-syariat-islam-dalam-koridor-nkri-sebuah-tinjauan-kritis-thesis-habib-rizieq_5886459925b0bd610c7859d1. Ahaa, It’s a brilliant idea... kenapa tak ditaruh saja di Aceh sebagai Kepala Pelaksana Syariat Islam. Bukankah itu sesuai sekali dengan minat dan bakat sang Habib ?

Disitu beliau dapat mengoptimalkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Aceh memang mengidamkan syariat islam sejak dahulu kala, cuma memang banyak yang mengeluhkan bahwa implementasinya kurang optimal. Aceh mungkin memang memerlukan orang yang sangat terobsesi seperti sang Habib tersebut.

Nah sang Habib benar-benar akan menjadi The New Bright Shining Star disitu, yaah daripada beliau terus menerus bersitegang di Jakarta yang merupakan wilayah paling majemuk di negeri ini. Aceh di bawah sang Habib akan menjadi pilot project, yang bukan saja menjadi perhatian Nasional bahkan International.

Maka dari itu langsung saya tergerak untuk menarasikan artikel tersebut dalam bentuk video di channelYoutube ObrolanKita. Bila rekan menonton video tersebut, mungkin akan terlintas pertanyaan dalam benak... kenapa pandangan saya terhadap sang Habib begitu positif, bahkan terkesan seolah olah membela beliau habis-habisan.

Mungkin rekan perlu maklum bahwa tidak seluruh ide, gagasan dan pemikiran yang ada di channel ObrolanKita merupakan representasi pribadi saya. Sama halnya, bahwa tidak seluruh artikel di Kompasiana merupakan representasi pribadi dari ADMIN Kompasiana. Bahkan sekarang yg menarasikan / membacakan ObrolanKita juga ada sumbangsih dari rekan Kompasianer juga, yakni Bp Yosafati Gulo. Videonya dapat rekan lihat di sini. Saya undang rekan Kompasianer juga berpartisipasi dalam ObrolanKita.

It’s a free country guys, everyone can have any opinions.  Yah kok sudah kayak orang Amrik di film aja. Tapi memang begitulah, tak mungkin suatu media hanya menampung pemikiran yang persis sama dari pemikiran sang pemilik media tersebut, apapun medianya.

Namun meski begitu, tentu suatu media pastilah punya kriteria masing-masing untuk menerima atau menolak artikel dari luar. Begitupun ObrolanKita, yang meskipun cuma merupakan channelexpriment pribadi saya, namun tetap punya idealisme turut memajukan, minimal mempertahankan demokrasi kita.

Memang saya tak mampu berpersepsi begitu positif terhadap sang Habib, seperti blogger yang saya narasikan tersebut, namun dalam 1 hal pokok saya setuju dengan Kompasianer tersebut, yakni sang Habib cocoknya ya di Aceh, wilayah yang relatif jauh lebih Homogen daripada Jakarta.

Rasanya mustahil kita dapat setujui seluruh pemikiran pihak lain, namun itu bukan berarti kita tak dapat hargai pendapat tersebut selama pendapat tersebut tidak anti Demokrasi, anti Tolerasi dan anti Kemanusiaan. Yah itulah essensi demokrasi dan ObrolanKita memaksa saya untuk belajar menerapkan hal tersebut.

Bagi rekan yang pernah nonton ObrolanKita mungkin merasa ganjil sebab pagi hari saya upload narasi “Menggugat Thesis Habib Rizieq” yang begitu keras menohok sang Habib, lantas kenapa malamnya justru saya upload narasi yang terasa sebaliknya ? Nah penjelasan di atas saya rasa cukup membuat rekan mengerti.

Mungkin rekan ada yang bertanya, kok enak sang Habib migrasi ke Aceh. Selesaikan dulu dong urusan Hukum di Jawa ini. Betul sekali, saya setuju dan sependapat. Namun harus kita ingat bahwa di dalam negara ada yang namanya amnesti, yakni pengampunan... bahkan terhadap pemberontak bersenjata sekalipun.

Amnesti itu tidak cuma ada di Indonesia, amnesti diadakan karena pertimbangan manfaat dan mudarat, jadi bukan cuma berdasar pertimbangan kasihan atau perikemanusian semata. Justru pertimbangan rasionil lebih mengemuka dibanding menuruti kemauan perasaan (marah bin dendam).

Mungkin pula ada rekan yang menyodok, “Bukankah kasihan rakyat Aceh bila dikepalai oleh sang Habib”? atau “Rakyat Aceh kok dijadikan expriment coba-coba”. Maaf, mohon rekan sadari bahwa menjadi wilayah bersyariah adalah kemauan kuat dari masyarakat Aceh, bahkan sejak dulu kala.

Lantas kenapa harus sang Habib, tidak adakah yang lebih layak dari beliau ? Yah ini karena sang Habib dalam segala lagak lagunya atau jargonnya selalu kumandangan syariah. Bahkan ada istilah NKRI_Bersyariah. Daripada berpolemik yang tak ada habisnya antara pro dan kontra syariah, kenapa tak dibuktikan saja ?

Saya yakin kok bahwa para contra syariah akan berbalik arah, bila penegakan syariah betul-betul bagus, yakni dapat melibas para koruptor, meningkatkan kesejahteraan, menjunjung tinggi perikemanusian dan tolerasi dan sebagainya. Bukankah itu yang dibutuhkan masyarakat.

Lantas bagaimana bila ternyata sang Habib hanya OmDo (omong doang), enak aja dia bebas dari jerat hukum padahal dia mungkin tak seprofesional Ahok yang dapat membuktikan adanya perubahan significant. Harusnya Equality Before the Law tetap harus ditegakkan dong.

Tenang rekan, asas keadilan tetap ditegakkan kok. Jadi misalnya total vonis hukuman adalah 15 tahun maka beri dia kesempatan “mengabdi” di Aceh selama 5 tahun. Bila gagal maka dia harus menghabiskan sisa hukuman 10 tahun dibalik jeruji. Adil khan, lagi pula selama 5 tahun khan selalu ada evaluasi berkala, alias tetap harus accountable.

Di negara lain, selain ada amnesti khan juga ada hukuman yang berupa pengabdian sosial terhadap masyarakat, jadi perlakuan terhadap sang Habib bukanlah 100% baru.

Lagipula dengan diberinya sang Habib kesibukan baru maka dia tak akan lagi punya kesempatan untuk menerima “ORDER” sebab resikonya sangat besar, bila gagal di Aceh haruslah masuk terali. Bila sukses, bukan mustahil wilayah lain ingin mencoba penerapan syariah karena saking tak tahannya dengan korupsi yang terus mendera mereka.

Bagaimana bila sang Habib menolak. Lha bila vonis telah jatuh, memangnya ada pilihan yang lebih baik. Lagipula bila benar-benar menolak maka mata seluruh masyarakat justru akan semakin terbuka. Ooh ternyata sang Habib adalah anggota NATO (No Action Talk Only). Beda banget dibanding Ahok.

Tapi apakah pemerintah atau Pakde setuju ? Ya bisa saja beliau tidak setuju. Tapi daripada terus menerus timbul ketegangan yang tak perlu padahal beliau super sibuk. Maka Opsi tersebut memang layak dipertimbangkan.

Memang belum pernah ada preseden seperti itu, tapi kenapa tidak dicoba biar rasa penasaran masyarakat hilang. Beneran bisa kerja gak sikh sang Habib ? Yang kencang suaranya itu sangat banyak, namun yang bisa kerja setahu saya sikh baru Ahok. Biar masyarakat tahu bahwa kencang suara belum tentu kencang kerjanya.

Selama ini kita mungkin merasa bahwa Ahok identik dengan Jakarta, itu karena kesuksesannya. Mungkinkah terjadi nantinya Aceh juga identik dengan sang Habib karena kesuksesan beliau kembangkan syariah di Aceh ? Who knows, bila itu tak pernah dibuktikan maka Only God knows.

Kenapa saya sampai punya gagasan “nyentrik” seperti itu ? Itu karena saya benar-benar habis akal  terhadap sang Habib tersebut. Dibaiki malah ngelunjak, dikerasi malah kerahkan bala kurawa, padahal Pakde khan sedang sibuk kerja. Mabok...mabok hadapi yang kayak begituan.

Lantas bagaimana bila justru sang Habib yang melakukan kesalahan / pelanggaran hukum di tanah syariah tersebut ? Ya gampang saja, lihatlah bagaimana Robespire (sang algojo dalam revolusi Perancis) diperlakukan...yakni persis sama sebagaimana dia memperlakukan pihak lain yang dianggapnya bersalah. Gigi ganti gigi, guilontine ganti guilontine. Gitu aja kok repot.

Saya rasa opsi yang saya utarakan tersebut cukup fair. Namun bisa jadi rekan-rekan punya opini lain. Silahkan utarakan opini tersebut. Saya terbuka terhadap opini berbeda, kritikan bahkan kecaman. Selama semua opini bahkan kecaman tersebut bertujuan untuk mengkokohkan demokrasi maka saya persilahkan dengan senang hati.

Ok, rekan-rekan sekian dulu dari saya ... Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun