Merujuk data Trading Economics, pada Maret 2023 tingkat inflasi Argentina menyentuh angka 104,3 persen, meroket drastis jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 55,1 persen. Tak ayal, harga kebutuhan pokok pun melambung drastis, mencekik warga negaranya sendiri.
Awan gelap yang menyelimuti Argentina tidak muncul secara tiba-tiba. Nestapa ini dimulai dari krisis mata uang yang mengakibatkan nilai peso turun setengahnya terhadap dolar pada tahun 2018.
Kondisi ini diperburuk dengan kegagalan pemerintah Argentina dalam membayar pinjaman kepada International Monetary Fund (IMF).
Bagai makan buah simalakama, keputusan Presiden Argentina untuk mencetak uang dalam jumlah yang besar selama pandemi covid-19 ternyata berakhir bencana. Teranyar, utang Argentina membengkak hingga mencapai Rp515 ribu triliun. Badai inflasi pun tak terelak.
Indonesia sebagai sesama anggota G20 sudah sepatutnya 'berkaca' dari Argentina, agar tak jatuh pada lubang yang sama.
Pandemi covid-19 belum sepenuhnya usai, scarring effectnya pun masih terasa hingga kini. Isu resesi ekonomi 2023 juga sempat menghantam Indonesia, walau akhirnya tak benar-benar terjadi.
Selama ini, Bank Indonesia telah berhasil menjadi tumpuan dengan kebijakan makroprudensialnya yang adaptif dan restriktif. Dilakukan dengan countercyclical, menurunkan suku bunga ketika saat menghadapi krisis dan menaikkan suku bunga saat ekonomi sedang menggeliat.
Kendati demikian, tidak ada yang dapat meramalkan masa depan. Berbagai situasi darurat seperti krisis moneter 1998, krisis ekonomi 2008, pandemi covid-19, atau bahkan 'tragedi' yang lebih dahsyat bisa saja menerpa kembali.
Dalam hal ini, sebagai lembaga yang memiliki amanat menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Sentral selayaknya mempersiapkan amunisi 'handal'.
Salah satu amunisi yang dapat diluncurkan adalah pengembangan sukuk hijau (green sukuk), obligasi syariah yang diterbitkan dengan tujuan mendanai proyek yang ramah terhadap lingkungan dan mendukung upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.