Rasanya mustahil kita dapat setujui seluruh pemikiran pihak lain, namun itu bukan berarti kita tak dapat hargai pendapat tersebut selama pendapat tersebut tidak anti Demokrasi, anti Tolerasi dan anti Kemanusiaan. Yah itulah essensi demokrasi dan ObrolanKita memaksa saya untuk belajar menerapkan hal tersebut.
Bagi rekan yang pernah nonton ObrolanKita mungkin merasa ganjil sebab pagi hari saya upload narasi “Menggugat Thesis Habib Rizieq” yang begitu keras menohok sang Habib, lantas kenapa malamnya justru saya upload narasi yang terasa sebaliknya ? Nah penjelasan di atas saya rasa cukup membuat rekan mengerti.
Mungkin rekan ada yang bertanya, kok enak sang Habib migrasi ke Aceh. Selesaikan dulu dong urusan Hukum di Jawa ini. Betul sekali, saya setuju dan sependapat. Namun harus kita ingat bahwa di dalam negara ada yang namanya amnesti, yakni pengampunan... bahkan terhadap pemberontak bersenjata sekalipun.
Amnesti itu tidak cuma ada di Indonesia, amnesti diadakan karena pertimbangan manfaat dan mudarat, jadi bukan cuma berdasar pertimbangan kasihan atau perikemanusian semata. Justru pertimbangan rasionil lebih mengemuka dibanding menuruti kemauan perasaan (marah bin dendam).
Mungkin pula ada rekan yang menyodok, “Bukankah kasihan rakyat Aceh bila dikepalai oleh sang Habib”? atau “Rakyat Aceh kok dijadikan expriment coba-coba”. Maaf, mohon rekan sadari bahwa menjadi wilayah bersyariah adalah kemauan kuat dari masyarakat Aceh, bahkan sejak dulu kala.
Lantas kenapa harus sang Habib, tidak adakah yang lebih layak dari beliau ? Yah ini karena sang Habib dalam segala lagak lagunya atau jargonnya selalu kumandangan syariah. Bahkan ada istilah NKRI_Bersyariah. Daripada berpolemik yang tak ada habisnya antara pro dan kontra syariah, kenapa tak dibuktikan saja ?
Saya yakin kok bahwa para contra syariah akan berbalik arah, bila penegakan syariah betul-betul bagus, yakni dapat melibas para koruptor, meningkatkan kesejahteraan, menjunjung tinggi perikemanusian dan tolerasi dan sebagainya. Bukankah itu yang dibutuhkan masyarakat.
Lantas bagaimana bila ternyata sang Habib hanya OmDo (omong doang), enak aja dia bebas dari jerat hukum padahal dia mungkin tak seprofesional Ahok yang dapat membuktikan adanya perubahan significant. Harusnya Equality Before the Law tetap harus ditegakkan dong.
Tenang rekan, asas keadilan tetap ditegakkan kok. Jadi misalnya total vonis hukuman adalah 15 tahun maka beri dia kesempatan “mengabdi” di Aceh selama 5 tahun. Bila gagal maka dia harus menghabiskan sisa hukuman 10 tahun dibalik jeruji. Adil khan, lagi pula selama 5 tahun khan selalu ada evaluasi berkala, alias tetap harus accountable.
Di negara lain, selain ada amnesti khan juga ada hukuman yang berupa pengabdian sosial terhadap masyarakat, jadi perlakuan terhadap sang Habib bukanlah 100% baru.
Lagipula dengan diberinya sang Habib kesibukan baru maka dia tak akan lagi punya kesempatan untuk menerima “ORDER” sebab resikonya sangat besar, bila gagal di Aceh haruslah masuk terali. Bila sukses, bukan mustahil wilayah lain ingin mencoba penerapan syariah karena saking tak tahannya dengan korupsi yang terus mendera mereka.