Pembaca, tahukah ada berapa prosen kaum Silent Reader di dunia ini? Mungkin kita semua tak tahu persisnya berapa mereka tsb. Namun dapat dipastikan mereka tersebut merupakan fenomena gunung es (iceberg), yakni yang aktip membaca dan menulis hanyalah merupakan puncak gunung es, yang menonjol keluar namun kecil jumlahnya, sedang di bagian bawahnya merupakan bagian terbesar yakni kaum Silent Reader, aktif membaca namun tak aktif menulis.
Bahkan bisa jadi di antara pembaca artikel ini ada pula yang merupakan kaum Silent Reader tersebut. Di sini penulis ingin berkisah tentang diri penulis yang semula adalah seorang ManiacSilent Reader bertransformasi menjadi Active Writer.
Sejak kecil penulis memang hobi membaca, itulah sebabnya pengetahuan umum penulis cukup lumayan. Pernah pula membuat beberapa puisi dan berhasil di tempel di MaDing (Majalah Dinding) di kala masih sekolah. Namun karena pelajaran di SMA IPA waktu itu sungguh terasa berat bagi penulis, maka segala aktivitas tersebut terhenti.
Begitupun saat penulis bekerja di perusahaan, aktivitas menulis memang ada namun lebih tersegmentasi, yakni membuat minutes of meeting dan surat menyurat. Hingga akhirnya atasan mempercayakan penulis untuk membuat surat-surat penting, terutama “SURAT KHUSUS”. Yang dimaksud “Surat Khusus” adalah surat teguran “keras” pada pihak lain namun dengan menggunakan bahasa yang tetap halus dan santun.
Di situlah letak kerumitan dari “Surat Khusus” tersebut, diperlukan Diksi (pemilihan kata) yang tepat dan gaya bahasa yang pas. Pihak dituju “tersentil” namun tak dapat marah karena semuanya serba sopan, terhormat, mengena dihati dan tak menyimpang dari makna teguran tersebut.
Rupanya keterampilan menulis tersebut bermanfat juga bagi rekan-rekan penulis, banyak dari mereka yang meminta tolong untuk dibuatkan surat. Mulai dari Surat Pembaca untuk koran atau majalah maupun surat complain langsung terhadap perusahaan yang ingkar janji (wanprestasi) terhadap konsumennya.
Syukurlah semua keluhan dari rekan-rekan penulis yang tertuang di Surat Pembaca, berakhir dengan kemenangan karena gaya penulisan tersebut jelas, mengena dan mudah dicerna bahkan oleh kaum awam sekalipun. Sungguh suatu kepuasan tersendiri dapat membantu kawan-kawan, yang merasa kesal dikibuli produsen namun tak tahu bagaimana caranya mengekspresikan kekesalan tersebut.
Hampir semua dari kita pasti mampu membaca namun belum tentu semua mampu menulis. Kemampuan menulis itu ditandai dengan mengertinya pembaca akan tulisan kita tanpa kita ikut campur menjelaskannya secara lisan.
Hingga bulan Juli 2016 penulis masih menulis secara sporadis, berdasar kebutuhan kerja atau permintaan tolong dari rekan dan anggota keluarga, hingga suatu hari nasib menentukan lain. Begini awalnya, penulis merupakan penggemar dari salah satu Kompasianer senior spesialis artikel Suriah. Suatu saat kompasianer tersebut dikecam habis-habisan oleh seorang pembaca. Penulis tidak setuju dengan kecaman tersebut dan menulis sanggahan dari point of view yang berbeda dengan pihak pengecam. Nah disini uniknya, ternyata untuk menulis komentar saja di forum Kompasiana ini, kita harus bergabung menjadi anggota, alias menjadi Kompasianer.
Padahal penulis sering kali menulis komentar atau pertanyaan di forum-forum lain, dan tak ada satupun yang “memaksa” penulis harus menjadi anggota forum tersebut. Namun apa mau dikata tulisan sanggahan pembelaan telah selesai dibuat, kalau tidak dikirim akan terasa sayang alias mubazir. Terpaksa penulis daftar menjadi Kompasianer, celakanya … entah yang salah apanya … proses pendaftaran tersebut gagal terus menerus. Setiap kali muncul tulisan “Credential tidak match… bla bla”. Malam itu gagal, penulis tidur, besoknya diulangi lagi dan ternyata gagal lagi. Setelah beberapa hari akhirnya penulis berhasil terdaftar.
Meski agak terlambat, akhirnya komentar pembelaan terhadap Kompasianer tersebut dapat muncul juga di Kompasiana. Lega rasanya. Disitulah penulis mulai menjalin komunikasi dengan kompasianer senior tsb dan bertanya, “Apa sikh asyiknya menjadi Kompasianer ?”. Inilah kutipan ASLI (copy paste) dari jawaban beliau :”Bagi orang tertentu kebutuhan aktualisasi diri kadang lebih penting dari uang meski uang tetap dibutuhkan oleh siapapun dalam kondisi apapun”. Wow itulah jawaban terbaik, terbijaksana yang dapat memotivasi para Silent Reader untuk bertransformasi menjadi Active Writer.