Kata "menabung" mungkin sudah tak asing, namun lain halnya dengan dana darurat. Lantas, berapa banyak warga Indonesia yang sudah memiliki simpanan dana darurat? Menurut data dari Lifepal, hanya 9% warga negara Indonesia yang memiliki dana darurat.
Hal ini tak mengherankan mengingat kurangnya literasi keuangan masyarakat dan tingkat hedonisme yang sedang tinggi-tingginya pada Gen Z (masyarakat yang saat ini berusia 10 - 25 tahun).
Perilaku Gen Z cenderung lebih memilih 'berfoya-foya' demi memuaskan keinginan dan gaya hidup, dibandingkan menabung atau berhemat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menargetkan tingkat inklusi keuangan Indonesia naik 90% pada tahun 2024. Sejalan dengan yang hal tersebut, pesatnya kemajuan digital harus dimaksimalkan.
Edukasi kepada masyarakat dapat dilakukan melalui media sosial dan menggunakan bantuan influencer, agar semakin banyak masyarakat yang mengenal dan sadar akan pentingnya memiliki dana darurat.
Bilamana terjadi peningkatan masyarakat yang memiliki dana darurat dan memanfaatkan berbagai produk pasar keuangan, maka perputaran uang di Indonesia akan semakin lancar.
Selanjutnya, dana darurat yang terkumpul dialokasikan oleh penyedia jasa keuangan untuk sumber pendanaan korporasi dan rumah tangga.
Dampaknya, makroprudensial aman terjaga dan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Langkah kecil yang berkontribusi masif, bukan?
***
Ibarat pepatah, selalu ada hikmah dibalik musibah. Ada pelajaran yang dapat kita petik dari pandemi covid-19. Kita tentu berharap kejadian ini tidak akan terulang kembali.
Selanjutnya, diperlukan sinergi antara masyarakat, Bank Indonesia, dan anggota FKSSK untuk memperkuat 'pesawat', sekaligus mempersiapkan 'parasut' sebagai bagian dari antisipasi.