Mohon tunggu...
Hengki Mau
Hengki Mau Mohon Tunggu... Teknisi - Membaca Manusia Sebagai Kisah

Pemburu Berita, Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perdagangan orang Marak di Belu

3 Maret 2023   08:06 Diperbarui: 3 Maret 2023   08:09 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

APRIANA Leto adalah satu dari banyak perempuan yang menjadi korban perdagangan orang di NTT. Warga Desa Makir, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, berusia 21 tahun tersebut dipaksa menjadi asisten rumah tangga di Medan, padahal secara fisik dia tak bisa melakoni pekerjaan tersebut.

Anak ketiga dari empat bersaudara itu direkrut seorang perempuan bernama Wendelina Soi. Perempuan asal Desa Lamaksenulu, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, ini bersama rekan kerjanya, Oki, menjanjikan Apriana untuk bekerja di Jakarta, sebagai pegawai toko atau salon. Wendelina dan Oki mengaku bekerja untuk satu perusahaan penyalur tenaga kerja di Belu.

Ceritanya dimulai ketika Wendelina Soi dan Oki menyambangi rumah keluarga Riana--nama panggilan Apriana 3 Oktober 2021. Pagi itu, orang tua Riana sedang keluar rumah pergi melayat ke kediaman kerabatnya yang sedang berduka. Dalam pertemuan tersebut, Wendelina langsung membujuk Riana untuk ikut ke Jakarta.

"Daripada duduk-duduk di rumah saja lebih baik merantau ke Jakarta. Di sana bisa bekerja di toko dan tinggal di tempat tersebut," ujar Wendelina.

Dia juga menawarkan pekerjaan sebagai pegawai salon dengan gaji per bulan Rp 1,5 juta. "Tinggal dipilih saja." ujarnya.

Kepada Wendelina dan Oki, Riana mengatakan dia tertarik dengan tawaran tersebut. Tapi, terlebih dahulu dia harus memberitahu kedua orang tuanya sekaligus meminta restu. "Kalau kedua orang tua setuju, saya akan langsung menyiapkan KTP, kartu keluarga dan ijazah asli," ujar anak dari pasangan Raimundus Leto dan Kunigundis Lika ini.

Ketika ibunya pulang ke rumah, Riana langsung menceritakan tawaran bekerja di Jakarta dari Wendelina. "Mama, saya mau ke Jakarta untuk bekerja di sana," ujar perempuan kelahiran 2001 itu menceritakan kembali ketika dia membujuk sang ibu agar mengizinkannya menerima tawaran tersebut.

Kunigundis Lika, sang ibu, awalnya keberatan dengan keinginan sang anak. Alasannya, kata dia,"Sudah dua kali kami tolak ajakan Wendelina Soi," ujarnya. Tapi sang ibu luluh karena Riana begitu kuat keinginannya. Dia juga tergiur iming-iming penghasilan yang dijanjikan sebesar Rp 1,5 juta. Alasan lain, Kunigundis mengizinkan anaknya karena pekerjaan di Jakarta yang ditawarkan tak terlalu berat.

Dua hari berselang, Wendelina kembali mendatangi rumah Riana. Pada pertemuan itu, Riana menyampaikan bahwa kedua orang tuanya sudah memberi lampu hijau kepadanya untuk menerima tawaran Wendelina bekerja di Jakarta. Sang ibu juga ikut menemui Wendelina.

"Dari pada anak ini hanya di rumah dan tidak bekerja saya izinkan dia untuk bekerja di Jakarta," kata Kunigundis Lika, sang ibu.

Sebelum memberi persetujuan, Kunigundis Lika memastikan ke Wendelina ihwal pekerjaan untuk anaknya di Jakarta. Ketika itu, dia berpesan ke Wendelina bahwa jangan sampai anaknya dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga karena Riana dianggap tidak akan mampu. Alasannya, kata dia kepada Wendelina, sang anak kondisi fisiknya tak memungkinkan untuk bekerja seperti itu. "Mereka janji pekerjaannya bukan asisten rumah tangga," ujarnya.

Kepada Kunigundis Lika, Wendelina menjanjikan Riana akan bekerja di toko atau salon di sebuah kawasan ibu kota. Bahkan, Wendelina mengatakan kalau sang ibu memiliki kebutuhan mendadak, pihaknya akan mengirim gaji Riana untuk membantu keperluan tersebut. Ada juga uang santunan untuk keluarga kalau tenaga kerja nantinya meninggal. Wendelina menyebutkan uang santunan yang dimaksud sebesar Rp 75 juta.

Bukan hanya itu, Wendelina mengatakan Riana sudah terdaftar di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Belu, sehingga tak bisa melarikan diri dari tempat kerjanya jika belakangan merasa tak cocok. Jika memaksa kabur, kata dia, pihak Dinas Tenaga Kerja dan polisi akan turun tangan. Sanksinya adalah denda. "(Semua) Ini yang membuat saya memberikan izin kepada anak untuk berangkat kerja di Jakarta," ujar Kunigundis Lika.

Mendengar Kunigundis Lika memberi izin bekerja untuk anaknya, Wendelina langsung mengajak Riana untuk pergi ke Atambua guna tanda tangan kontrak di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Belu. Karena kerabat mereka masih berduka, sang ibu melarang Riana pergi hari itu.

Barulah dua hari berikutnya Wendelina dan Oki menjemput Riana. Mereka menumpang mobil Avanza silver tanpa pelat nomor. Keduanya membawa Riana ke Atambua, sekitar 65 kilometer jaraknya dari desa tersebut. Sebelumnya, mereka menjemput terlebih dahulu calon tenaga kerja lain dari desa yang sama dengan Riana.

Riana bercerita, dari Atambua mereka berangkat ke Kupang. Di Atambua, mereka sempat menginap di rumah Oki. "Di rumah itu kami dilarang keluar dan berinteraksi dengan masyarakat," ujar Riana.

Setelah tiga hari di Atambua, mengurus persyaratan dan perjanjian kerja dengan perusahaan penyalur di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Belu, Riana berangkat ke Kota Kupang. "Di Kupang kami diberi pelatihan memasak, mengepel, dan mencuci," ujar Riana. Padahal, menurut dia, pekerjaan yang ditawarkan tidak ada urusannya dengan pelatihan tersebut.

Jakarta rupanya bukan tujuan akhir mereka. Sesampainya di Ibu Kota, Wendelina langsung membawa mereka ke Medan. Sampai di kota tersebut, mereka dijemput tiga orang utusan dari perusahaan penyalur.

Riana dan calon tenaga kerja lain menginap di rumah salah satu karyawan. Keesokan harinya Riana dijemput orang yang akan mempekerjakannya. "Saya dijemput majikan dan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sampai sekarang saya tidak tahu namanya dan alamat rumah majikan," ujar Riana.

Kabur dari Tempat Kerja

Beberapa hari setelah bekerja di Medan, Riana merasa pekerjaan yang digelutinya benar-benar tak sesuai harapan. Riana bercerita bahwa dia diantar oleh orang-orang perusahaan ke tempat majikannya malam hari, sehingga dia tak pernah tahu alamat rumah tersebut.

Di rumah itu, Riana mengaku mendapat perlakuan yang tidak baik oleh sang majikan. Misalnya, ketika majikannya pergi, mereka mengurung Riana di dalam rumah dengan mengunci pintu dari luar. Selama majikannya pergi, Riana diminta membersihkan dan melakukan pekerjaan rumah.

Riana juga kerap dimarahi majikannya. Ia mendapat jatah makan sekali sehari, itu pun makanan sisa sang majikan. Tak tahan dengan perlakuan itu, Riana melakukan berbagai cara untuk bisa menghubungi pihak keluarga di kampung. Melalui telepon, pada 18 Oktober 2022, kepada keluarganya, ia menceritakan bahwa pekerjaanya adalah asisten rumah tangga, bukan di Jakarta melainkan di Medan.

"Saya sering menahan rasa lapar dengan meneguk air hangat hingga berhari-hari karena majikan jarang makan di rumah. Saya tidur di gudang tempat menyimpan barang bekas dan rongsokan lainnya," ujar Riana menceritakan kisah pilu tersebut.

Menurut Riana, sang majikan benar-benar jahat. Dia akhirnya menceritakan kepada keluarganya di kampung soal kisah pilu itu dan mengaku sudah tidak betah bekerja di sana. Riana mengaku sudah bulat untuk pergi dari rumah itu. "Saya merasa tertekan sehingga memutuskan untuk kabur dari rumah majikan itu," kata dia.

Untuk bisa meninggalkan rumah itu dan kembali ke kampung halaman, Riana meminta uang ke keluarga di desa. Riana saat berkomunikasi dengan keluarga mengatakan seluruh dokumen syarat kerja disita pihak perusahaan yang memberi pekerjaan.

Mendengar cerita sang anak seperti itu, Kunigundis Lika mendatangi rumah Wendelina Soi di Desa Lamaksenulu, Kecamatan Lamaknen kabupaten Belu, pada 20 Oktober 2021. Dia hendak menanyakan nasib anaknya, juga dokumen-dokumen yang dipakai sebagai syarat bekerja. Kunigundis meminta pertanggungjawaban Wendelina ihwal anaknya yang kabur dari majikan dan saat itu belum diketahui lokasi tempat tinggal baru Riana. Wendelina mengatakan nasib Riana baik-baik saja. "Soal dokumen katanya sudah diserahkan ke perusahaan," ujar Kunigundis.

Beruntung Riana memiliki saudara di Medan. Dia akhirnya dibantu kerabat di sana untuk kembali ke kampungnya. Kedua orang tua Riana menjual sapi agar anaknya itu bisa pulang ke rumah di Desa Makir. Dia kini membantu kedua orang tuanya di ladang.

Dia ingin membantu mencari uang untuk mengurus surat kehilangan ijazah dan dokumen-dokumen lain yang tidak dikembalikan perusahaan. Riana juga bertekad melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Atambua.

Cerita Perantara

Wendelina Soi, yang merekrut Riana, mengatakan dia mengajak orang-orang untuk bekerja dengan pendekatan kekeluargaan. Dia datang ke rumah-rumah yang di situ ada gadis-gadis baru lulus sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Kepada merekalah, Wendelina menawarkan pekerjaan di dalam negeri dan luar negeri. "Kami juga minta izin ke orang tuanya," kata dia.

Mereka yang bersedia, ujar Wendelina, akan disalurkan ke perusahaan-perusahaan penampung. Dia mengaku membantu mengurusi dokumen kebutuhan untuk kerja dari mulai mendapatkan surat domisili dari kepala desa hingga tanda tangan kontrak kerja. Biasanya, kata dia, kontrak kerjanya sekitar dua tahun. "Dari perusahaan saya mendapat bonus Rp 1,5 juta per satu calon tenaga kerja," katanya.

Wendelina membantah dia menyalurkan orang tak sesuai dengan kesepakatan awal seperti terjadi pada Riana. Biasanya, kata dia, orang yang kabur dari tempat kerja karena merasa pekerjaannya tersebut tidak sesuai dengan harapan. "Kalau saya sudah jelas perjanjiannya di awal bahkan minta izin kepada kepala desa," kata Wendelina.

Erni Ganggas, kepala Bidang Ketenagakerjaan pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Belu, mengatakan di wilayahnya ada beberapa perusahaan pencari tenaga kerja yang memanfaatkan perantara dan belum melakukan kerja sama dengan kantornya.

Inilah yang menyebabkan sering terjadi masalah perdagangan orang oleh karena pergerakan para perantara tidak dapat diketahui. "Para calo ini sangat pintar dalam merekrut calon tenaga kerja. Yang terjadi selama ini mereka membawa tenaga kerja itu secara terstruktur," ujar Erni.

Salah satu kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, ujar Erni, adalah 15 orang warga Belu yang terjaring di pelabuhan Larantuka Flores Timur. mereka berangkat tidak melalui prosedur dan para pelaku itu Jaringannya sangat rapi dan terstruktur. Para calo tugasnya sebatas rekrutmen. Jaringan paling bawah disebut petugas lapangan. Tugasnya merekrut calon tenaga kerja. "Mereka memberangkatkan orang tidak dengan prosedur yang legal," katanya.

Perdagangan orang di Belu 2020-2021

Kecamatan Kota Atambua

Kelurahan Manumutin : 1 orang

Kelurahan Fatubeonao : 1 orang

Kecamatan Raimanuk

Desa Fohoeka : 1 orang

Kecamatan Tasifeto Timur: 7 orang

Kecamatan Lamaknen

Desa Maudemu : 1 orang

Perusahaan penyalur tenaga kerja resmi di Belu:

-- 7 perusahaan dalam negeri

-- 5 perusahaan asing.

Penulis : Hengki Mau

Editor : Anton Aprianto

Liputan ini terselenggara atas kerjasama Tempo.co, Tempo Institute, RakyatNTT.com, OkeNtt.com, Task Force Media dan Zero Human Trafficking Network (ZHTN). Dan sudah di tayang di media Online RakyatNTT.com. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun