Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Bawaslu, Pemilu, dan Konflik Internal

4 Desember 2019   15:22 Diperbarui: 4 Desember 2019   15:39 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui UU Pemilu, eksistensi dan peran Bawaslu mengalami penguatan tidak hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga dari sisi tugas dan wewenang.

Dari sisi kelembagaan, jika semula Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota hanyalah sekedar panitia yang bersifat ad hoc (sementara), saat ini sudah dipermanenkan layaknya Bawaslu tingkat pusat.

Dari sisi tugas dan wewenang, Bawaslu tingkat daerah diberi wewenang untuk bertindak sebagai lembaga pemutus. Bawaslu di daerah menjadi eksekutor terhadap pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa proses pemilu. putusan Bawaslu ini mengalami pergeseran dari sekedar "rekomendasi" menuju "putusan" yang mengandung sifat eksekutorial. Contohnya saja di daerah, apabila KPU tidak melaksanakan putusan Bawaslu, maka mereka (komisioner-komisionernya) akan dipanggil oleh DKPP dan bila terbukti maka siap-siap untuk disanksi (sanksi ringan sampai berat/pemecatan).

Paling tidak Bawaslu telah mampu menjawab ekspektasi masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan demokratis walau dalam kenyataannya lembaga Bawaslu sendiri di beberapa tempat tidaklah sehat.

Bukan tanpa bukti, karena kita dapat menelusuri jejak digital yang di sana ada berita di mana DPKK menjatuhkan hukuman pemberhentian tetap kepada anggota Bawaslu di sejumlah daerah. Sanksi yang penulis maksud adalah sanksi etik dan pelanggaran etik ini bermacam-macam. Yang terbaru adalah yang terjadi di Grobogan di mana seorang komisioner Bawaslu itu diadukan karena berduaan dengan perempuan di hotel. Untuk kasus yang lainnya misalnya berstatus sebagai pengurus parpol atau di muka umum bersikap tidak netral dan condong ke salah satu parpol, ini kan mendorong persepsi buruk dari publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu secara khusus pengawas pemilu (walau anggota KPU juga banyak yang diberhentikan di sejumlah daerah karena kasus yang sama).

Orang yang bekerja dalam lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP sangat rentan untuk dibentrokkan atau terjadi gesekan karena kerjanya yang langsung bersenggolan dengan politik. Apalagi masalah etik, kecil saja permasalahannya, sanksi berat seperti pemecatan sangat mungkin bisa terjadi. Ini politik boy! Suka tidak suka etika dan kinerja harus dijaga. Terserah mau bilang dijebak atau bagaimana seperti kasus berduaan di kamar hotel tadi. Itu adalah risiko jabatan yang mana diharuskan tidak tercela dan netral.

Kembali kepada masalah kesehatan, memang itu terjadi di beberapa daerah. Kita bisa anggap itu sebagai oknum yang bermain. Bila ada oknum yang bermain di tingkat kabupaten/kota, penulis sedikit pesimis dengan jajaran bawaslu di tingkat provinsi. Penulis juga curiga dengan jajaran di tingkat provinsi karena dalam beberapa kejadian, penulis menilai ada anggota yang seharusnya tidak duduk di sana karena kualifikasinya tidak sampai. Ini masalah serius ketika rekrutmen anggota lembaga pengawas pemilu saja diciderai oleh ketidakjujuran (ada titipan).

Ketika yang di tingkat provinsi tidak jujur, maka dampaknya akan sampai pada tingkat kabupaten, mulai dari rekrutmen pengawas kecamatan dan juga staf-staf di sekretariat. Sampai saat ini cerita-cerita miring itu masih terdengar, di mana si A lolos seleksi karena si B, si C merupakan becking si D, di E ada agenda untuk satu daerah maka dia dimajukan, si F dan G itu orangnya si H, dan seterusnya.

Di kalangan para staf juga ada cerita-cerita bahwa si A, B dan C sebenarnya tidak masuk, tapi nilainya dibuat tinggi oleh si D (sama kaumnya), si E itu kertasnya kotor karena dia coret-coret nilai peserta tes, yang rendah dicoret dia dan diganti angkanya lebih tinggi, si F itu tidak ingin kaumnya lebih minoritas dari kaum sebelah (harus mayoritas), dan seterusnya.

Penulis sangat menyayangkan bila orang yang punya kompetensi akhirnya tidak diterima hanya kerja karena faktor kecurangan. Bagaimana mau membanggakan lembaga, bila di situ ada noda hitamnya? Bagaimana mau bersikap loyal kepada lembaga sedangkan lembaga tidak memberi contoh yang baik?

Bahkan publik yang terkagum-kagum di luar sana melihat Bawaslu beraksi dengan gagah di MK, tidak mengetahui dapur Bawaslu di dalamnya seperti apa. Selain harus menghadapi kepentingan politik parpol dan peserta pemilu, lembaga ini masih harus menghadapi konflik internal. Konflik di mana orang-orang di dalamnya sendiri masih punya agenda tersembunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun