Mohon tunggu...
Hendy Mustiko Aji
Hendy Mustiko Aji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Universitas Islam Indonesia

Dosen di Universitas Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tarif Batas Bawah dan Atas untuk Taksi Online, Adilkah?

4 Juli 2017   16:58 Diperbarui: 5 Juli 2017   19:59 1814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taksi online di Indonesia. Money.id

Baru-baru ini pemerintah membuat aturan terkait kebijakan penetapan harga taksi online (daring). Kebijakan tersebut dipicu oleh sederet tindakan protes yang dilakukan supir maupun pengusaha taksi konvensional karena tidak bisa bersaing dalam hal harga dan karena perlakukan khusus taksi daring. Bagaimana tidak, perbandingan harga antara taksi daring dan konvensional terpaut selisih hampir setengahnya. 

Taksi daring dianggap mendapat perlakuan khusus karena kendaraanya tidak perlu diuji KIR, sehingga beban operasional jelas lebih murah dibanding taksi konvensional. Konsekuensinya, mau menekan harga sampai berapapun juga, tetap taksi daring akan lebih murah dibanding taksi konvensional. Dari situlah, sejuta cara dilakukan agar memaksa pemerintah untuk membuat aturan agar persaingan menjadi sehat kembali.

Gayung pun bersambut. Pemerintah akhirnya membuat aturan resmi terkait taksi daring sesuai tuntutan. Kendaraan taksi daring harus diuji KIR dengan "stiker" khusus yang bisa dilepas jika kendaraan sudah tidak difungsikan sebagai taksi daring. Operator taksi daring juga harus mengikuti aturan harga batas bawah sebesar Rp. 3.500/km dan batas atas sebesar Rp. 6.000/km (tergantung area). Pemerintah melakukan langkah-langkah tersebut demi terciptanya keadilan persaingan dalam industri.

Pertanyaannya, apakah langkah pemerintah tersebut adil?

Jawabannya tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Namun, jika dilihat dari perspektif manapun pertanyaan di atas masih belum terjawab sepenuhnya. Dari perspektif ekonomi misalnya, Adam Smith mengatakan bahwa pasar harus dibiarkan berjalan secara alami. Naik dan turunnya harga harus terjadi berdasarkan mekanisme "the invisible hand". Campur tangan pemerintah dalam menetapkan harga dapat merusak kesimbangan pasar. Rusaknya keseimbangan pasar akan menciptakan ketidakadilan. Inilah yang menjadi argumen Managing Director Grab Indonesia Rizdki Kramadibrata (sumber: klik disini).

Bagaimana logikanya ikut campurnya pemerintah dalam penetepan harga lantas dapat menciptakan ketidak adilan? Penjelasannya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Kurva keseimbangan pasar. Dokumentasi pribadi
Gambar 1. Kurva keseimbangan pasar. Dokumentasi pribadi
Terbentuknya harga di pasar terjadi karena persinggungan antara kurva permintaan dan penawaran. Pada kurva permintaan, semakin banyak barang yang diminta oleh konsumen maka semakin murah harga yang ditawarkan. Sedangkan pada kurva penawaran, produsen akan meningkatkan suplai barang jika harga barang pasar semakin mahal. Keseimbangan terjadi jika kedua hukum tersebut digabungkan.

Maknanya, tingginya permintaan konsumen tanpa ada barang yang dijual dipasar akan menciptakan kekurangan suplai. Efek dari kurangnya suplai adalah harga yang akan berbalik menjadi mahal. Sebaliknya, banyaknya suplai barang dipasar tanpa adanya permintaan dari konsumen akan membuat barang tidak laku. Sehingga, situasi yang seimbang (adil) adalah ketika harga dinaikan pada posisi tertentu yang masih terjangkau konsumen dan menguntungkan produsen.

Dengan prinsip Adam Smith di atas, jika pemerintah menaikkan harga ketika permintaan taksi daring sangat tinggi, dan produsen (dalam hal ini operator taksi daring) mampu menyediakan taksi di pasar sesuai permintaan konsumen, maka konsumen menjadi pihak yang dirugikan karena harus membayar harga lebih mahal dari harga yang terbentuk di pasar. Supir taksi (baik taksi daring maupun konvensional) menjadi pihak yang diuntungkan karena mendapat pemasukan lebih besar. 

Namun, pandangan Adam Smith yang mengesampingkan peran pemerintah bukannya tanpa kritik. Adalah John Keynes yang berargumen bahwa pemerintah tetap bisa berperan dalam pasar. Tujuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalam pasar yang berada diluar jangkauan asumsi teori Adam Smith. 

Jika pasar dibiarkan bebas, harga jelas menjadi tidak terkendali. Saling bunuh-membunuh dengan strategi perang harga pun menjadi tak terelakkan, dampaknya adalah yang memiliki banyak modal yang tetap bertahan. Sehingga keadaan monopoli akan terjadi yang jelas tidak sejalan dengan prinsip persaingan sempurna. Jika keadaan sudah sampai monopoli, perusahaan akan seenaknya menetapkan harga. 

Konsumen akan diuntungkan karena kerasnya persaingan (perang harga) pada awalnya, namun akan dirugikan jika kerasnya persaingan sudah memakan korban. Perusahaan yang keluar sebagai pemenang akan menjadi perusahaan yang memonopoli pasar. Akibatnya jelas harga dapat dimainkan seenaknya. 

Jika ditimbang menggunakan perspektif Islam pun tidak jauh berbeda. Ada yang meyakini tidak bolehnya pemerintah ikut campur dalam penetapan harga (ta'tsir) dan ada yang membolehkannya. Masing-masing memiliki argumen. Mereka yang melarang penetapan harga oleh pemerintah berargumen dengan hadits hasan shahih yang diriwayatkan oleh enam imam hadits, kecuali An-Nasa'i:

"Wahai Rasulullah tentukanlah harga untuk kami!"

Beliau menjawab,

"Sesunguhnya Allah adalah penentu harga, penahan, serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kedzoliman dalam hal darah dan harta"

Hadits diatas seolah-oleh mendukung teori "The Invisible Hand" Adam Smith. Kalimat "sesungguhnya Allah lah penentu harga" menunjukkan bahwa harga dipasar digerakkan oleh suatu "tangan" yang "invisible", apalagi kalau bukan tangan Tuhan? Ikut campurnya pemerintah dalam penetapan harga disebut sebagai sebuah kedzoliman.

Akan tetapi argumen yang melarang penetapan harga oleh pemerintah pun dikritik. Pendalilan dengan menggunakan hadits Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam di atas kurang tepat karena konteksnya. Pada konteks hadits di atas Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tidak mau ikut campur dalam penetapan harga karena tidak ada special case. Mahalnya harga pada saat itu terjadi bukan karena adanya pihak yang berlaku curang, seperti menimbun barang dan selainnya. Mahalnya harga murni terjadi karena stok barang langka secara alami.

So, dari argumen-argumen berdasarkan persektif ekonomi maupun Agama (Islam) di atas, apakah penerapan tarif batas bawah dan atas taksi daring oleh pemerintah sudah adil? kami persilahkan para pembaca untuk mengambil simpulan sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun