Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penilaian Kita Panic Buying Buruk, Belanja Bulanan Baik

2 April 2020   17:56 Diperbarui: 25 September 2020   10:20 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum kita masuk dalam suasana kerja dan belajar di rumah pada pertengahan bulan Maret yang lalu, grup Whats App keluarga kami menerima kiriman foto dan berita tentang orang yang berbelanja (memborong) bahan makanan dalam jumlah banyak. Foto dan berita itu dikirim oleh salah satu saudara kami yang tinggal di Sydney (Australia). 

Tulisan di foto itu menyatakan bahwa orang-orang di sana ketakutan untuk keluar rumah, takut makan di restoran (luar), takut ke sekolah dan takut jalan-jalan yang dikarenakan wabah Covid-19.

Dia bilang orang-orang berbelanja bahan makanan banyak sekali untuk disimpan di rumah, dia pun memfoto rak-rak di beberapa super market untuk kami lihat, dan semuanya nyaris kosong, di rak roti malah tidak bersisa.

"Mau makan apa aku?" katanya dengan emoticon bernada gurau tapi terdengar tidak lucu.

"Semua orang di sini panik, udah banyak yang kena Corona. Sekarang rumah makan tutup, kerja ga bisa, penghasilan ga ada, sekolah libur, tapi iurannya harus bayar, apartemen mau bayar, sekarang mau makan juga sulit", tambahnya.

"Kalau begini terus aku mau pulang saja".

Panic buying, itulah istilah yang diberikan untuk orang-orang yang berbelanja banyak (borong habis) bahan makanan karena wabah Covid-19.

Sampai sekarang pun istilah panic buying ini masih didengungkan dan nadanya sangat negatif. Orang ramai mengutuki tindakan ini, mereka benci, katanya itu tindakan egois hanya mementingkan diri sendiri. Borong banyak bahan makanan tidak pikir orang lain juga butuh. Itulah orang kaya!

Kemarin penulis tanpa sengaja melihat satu acara hiburan yang dipandu salah satu artis terkenal sejagat Indonesia, namanya Nikita Mirzani atau biasa disebut Nyai. Jadi dalam acara itu, beliau bersama satu rekannya pergi berbelanja untuk keperluannya selama sebulan. Setelah berbelanja, nampak ada 4-5 troli penuh barang. "Ini berbeda ya dengan panic buying, kalau ini untuk persiapan aku selama sebulan", begitu kata Nikita Mirzani.

Sekali lagi penulis kutip kalimatnya "Ini berbeda ya dengan panic buying, kalau ini untuk persiapan aku selama sebulan".

Sekilas kalimat di atas tidak ada yang salah, orang mau belanja bulanan kok. Tidak aneh ketika ada orang yang mau belanja keperluan untuk diri sendiri atau keluarga, mau untuk tiga hari, seminggu, dua minggu, atau sebulan. 

Keluarga kami juga biasa melakukannya sewaktu di Jakarta, karena di sana orang malas untuk keluar rumah, jadi sekali keluar maka belanjaannya pasti banyak, bisa 3-4 troli penuh. 

Bahan makanan, cemilan, buah, keperluan mandi, tissue, rokok beberapa slop, pewangi, detergen dan sebagainya, itu barang yang biasa kami belanjakan. Sekali berbelanja juga jutaan dan ini bukan hal yang luar biasa, banyak orang melakukannya. Untuk apa semua ini, biar tidak repot harus serig-sering keluar.

Sudah banyak bahan makanan di rumah pun kenyataannya masih sering pesan makanan lewat ojol. Artinya memang tidak mau keluar rumah.

Sewaktu berkuliah (merantau) juga kita biasa membeli persiapan untuk seminggu dan itu simpan di kulkas. Alasannya pun sama, malas sedikit-sedikit harus keluar rumah.

Kembali ke kalimat di atas, apabila kita cermati betul-betul sebenarnya ada kesalahan berpikir. Apa bedanya belanja bulanan dan panic buying? Secara kalimat beda, tapi secara prinsip keduanya hampir mirip, yaitu menyimpan stok makanan/ keperluan untuk jangka waktu tertentu.

Ketika bilang "Ini bukan panic buying tapi belanja bulanan", sebenarnya bagi penulis itu hanya penghalus kalimat saja, biar enak didengar. Intinya sama! Toh trolinya sama-sama banyak, mungkin yang belanja bulanan trolinya lebih banyak dari pada mereka yang katanya panic buying.

Mungkin beda secara motivasi, tapi kan ini tidak ada yang tahu. Bolehlah yang panic buyer ketika ditanya dia jawab, "Saya beli untuk keperluan sebulan keluarga. Jadi saya memang borong banyak". Kalau begini kan jelas sama saja.

Kalimat NM di atas pun bernada menghakimi, memandang buruk kelakuan orang-orang yang panic buying, seperti tindakannya beli barang 4-5 troli dengan jargon "Belanja Bulanan" itu sudah paling benar. Tidak hanya NM, banyak orang begitu.

Penulis ingin luruskan, berbelanja banyak itu hal yang wajar, bukan hal aneh atau buruk. Belanja bulanan dan panic buying itu hal sama namun beda kata. Orang beli banyak untuk simpan di rumah, mau sebentar, mau lama ya terserah---sesuai dompet dan sesuai kebutuhan. Tidak mungkin juga mereka beli barang terlalu banyak, karena sadar barang itu bisa rusak.

Orang-orang ini cerdas karena mempersiapkan sesuatu itu baik-baik, pakai perhitungan, tidak keluar rumah di tengah wabah virus ini. 

Jadi di mana masalahnya kalau jumlah trolinya sama?

Siapa yang tahu kalau setelah berbelanja, besoknya mereka ke toko sembako beli barang? Atau ke mall lagi beli ini itu? Siapa yang kelakuannya seperti lebih panik?

Memang kebiasaan berbelanja orang di tiap tempat berbeda-beda. Kapasitas pasar dalam mensuplai bahan makanan dan keperluan pun berbeda. Ini yang menjadi satu masalah. 

Manakala sebuah tempat hanya bisa menyediakan suplai bahan makanan untuk pertiga hari, tapi semua penduduknya ingin beli barang untuk persiapan selama sebulan di satu hari yang sama. 

Tapi penulis tidak akan lari ke sana, penulis hanya ingin meluruskan istilah panic buying yang sebenarnya sama saja dengan belanja mingguan/bulanan, tidak buruk---hanya dipolitisasi saja seolah-olah tampak buruk.

Berbelanja banyak memang satu tren baru selama wabah virus ini dan penulis sangat yakin, pasar akan cepat beradaptasi. Ini tugas pemerintah melalui dinas terkait, harus tangkas lihat sesuatu apalagi tren belanja masyarakat.

Kita pun jangan sedikit-sedikit memberi label seseorang dengan sebutan panic buyer, siapa tahu orang itu dari beberapa tahun lalu memang jika berbelanja itu jumlahnya banyak atau untuk keperluan yang cukup lama. 

Orang bijak ketika melihat di depannya ada bahaya, dia cepat lari, dia persiapkan segala hal. Orang bodoh dan kurang pengalaman maju terus, tidak lihat kondisi, lalu kena celaka.

Ini bukan masalah kau orang kaya, aku orang miskin. Ini masalah mental dan masalah pasar. Seandainya keadaan ekonominya boleh ditukar, pasti kelakuannya juga sama.

Berani bertaruh?

Untuk mengakhiri tulisan ini, apakah panic buying itu sebenarnya? 

Panic buying itu ketika disuruh bawa barang besok pagi, pas bangun paginya baru ingat.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun