Jatuh bangun Negara Tiongkok dapat kita telusuri dari berbagai literatur, salah satunya Manusia dan Kebudayaan Han, karya Gondomono, terbitan Kompas. Mulai dari jaman negara-negara berperang hingga zaman dinasti Qin yang berhasil mempersatukan daratan Tiongkok (SM), kemudian mengembangkan kebudayaan agung pada dinasti Han (periode akhir SM sampai awal SM). Tiongkok kemudian pecah menjadi tiga kerajaan yang dikenal dengan zaman Tiga Negara (Samkok), kemudian disatukan lagi namun pecah lagi menjadi zaman kerajaan utara dan selatan. Disatukan lagi pada zaman dinasti Sui dan berlanjut hingga dinasti Tang, dan seterusnya---pecah dan bersatu silih berganti.
Tiongkok sebagai negara besar saat ini---dulunya adalah negara yang di dalamnya banyak intrik. Perang dan pertumpahan darah mewarnai sejarah negara ini, namun kita juga dapat melihat tidak hanya perang, banyak kisah-kisah luar biasa dan karya sastra yang tinggi mutunya berasal dari negara ini atau mengambil latar belakang cerita berdasarkan salah satu dinasti di Tiongkok.
Indonesia bagaimana? Indonesia masih tergolong muda, wajar-wajar saja apabila masih terombang ambing dengan isu-isu perpecahan, gap kota-daerah, rasial, intoleransi agama dan sebagainya, toh masih muda---baru 74 tahun. Tiongkok butuh pengalaman beribu-ribu tahun untuk bisa menjadi negara besar.
Salah satu periode yang penting di Tiongkok adalah periode dinasti Sui. Setelah melalui zaman kekacauan politik beberapa ratus tahun (zaman dinasti Utara dan Selatan), orang-orang Han (sebutan orang Tiongkok) mendambakan kembali penyatuan Tiongkok di bawah pemerintahan seorang kaisar seperti pada zaman Han (206 SM -- 220 M). Akhirnya impian itu diwujudkan oleh seorang yang bernama Yang Jian dari kerajaan utara yang kemudian mendirikan dinasti Sui.
Selama ratusan tahun itu, kerajaan Utara dan Selatan, masing-masing telah tumbuh menjadi subkebudayaan yang berbeda (walau dulunya berasal dari akar yang sama yaitu kebudayaan Han). Oleh karena itu Yang Jian berupaya untuk menyatukan subkebudayaan Selatan yang lebih inovatif (wilayah selatan dekat dengan laut) dengan subkebudayaan Utara yang konservatif (wilayah utara umumnya daratan luas).
Dalam upaya mengintegrasikan kedua subkebudayaan tersebut, ternyata subkebudayaan Selatan lebih kuat pengaruhnya, walaupun arsitektur, busana, seni kulinari, dan beberapa segi kebudayaan yang umum untuk iklim panas tidak bisa diintegrasikan dengan kebudayaan yang ada di utara.
Dalam era kita saat ini, hampir-hampir tidak ada lagi batas antara satu orang dengan orang yang lain, begitu juga antara satu negara dengan negara yang lain. Masing-masing dapat terhubung dengan mudahnya, tentunya dalam dimensi digital. Hubungan tidak harus melulu menuntut kehadiran fisik, jarak yang jauh, bahasa yang berbeda, negara yang lain semuanya dapat difasilitasi oleh teknologi yang sudah sangat-sangat maju saat ini (banyak juga pasangan beda negara yang menikah karena berkenalan lewat medsos).
Perjumpaan satu orang dengan orang yang lain pasti menghasilkan kebudayaan yang baru. Sulit untuk membatasi terjadinya percampuran kebudayaan saat ini mengingat akses untuk berinteraksi dengan dunia luar terbuka lebar, tidak seperti dahulu di mana dunia masih sangat-sangat manual.
Kebudayaan memang dapat bercampur. Walaupun dapat, itu tetap tidak mudah. Seperti halnya dinasti Sui yang mau menyatukan kebudayaan selatan dan utara. Kebudayaan yang lebih inovatif biasanya lebih dapat diterima luas, namun ada kebudayaan konservatif yang tidak tergoncangkan dan tetap bertahan. Indonesia bagaimana?
Kita di Indonesia, selain harus menyesuaikan antara kebudayaan yang satu dengan lain---masih harus juga berhadapan dengan derasnya budaya dari luar: budaya barat dan timur; budaya asia, eropa, timur tengah dan amerika. Budaya dari dalam: budaya orang kota besar dan orang pedalaman serta budaya kaum elit dan kaum jelata.
Untuk interaksi di dalam negeri saja kita masih menemui bahwa ada gap yang besar antara satu kelompok etnik dengan etnik yang lain, misalnya orang Batak berinteraksi dengan orang Jawa.
Sekarang anak-anak SMP kita sudah ke-Korea-an, yang lainnya ke-Amerika-an, ada yang ke-Jepang-an, dan seterusnya. Hal yang dulunya kita anggap tabu, bagi anak-anak generasi ini sudah bukan tabu lagi. Kita mendapati fakta bahwa pergeseran budaya kita kepada satu budaya yang lain saat ini memang terjadi dan terus berubah ke arah yang kita sendiri tidak tahu akan dibawa kepada bentuk yang seperti apa dalam 20-30 tahun mendatang.
Dalam studi S2 Penulis, ketua prodi berkata bahwa pihak kampus telah "meminta" seorang guru besar ternama dari Jawa untuk mengajar di kampus, namun sang guru besar itu menolak dengan alasan yang kira-kira begini: "Tidak bisa mengajar di sana, karena mahasiswanya seperti tidak menghormati dosen".
Di sejumlah daerah misalnya Pontianak, budaya menghormati itu tidak seperti di Jawa. Di Pontiainak antara mahasiswa dan dosen itu mungkin saling meledek, saat kuliah bisa ke toilet bolak-balik, dan sebagainya. Namun itu kembali kepada dosen itu sendiri, beberapa dosen yang "bagus", mahasiswanya diam dan banyak interaksi di dalam ruang kuliah---tidak ke toilet bolak-balik (merokok, minum, dan sebagainya). Singkatnya, kebudayaan itu berbeda-beda. Ini salah satu contoh, masih ada budaya-budaya konservatif yang dipertahankan oleh beberapa orang---orang tua pastinya.
Senada dengan hal di atas, orang tua kita masih kental dengan justifikasi mereka terhadap suku-suku tertentu, sedangkan kita sebanyaknya sudah tidak termakan dengan justifikasi tersebut karena suku yang dibicarakan juga sudah berubah menjadi suku yang lain dalam banyak hal, hanya namanya saja yang masih sama.
Saat ini, saking banyaknya hal baru yang malang melintang di sekitar kita, kita sudah tidak tahu lagi yang mana budaya asli kita, tidak seperti orang-orang tua kita yang konservatif, kita lebih inovatif (liberal) dalam berbudaya.
Mungkin satu kalimat ini cocok untuk mewakili kita, "Kita berubah dalam banyak hal, namun tidak berubah dalam hal-hal yang pokok, namun untuk hal yang pokok ini kita sudah tidak memahami lagi esensinya."
Hal yang dikhawatirkan adalah, dalam tataran yang hanya di kulit luar, anak cucu kita hanya tahu hal yang tampak tanpa tahu roh yang ada di dalamnya. Kita perlu waspada karena 10-20 tahun lagi, mungkin budaya itu sudah tidak ada lagi di anak cucu kita. Kita perlu berbenah dan menggalakkan budaya sampai pada tataran esensi, agar budaya itu tetap lestari.
Penulis bukanlah pendukung sebuah budaya kolot yang diskriminasi, budaya kolot yang tidak mau berbenah diri, dan budaya kolot yang tidak mau dikritik. Budaya-budaya yang cinta pada status quo seperti mendiskriminasi kaum perempuan adalah salah satu yang penulis tidak bisa ikuti. Yang lainnya misalnya karena budaya itu, orang menjadi malas, tidak inovatif, percaya segala tahayul sampai mengorbakan sesama, tidak mau belajar, tidak mau dikritik, tidak tahu malu, sombong karena merasa superior etnis dan sebagainya, semuanya itu adalah budaya yang tidak dapat penulis terima.
Kembali kepada kasus sebelumnya, manakah yang lebih tepat, dosen itu menyesuaikan budayanya dengan mahasiswanya? atau mahasiswa yang menyesuaikan budayanya dengan si dosen? Contoh lainnya misalnya, orang tua yang mengikuti anak, atau anak yang mengikuti orang tua?
Sulit kan menjawabnya. Satu sisi si dosen yang lebih terdidik tidak mau menurunkan levelnya untuk turun ke level mahasiswa yang kurang terdidik. Apakah sang dosen sombong? Orang yang ilmunya lebih tinggi seharusnya lebih bisa memahami, seperti padi, makin berisi makin menunduk.
Kita berpikir bahwa pasti bagus kalau sang dosen mau membagikan ilmunya di tempat lain, yang budaya orang-orangnya berdeda dengan budayanya. Seperti pikul salib, kata orang Kristen, atau kalimat Paulus "Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat" (1 Korintus 9:20). Pendekatan yang tepat akan membawa banyak kebaikan. Namun kita tidak masuk ke perdebatan ini, tentang siapa yang salah dan siapa yang benar.
Sudah tidak relevan lagi untuk menyamakan zaman ini dengan zaman dulu, termasuk juga manusianya. Memaksanakan kebudayaan kita yang kolot juga sudah tidak sesuai lagi dengan zaman ini. Kita bukan saja tidak diterima, kita akan dibenci dan dikucilkan. Tinggi ilmu tapi etika buruk, masyarakat kita sebanyaknya masih memandang etika lebih penting. Namun ini kan wawasan. Ada juga yang lebih pentingkan ilmunya.
Mau merubah ke arah yang lebih baik ya harus pikul salib tadi, rela berkorban, harus lapang dada.
Menghadapi zaman seperti ini, kita butuh wawasan yang luas dan rasa toleransi yang lebar.
Jadi tidak semua budaya perlu kita ikuti, budaya yang tidak sesuai Pancasila perlu kita tolak. Semua yang datang-datang ini kita perlu menyaringnya. Yang sudah ada pun perlu kita koreksi ulang seperti contoh dosen tadi. Yang sudah bagus, pertahankan. Yang tidak cocok perlu kita koreksi ulang, perlu dilahirbarukan menjadi budaya yang lebih agung. Sekarang bukan di abad ke-1, tapi sudah di abad ke-21. Prinsipnya tetap Pancasila, jadi bukan berarti setujui semuanya.
Sebagai penutup, semoga di tahun yang baru kita bisa meluaskan wawasan kita dan melebarkan rasa toleransi kita kepada sesama. Kita akan lebih bermanfaat bagi sesama dan hidup akan lebih indah.
Selamat Natal dan menyongsong tahun baru 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H