Melalui UU Pemilu, eksistensi dan peran Bawaslu mengalami penguatan tidak hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga dari sisi tugas dan wewenang.
Dari sisi kelembagaan, jika semula Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota hanyalah sekedar panitia yang bersifat ad hoc (sementara), saat ini sudah dipermanenkan layaknya Bawaslu tingkat pusat.
Dari sisi tugas dan wewenang, Bawaslu tingkat daerah diberi wewenang untuk bertindak sebagai lembaga pemutus. Bawaslu di daerah menjadi eksekutor terhadap pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa proses pemilu. putusan Bawaslu ini mengalami pergeseran dari sekedar "rekomendasi" menuju "putusan" yang mengandung sifat eksekutorial. Contohnya saja di daerah, apabila KPU tidak melaksanakan putusan Bawaslu, maka mereka (komisioner-komisionernya) akan dipanggil oleh DKPP dan bila terbukti maka siap-siap untuk disanksi (sanksi ringan sampai berat/pemecatan).
Paling tidak Bawaslu telah mampu menjawab ekspektasi masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan demokratis walau dalam kenyataannya lembaga Bawaslu sendiri di beberapa tempat tidaklah sehat.
Bukan tanpa bukti, karena kita dapat menelusuri jejak digital yang di sana ada berita di mana DPKK menjatuhkan hukuman pemberhentian tetap kepada anggota Bawaslu di sejumlah daerah. Sanksi yang penulis maksud adalah sanksi etik dan pelanggaran etik ini bermacam-macam. Yang terbaru adalah yang terjadi di Grobogan di mana seorang komisioner Bawaslu itu diadukan karena berduaan dengan perempuan di hotel. Untuk kasus yang lainnya misalnya berstatus sebagai pengurus parpol atau di muka umum bersikap tidak netral dan condong ke salah satu parpol, ini kan mendorong persepsi buruk dari publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu secara khusus pengawas pemilu (walau anggota KPU juga banyak yang diberhentikan di sejumlah daerah karena kasus yang sama).
Orang yang bekerja dalam lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP sangat rentan untuk dibentrokkan atau terjadi gesekan karena kerjanya yang langsung bersenggolan dengan politik. Apalagi masalah etik, kecil saja permasalahannya, sanksi berat seperti pemecatan sangat mungkin bisa terjadi. Ini politik boy! Suka tidak suka etika dan kinerja harus dijaga. Terserah mau bilang dijebak atau bagaimana seperti kasus berduaan di kamar hotel tadi. Itu adalah risiko jabatan yang mana diharuskan tidak tercela dan netral.
Kembali kepada masalah kesehatan, memang itu terjadi di beberapa daerah. Kita bisa anggap itu sebagai oknum yang bermain. Bila ada oknum yang bermain di tingkat kabupaten/kota, penulis sedikit pesimis dengan jajaran bawaslu di tingkat provinsi. Penulis juga curiga dengan jajaran di tingkat provinsi karena dalam beberapa kejadian, penulis menilai ada anggota yang seharusnya tidak duduk di sana karena kualifikasinya tidak sampai. Ini masalah serius ketika rekrutmen anggota lembaga pengawas pemilu saja diciderai oleh ketidakjujuran (ada titipan).
Ketika yang di tingkat provinsi tidak jujur, maka dampaknya akan sampai pada tingkat kabupaten, mulai dari rekrutmen pengawas kecamatan dan juga staf-staf di sekretariat. Sampai saat ini cerita-cerita miring itu masih terdengar, di mana si A lolos seleksi karena si B, si C merupakan becking si D, di E ada agenda untuk satu daerah maka dia dimajukan, si F dan G itu orangnya si H, dan seterusnya.
Di kalangan para staf juga ada cerita-cerita bahwa si A, B dan C sebenarnya tidak masuk, tapi nilainya dibuat tinggi oleh si D (sama kaumnya), si E itu kertasnya kotor karena dia coret-coret nilai peserta tes, yang rendah dicoret dia dan diganti angkanya lebih tinggi, si F itu tidak ingin kaumnya lebih minoritas dari kaum sebelah (harus mayoritas), dan seterusnya.
Penulis sangat menyayangkan bila orang yang punya kompetensi akhirnya tidak diterima hanya kerja karena faktor kecurangan. Bagaimana mau membanggakan lembaga, bila di situ ada noda hitamnya? Bagaimana mau bersikap loyal kepada lembaga sedangkan lembaga tidak memberi contoh yang baik?
Bahkan publik yang terkagum-kagum di luar sana melihat Bawaslu beraksi dengan gagah di MK, tidak mengetahui dapur Bawaslu di dalamnya seperti apa. Selain harus menghadapi kepentingan politik parpol dan peserta pemilu, lembaga ini masih harus menghadapi konflik internal. Konflik di mana orang-orang di dalamnya sendiri masih punya agenda tersembunyi.
Jadi yang harus dibela itu siapa? Sebenarnya sederhana, yang dibela adalah kepentingan lembaga, bukan kepentingan si anu. Idealisme ini bagaimanapun harus dijunjung tinggi, namun di satu sisi selalu ada pengaruh dari orang-orang atasan yang mengkampanyekan sara. Dikatakanlah si anu dan si anu yang lain itu punya agenda, kaum mereka itu tidak baik, kamu harus membela kepentingan kaum kita, bila tidak maka orang kita akan tergerus di dalam, lama-lama orang mereka yang berkuasa, saya tidak ingin lembaga ini dikuasai oleh mereka.
"Selagi saya tidak mengganggu kau, kamu jangan mengganggu saya, nanti saya buka kedok kamu, baru kamu tahu rasa." Apakah petinggi-petinggi di lembaga seperti ini? kita masyarakat yang tidak masuk dalam dunia pemerintahan masih optimis mengganggap mereka bersih, namun siapa sangka di dalam mereka ternyata serigala. Masing-masing berprinsip jangan saling mengganggu, itu ada apa? Mengganggu untuk kepentingannya?
Kisruh di tingkat kabupaten/kota pasti melibatkan provinsi. Provinsi turut ambil andil dalam masalah-masalah ini dan mungkin juga pusat ada bermain. Tidak mungkin bawahan berani nakal bila atasan tidak nakal. Lengkap sudah.
Saling hujat dan saling menghakimi dari dalam. Memang penulis akui kelompok yang satu ada kebenarannya bila berbicara satu topik namun kelompok yang satunya lagi juga ada kebenarannya. Tinggal bagaimana topik yang menjadi masalah saja yang perlu diforumkan. Penulis menilai harus ada kejujuran di masing-masing pihak, namun tetap saja yang namanya pencuri mana ada yang mau jujur, semua akan diam dan kalau bicara pun akan membelokkan makna.
Setelah mendengar berbagai cerita dan mengalami sendiri kondisi sebenarnya, penulis pesimis karena tidak ada satupun lembaga yang di dalamnya tidak ada oknum yang bermain dan berkepentingan. Unsur sara masih keruh dan kalau diumpamakan itu ibarat asap yang keluar dari gambut, tinggal ditiup maka apinya akan muncul.
Masih perlukah kita percaya kepada lembaga publik pemerintah khususnya Bawaslu? Ketika rekrutmen tidak berjalan dengan jujur, ketika bertugas ternyata ada oknum yang membawa kepentingan kelompok tertentu, ketika pleno untuk menentukan ketua juga tidak berdasarkan asas martabat dan sebagainya?
Bawaslu mendapatkan beberapa penghargaan dalam Pemilu 2019. Saat ini sedang mengawasi Pilkada dan di tahun 2024 akan mengawasi pilpres, pemilu dan pilkada serentak akbar. Membanggakan. Penulis bangga dengan apa yang dikerjakan lembaga ini, banyak yang bagus dan membantu masyarakat, namun penulis tidak bangga pada oknum-oknumnya dalam beberapa hal.
Ya, mungkin kita sebagai masyarakat awam cukuplah menyaksikan semua hal yang kelihatan saja. Sepanjang itu baik ya biarkan, jika itu buruk ya tegur. Yang tidak terlihat ya bukan urusan kita. Kita yang ada di dalam bila posisinya hanya bawahan maka kerja kerja kerja saja, urusan permainan itu bukan bagian kita tapi bagian mereka yang di atas. Begitukah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H