Baru-baru ini pemerintah membuat aturan terkait kebijakan penetapan harga taksi online (daring). Kebijakan tersebut dipicu oleh sederet tindakan protes yang dilakukan supir maupun pengusaha taksi konvensional karena tidak bisa bersaing dalam hal harga dan karena perlakukan khusus taksi daring. Bagaimana tidak, perbandingan harga antara taksi daring dan konvensional terpaut selisih hampir setengahnya.Â
Taksi daring dianggap mendapat perlakuan khusus karena kendaraanya tidak perlu diuji KIR, sehingga beban operasional jelas lebih murah dibanding taksi konvensional. Konsekuensinya, mau menekan harga sampai berapapun juga, tetap taksi daring akan lebih murah dibanding taksi konvensional. Dari situlah, sejuta cara dilakukan agar memaksa pemerintah untuk membuat aturan agar persaingan menjadi sehat kembali.
Gayung pun bersambut. Pemerintah akhirnya membuat aturan resmi terkait taksi daring sesuai tuntutan. Kendaraan taksi daring harus diuji KIR dengan "stiker" khusus yang bisa dilepas jika kendaraan sudah tidak difungsikan sebagai taksi daring. Operator taksi daring juga harus mengikuti aturan harga batas bawah sebesar Rp. 3.500/km dan batas atas sebesar Rp. 6.000/km (tergantung area). Pemerintah melakukan langkah-langkah tersebut demi terciptanya keadilan persaingan dalam industri.
Pertanyaannya, apakah langkah pemerintah tersebut adil?
Jawabannya tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Namun, jika dilihat dari perspektif manapun pertanyaan di atas masih belum terjawab sepenuhnya. Dari perspektif ekonomi misalnya, Adam Smith mengatakan bahwa pasar harus dibiarkan berjalan secara alami. Naik dan turunnya harga harus terjadi berdasarkan mekanisme "the invisible hand". Campur tangan pemerintah dalam menetapkan harga dapat merusak kesimbangan pasar. Rusaknya keseimbangan pasar akan menciptakan ketidakadilan. Inilah yang menjadi argumen Managing Director Grab Indonesia Rizdki Kramadibrata (sumber: klik disini).
Bagaimana logikanya ikut campurnya pemerintah dalam penetepan harga lantas dapat menciptakan ketidak adilan? Penjelasannya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Maknanya, tingginya permintaan konsumen tanpa ada barang yang dijual dipasar akan menciptakan kekurangan suplai. Efek dari kurangnya suplai adalah harga yang akan berbalik menjadi mahal. Sebaliknya, banyaknya suplai barang dipasar tanpa adanya permintaan dari konsumen akan membuat barang tidak laku. Sehingga, situasi yang seimbang (adil) adalah ketika harga dinaikan pada posisi tertentu yang masih terjangkau konsumen dan menguntungkan produsen.
Dengan prinsip Adam Smith di atas, jika pemerintah menaikkan harga ketika permintaan taksi daring sangat tinggi, dan produsen (dalam hal ini operator taksi daring) mampu menyediakan taksi di pasar sesuai permintaan konsumen, maka konsumen menjadi pihak yang dirugikan karena harus membayar harga lebih mahal dari harga yang terbentuk di pasar. Supir taksi (baik taksi daring maupun konvensional) menjadi pihak yang diuntungkan karena mendapat pemasukan lebih besar.Â
Namun, pandangan Adam Smith yang mengesampingkan peran pemerintah bukannya tanpa kritik. Adalah John Keynes yang berargumen bahwa pemerintah tetap bisa berperan dalam pasar. Tujuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalam pasar yang berada diluar jangkauan asumsi teori Adam Smith.Â
Jika pasar dibiarkan bebas, harga jelas menjadi tidak terkendali. Saling bunuh-membunuh dengan strategi perang harga pun menjadi tak terelakkan, dampaknya adalah yang memiliki banyak modal yang tetap bertahan. Sehingga keadaan monopoli akan terjadi yang jelas tidak sejalan dengan prinsip persaingan sempurna. Jika keadaan sudah sampai monopoli, perusahaan akan seenaknya menetapkan harga.Â