Mohon tunggu...
Hengky Fanggian
Hengky Fanggian Mohon Tunggu... Wiraswasta -

There Must be a Balance Between What You Read and You What Write

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quo Vadis Partai Agama

13 Agustus 2016   07:28 Diperbarui: 19 Agustus 2016   07:40 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini adalah bagian kedua dari Trilogi dan merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya, yang dapat pembaca lihat di Perkawinan Haram Agama & Politik  

Perkenankan penulis menjelaskan maksud dari partai agama disini. Di negara barat sering kita jumpai istilah seperti Partai Kristen Demokrat, Partai Kristen Liberal, Partai Katolik Demokrat, Partai Katolik Liberal, dsb dsb. Apa mereka itu termasuk partai Agama yg penulis maksud ? Bukan pembaca. Lantas kenapa mereka mencantumkan label entitas agama ? Maksudnya, partai tsb akan memperjuangkan nilai2 luhur entitas agama yg mereka tempelkan pada nama partai mereka. Mereka itu menawarkan nilai atau essensi, bukan sekedar simbol atau kulit sebab jika yg ditawarkan hanyalah sekedar kulit doang maka mereka sejak awal tereliminasi, gak laku. Jadi yg penulis maksud dengan partai agama adalah  partai yg bercita-cita (explicit maupun implicit, terang2an atau sembunyi2) ingin menggusur ideologi negara demokrasi. Mereka tak perlu pakai embel2 label entitas agama apapun, agenda merekalah yg menegaskan jati diri mereka itu sebagai partai agama.

Dalam seluruh isi tulisan ini penulis akan menggunakan semangat CMIIW (Correct Me If Iam Wrong = Koreksi Saya bila Saya Salah), artinya penulis tidak merasa mutlak2an merasa benar sendiri, silahkan pembaca koreksi. Mari kita mulai. Adakah partai modern yg menekankan isi/essensi dari nilai luhur agama di Indonesia ? Mestinya di Indonesia ada, setindaknya itulah maksud Gus Dur saat mendirikan partai berbasis agama (namun bukan partai agama), mempunyai perilaku luhur agama tapi tetap berlandaskan Ideologi Panca Sila. Perilaku luhur agama … hah ??? Apa penulis gak terlalu berlebihan ? 

Ya itu khan yg dicita-citakan, terlepas prakteknya belum seperti itu …namun bukankah partai Nasionalis yg lain khan juga belum persis tampil seperti yang pendirinya cita2kan juga. Mohon adil dalam melihat semuanya, memang sikh embel2, label maupun simbol agama tsb malah justru terasa lebih berat karena entitas suci yg harus tetap mereka jaga keharumannya. Ini khan proses belajar, kalau mereka sudah tak kuat dan merasa malu hati dalam menyandang nama sakral tsb, kali aja mereka akan menanggalkan dan menggantinya dengan istilah yg lebih ringan.

Bukankah semua partai bernuansa agama di Indonesia persis seperti semangatnya Gus Dur itu ? Pembaca, mohon ingat bahwa Gus Dur tak pernah ingin mengganti Pancasila, bahkan beliau juga tak berkehendak adanya “Pancasila Plus Plus”. Mungkin pembaca bertanya “Apa sikh salahnya plus plus, bukankah dengan tambahan tsb pancasila justru akan semakin lengkap ?” 

Mohon dimengerti pembaca, penambahan titik koma dalam suatu filsafat, ideologi atau tulisan apapun dapat mempunyai implikasi luas dan dalam. Istilah KEWAJIBAN menjalankan… bukan saja bermakna boleh tapi HARUS, dan bila itu benar2 diterapkan maka bagaimana dengan hukum positip yg sedang berlaku di Indonesia. Apakah harus dirombak total agar sesuai dengan satu agama namun belum tentu sesuai dengan agama yg lain ? Ataukah dibuat 2 sistem hukum ? Pembaca, ini justru akan makin rancu, mohon diingat dalam suatu perkara belum tentu pihak yg berpekara mempunya agama yg sama, jika agama mereka beda maka hukum apa yg akan diberlakukan.

Mohon diingat, Partai Agama dan Partai BerAgama itu beda. Begitupun Negara Agama dan Negara BerAgama juga beda meski penulisannya nampaknya mirip. Negara BerAgama adalah negara yang tetap dijalankan dengan sistem Demokrasi namun bersendikan nilai2 luhur agama & kepercayaan yang dianut masyarakatnya. Sedangkan dalam Negara Agama tak ada sistem demokrasi, yang adalah sistem Theokrasi. Jangan pernah bermimpi untuk peroleh demokrasi dalam sistem Negara Agama. Satu negara hanya dapat menganut satu sistem pemerintahan, tinggal pilih : Monarchy, Demokrasi atau Theokrasi atau yg lain. 

Bagi pembaca yg belum membaca bagian pertama Trilogi ini, mohon dibaca agar lebih comprehensive. Lantas adakah negara berAgama yg seperti penulis maksud ? Yaaah, inilah problem kita semua, kita ini lupa bahwa negara Pancasila adalah negara berAgama sebagaimana dicita-citakan Founding Fathers. Namun penulis maklum kalau kita ini lupa, atau tak menyadari hal tsb karena kita semua telah dibombardir, bahkan diteror oleh sekeliling kita dengan tingkah laku corrupt mereka. Tapi itu tentu bukan salah Founding Fathers, sama halnya dengan agama tak dapat serta merta disalahkan saat ada penganutnya yg ngaco.

Perkenankan penulis membuat suatu ilustrasi. Ada 5 keluarga mendirikan perusahaan, Satu keluarga karena kaya maka dia punya 55% saham, sisanya terbagi pada ke 4 partner keluarga lainnya. Karena sahamnya dominant maka apakah keluarga tsb dapat memborong semua jabatan strategis misal, Dir Utama, Dir Keuangan, Dir Maketing bahkan semua level manager sehingga yg tersisa cuma jabatan kecil-kecil semata. Lihatlah  bahwa banyak perusahaan raksasa Multinasional dikelola oleh tenaga profesional dari luar, bukan dari pemilik saham. Pemilik saham tinggal menikmati hasil karya para profesional tsb, bila jelek hasilnya tinggal copot ganti baru. Survey ilmiah bahkan mengatakan perusahaan keluarga umumnya hanya dapat bertahan hingga 3 generasi.

Secara kemampuan putra putri pemilik saham mayoritas belum tentu berbakat di bidang bisnis, bisa saja mereka justru sangat berbakat di bidang seni, olah raga, science dsb dsb. Ada ribuan profesi diluar sana yg baik, yg mulia, yg mengharumkan nama bangsa bahkan dapat membuat namanya abadi, lihatlah Archimides…sudah ribuan tahun nama itu ada bahkan mungkin akan ada terus selama manusia masih ada, padahal beliau bukan bisnisman lho. 

Coba bayangkan begini, Archimides, Einstein, Rudy Hartono, Muhamad Ali semua terlahir dari pengusaha top dan diwajibkan meneruskan bisnis keluarganya, apakah kita akan pernah dengar nama besar mereka. Mereka tak lebih hanyalah “Nothing like cacing”, karena berkarya bukan pada bidangnya. Hari gini mengatakan si A, si B tak boleh menjabat karena alasan primordialism… aduuh betapa menyedihkan. Lihatlah India, negeri yg DULU selalu kita cibir karena hanya bisa joget mengelilingi tiang, eeeeh mereka sekarang telah terbaaaaang ke angkasa. Lho itu bukan alegoris, perumpaan atau istilah sastra lainnya, mereka BENAR2 telah ke angkasa, mereka punya pesawat luar angkasa dan sudah diluncurkan, sedangkan kita masih disini masih sibuk ngomongin primodialism. How come. 

Lihatlah siapa pucuk pimpinan Microsoft, Satya Nadella (bukan Bill Gates), lihat pucuk pimpinan Google… lhaa kok Sundar Pichai, bukannya Larry Page atau Sergey Brin. Masih banyak yg lain seperti Rajeev Suri, Amit Singhal, Shantanu Narayen, Vivek Naradive, Nikesh Arora dsb dsb. Pikiran primitip hanya akan menjadikan manusia bernasib seperti Dinousaurus, mampunya cuma menunggu datangnya meteor yg menghantam bumi dan tamatlah sang dinosaurus. Berarti kita gak boleh lagi dong joget kelilingi tiang ? Boleh, boleh, silahkan, cuma hidup khan tak hanya melulu untuk itu, lihat diluar sana peluang terbentang luas, marilah kita move on.

Pembaca mungkin bertanya “Berarti petinggi partai kayak gituan kemampuan intelektualnya parah dong, bukankah yg penulis ucapkan itu sesungguhnya realitas umum, bukan hal aneh apalagi ajaib yg baru tersingkap sekarang ini ? Ahaaaa salah besar pembaca, mereka itu sesungguhnya pintar, ribuan kali lebih pintar dari penulis. Penulis ungkapkan sedikit fakta kecil ya, para produser film Hollywood yg getol bikin film “Nehik” yg mutunya ampun2 itu ternyata seleranya tinggi, anak2nya pun dikuliahkan ke luar negeri, mereka mendengarkan music clasic, mobilnyapun mewah deh. Lantas kenapa orang kelas tinggi kok memproduksi yg rendahan kayak gitu ? 

Mari dengarkan kuliah Maestro Marketing, sang maestro bertanya “apa pertimbangan pertama & paling utama saat kita akan jual produk ? Para murid teriak “Ongkos produksi”. Lantas maestro mengangkat cangkirnya tinggi2, “ini pantasnya dijual berapa ? Jawabannya beragam, lantas sang maestro bilang “bagaimana kalau saya jual Rp 1 juta” Murid teriak “tak mungkin”. “Tahukah kalian mobil yg James Dean kendarai saat dia tewas kecelakaan harganya puluhan kali lipat daripada harga mobil baru yg persis sama dg yg dia naiki. Maka juallah bukan berdasar ongkos produksi, tapi sampai seberapa besar konsumen mau, kalau ada yg mau beli cangkir ini Rp 1 juta, apakah kalian akan menolaknya ?”

Wah kalau gitu mereka itu bukan hanya pinter tapi juga ngeminteri rakyat kecil dong ??? He he he penulis tidak ngomong begitu pembaca, tetapi You tell me. Harusnya mereka mendidik masyarakat dong bukan justru memanfaatkan kepolosan, keluguan masyarakat untuk kepentingan pribadi semata ? Maaf pembaca, anda salah. Tugas pendidik itu harusnya dibebankan kepada orang tua, guru, agamawan (asal sang agamawan tidak ikutan main politik) dsb dsb, sedang mereka sebetulnya khan cuma “jualan” seperti halnya para produser film “Nehik”. Mereka berdagang karena ada pasarnya, kalau pasarnya sudah tak ada tanpa disuruhpun mereka bubar sendiri kok. Begini simpelnya, jangan salahkan penjual peti mati atau kain kaffan, mereka itu bukan bad guy yg selalu berdoa agar kita cepetan mati, mereka jualan karena kita memang butuh produk mereka.

Lantas bagaimana dengan partai Agama yg menawarkan utopia berkedok religiousism tsb, dapatkah partai semacam itu yg hanya bermodalkan primordialism & sectarianism peroleh simpati masyarakat sehingga mereka tetap exis karena melewati electoral threshold ? Selama masyarakat masih mau menerima plasebo semacam itu mereka akan exis. Plasebo ? ya betul obat palsu (bohongan) yg memberi pasien perasaan sehat palsu. Partai kayak gitu akan selalu memberi harapan palsu, mereka adalah kaum PHP, kaum yg akan merubah masyarakat bhineka menjadi masyarakat fragmented extreme yg ujung-ujung cuma mengarah ke satu muara, yakni disintegration.

Mungkin pembaca bertanya begini “Memangnya ada partai yg punya niatan merubah Pancasila, merubah UUD45 dan seluruh Undang2 & Peraturan yg berlaku di Indonesia saat ini ?” Waduuuh nanya kok serem kayak gitu seh, penulis jadi bingung nikh, coba penulis tanya dulu pada sapi yg bergoyang … upps salah …rumput yg bergoyang maksud penulis.

Catatan Kecil Penulis,

Mohon maaf bagi pecinta film India, penulis sudah puluhan tahun tak ikuti perkembangan film India, mungkin saja film India saat ini sudah sangat bagus mengikuti prestasi saudara2nya di bidang IT, sekali lagi mohon maaf. Penulis tidak bermaksud offense, hanya numpang comot untuk ilustrasi semata.

Mohon kritik & saran dari para senior di atas, terima kasih sebelumnya.

Serpong, 13 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun