Namun umat agama baru tsb tetap tawakal & tak melakukan perlawanan bersenjata. Rupanya sifat pasifis agama tsb menarik perhatian kaisar Constatine hingga akhirnya dia menerbitkan Edict of Milan (Dekrit Milan) yang menerima agama baru tsb sejajar dengan agama lain yg telah ada sebelumnya. Bahkan diakhir hidupnya Constantine dibaptis. Prestasi tsb tak berhenti sampai disitu. Dalam puncak kejayaan Romawi masih tetap ada beberapa wilayah yg tak berhasil menjadi bagian dari Romawi misalnya Irlandia, Skotlandia dan Skandinavia.
Akhirnya mereka semua ditaklukkan, bukan oleh Legion Romawi yg legendaris namun oleh biarawan St Patrick. Seluruh wilayah tsb menjadi penganut agama baru tsb, bahkan Irlandia dijuluki negeri para Santo & Sarjana. Perlu pembaca ketahui Skandinavia adalah wilayah bermukimnya para Perompak termasyur yakni kaum Viking, mereka merompak, memperkosa, menculik penduduk untuk dijual sebagai budak. Pasukan Romawi sangat kewalahan oleh aksi kilat mereka, perahu / kapal mereka didesign khusus sehingga dapat kabur dengan gesit setelah menjalankan aksinya. Apa yg tak berhasil dilakukan oleh Legion akhirnya berhasil dilakukan oleh Agama baru tsb, murni lewat cara2 agamis bukan politis maupun kekerasan bersenjata.
Tentu pembaca pernah dengar istilah Vandalisme, suatu aksi destruktip yg kerap dilakukan bangsa barbar VANDAL di jaman dulu, bangsa vandal telah musnah bukan oleh pedang namun oleh pendekatan agamis oleh agama baru tsb, mereka semua telah melebur menjadi bangsa yg amat sangat tinggi peradabannya. Ada ribuan kasus serupa yg membuktikan bahwa Agama tanpa harus dibantu oleh politik tetap dapat menjalankan misi kemanusiaannya. Masyarakat awam banyak yg buta sejarah, itulah sebabnya kaum politisi berani gembar-gembor bahwa Agama haruslah bergantung pada mereka. Itu isapan jempol, Agama sejati dapat menjalankan fungsi & tugasnya tanpa harus bersekongkol dengan Politik.
Sesungguhnya hal tsb tak hanya terbukti pada agama kristen, lihatlah Wali Songo… bukankah para Wali tsb berhasil mengislamkan Nusantara dengan jalan Damai, pendekatan kultural bukan lewat kekerasan politik. Itu yg membuat Islam Nusantara terlihat beda… lebih sejuk dan cinta damai dibanding wilayah yg ditaklukkan lewat power struggle politik. Itulah yg disebut Penaklukan dengan Hati (Conquest by Heart). Penulis beranggapan Wali Songo amat sangat pantas menjadi Role Model untuk seluruh Dunia Islam, umat islam Nusantara / Indonesia harus amat sangat bangga dengan hal tsb.
Cuma sayang, sekarang ini penulis lihat di Youtube ada usaha untuk mengeliminasi peran para Wali tsb dengan mencoba menyangkal existensi para Wali tsb dengan dalih mereka tidak mewariskan karya tulis. Wah kalau existensi semata diukur dari karya tulis maka tentu saja Charlemagne (Charles Agung) sang pendiri Kekaisaran Romawi Suci pastilah tidak exist sebab beliau itu buta huruf, mana mungkin mewariskan karya tulis, beliau “hanyalah” mewariskan kekaisaran yg sangat besar, membentang di Eropa. Pastilah Adam & Hawa juga tak pernah exist sebab mereka tak pernah membubuhkan tanda tangan pada “Akte Nikah” mereka. Ah Ada-ada saja.
Mengaduk Agama & Politik jadi satu sesungguhnya justru membuat sang Tokoh jadi berabe. Khalifah Ustman saat menghadapi desakan untuk mundur, Beliau berujar dengan sedih “Bukannya aku tidak ikhlas untuk turun tapi…. Bagaimana caranya seorang Khalifah turun dari jabatannya”. Beliau 100% benar.
Raja, Ratu, Presiden, Perdana Menteri bahkan Kaisar dapat bebas turun / berhenti sesuka hati mereka karena itu hanyalah jabatan politik, namun dapatkah Nabi berhenti ? Tak usah ngomong pada level Nabi, coba lihat pernahkah kalian lihat ada Pastor yg berhenti, adakah bekas Pastor, bekas Ulama, bekas Pendeta ? Tentu tak ada sebab itu adalah jabatan untuk melayani Tuhan, gimana caranya kita berhenti melayani Tuhan, adakah caranya ? Tak ada khan, Melayani Tuhan itu memang sampai Hayat dikandung badan. Jabatan Agama itu adalah Sakral & Kekal, Jabatan Politik itu Profan & Temporer.
Disitulah letak kerumitan Theokrasi, maka di Abad Kegelapan… saat Paus tak mau (atau tak mampu ?) disuruh turun maka muncul Paus tandingan. Para pengikut saling bunuh karena anggap pihak lawan sesat, kafir, bid’ah dsb dsb. Persis seperti adegan politik saja, bahkan lebih parah sebab para pengikut mengira mereka itu berperang di jalan Tuhan dan akan mati syahid (martyr). Inilah Teror bin Horor sejati. Demokrasi itu memang penuh kelemahan (apalagi Demokrasi Prosedural Kebablasan ala Indonesia sekarang ini – penulis akan bahas itu di artikel berikutnya), namun terjerambab ke dalam Theokrasi Palsu jauh lebih parah lagi dan justru merusak Kesucian Agama.
Mungkin Theokrasi Lovers ada yg kesal dan mencoba menyodok penulis, bukankah segala kekonyolan, kerumitan, kebengisan, kekejian dsb dsb itu bukan monopoli kaum muslim, kenapa kami yg disasar ? Betul pembaca, banyak yg melakukan hal tragis semacam itu di dalam sejarah yg real (tanpa ditutup tutupi)… cuma mereka tidak membawa panji2 agama.
Jadi Agama tetap selamat di tempatnya yg sakral, memang Roma Katolik pernah melakukan tsb namun mereka telah menyesalinya, bahkan Paus Paulus Yohanes II secara terbuka meminta ampun kepada Tuhan atas horor yg pernah dilakukan oleh institusinya. Bagi kaum lovers yg tetap berdalih secara canggih, mungkin ada baiknya penulis ajukan pertanyaan sederhana “Gimana caranya agar sekaleng cat putih akan tetap putih seperti semula padahal kalian telah sengaja memasukkan sekaleng cat hitam ke dalamnya, mohon jelaskan bagaimana caranya, kiatnya agar keajaiban tsb dapat terjadi ?”
Akhir kata, penulis memohon maaf bila ada kata yg tak tepat, maksud penulis hanyalah sekedar menyadarkan semua pihak, terutama simpatisan Theokrasi untuk tak mengejar mimpi yg tak pasti. Lebih baik menerima realita apa adanya dan melangkah ke masa depan, jangan malah melangkah mundur kebelakang. Semoga ketiga artikel dari Trilogi “Agama & Politik” berfaedah bagi kita semua, Amin.