Satu lagi tahapan Pemilu 2019 telah selesai, yaitu sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi yang kita/ masyarakat Indonesia saksikan dari Jumat, 14 Juni 2019 sampai Jumat, 21 Juni 2019 lalu.Â
Tinggallah kini Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia yang akan menilai semua keterangan dan bukti dalam perbendaharaannya selama sidang berlangsung. Apapun hasilnya, rakyat Indonesia akan menghormati putusan Majelis Hakim Konstitusi pada Jumat, 28 Juni 2019 mendatang.
Saking trendingnya PHPU Presiden dan Wakil Presiden ini, Penulis hampir-hampir tidak pernah ditanyakan terkait dengan PHPU DPR, baik yang pusat maupun yang lokal/ daerah tingkat kabupaten. Bukankah kontestasi calon legislatif juga penting untuk diperhatikan?
Malah sangat penting sebenarnya, mengingat fungsi Dewan Perwakilan Rakyat yang tupoksinya dalam bidang legislasi, penganggaran, pengawasan dan sebagai check and balance di dalam roda pemerintahan? Jikalau masyarakat tidak tertarik dan tidak mau tahu Pemilu lain selain Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, ya demokrasi kita sebenarnya masih dapat dikatakan gagal. Berlebihan tidak?
Seperti judul di atas, Contempt of Court atau yang berarti Penghinaan Terhadap Pengadilan merupakan satu isu yang sampai saat ini pun masih belum banyak didengar oleh masyarakat awam. Untungnya orang terkadang di tempat umum masih bisa menjaga sikap (setidaknya diam).
Mengutip buku naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 terbitan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI (hal. 7), istilah Contempt of Court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 yang berbunyi:
"Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court. Bersamaan dengan introduksi terminology itu sekaligus juga diberikan definisinya."
Selanjutnya, perbuatan manakah yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan? Dalam hal.9 dijelaskan sebagai berikut:
- Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in Court);
- Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders);
- Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court);
- Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice); dan
- Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/ publikasi (Sub-Judice Rule).
Dalam konteks persidangan, seseorang dikatakan menghina persidangan apabila ia bersikap merendahkan, merusak, melecehkan wibawa pengadilan. Terhadap orang-orang demikian (berbuat onar), Hakim dapat menegur orang tersebut, bahkan memerintahan suapaya orang tersebut dikeluarkan dari ruang sidang. Tidak sampai disitu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga memberikan ancaman hukuman bagi mereka yang dikatakan menghina pengadilan.
Dalam persidangan PHPU di MK, tata tertib persidangan diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Persidangan Mahkamah Konstitusi dari Pasal 8 sampai 13.Â
Dalam pasal 9 disebutkan bahwa tata tertib sidang berlaku secara mutatis-mutandis untuk persidangan jarak jauh (video conference). Artinya yang menghina peradilan di luar ruang sidang MK juga bisa dijerat dengan ancaman hukuman!
Agak liar sebenarnya memberlakukan Contempt of Court pada berkas Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dalam PHPU ini. Pasalnya Contempt of Court hanya dapat dikenakan kepada perilaku dan sikap yang "tampak". Namuan Penulis ingin membawa pengertian ini pada ranah yang lebih luas dari sekedar perilaku dan sikap yang "tampak" tadi. Maafkan Penulis masih belum menemukan kata-kata/ istilah yang lebih tepat.
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi telah dijelaskan tentang bagaimana Permohonan PHPU itu hendak diajukan, termasuk bagaimana format penulisan yang akan dibuat oleh Pemohon juga telah disebutkan oleh Mahkamah.
Setelah Hasil Perolehan Suara oleh KPU secara nasional diumumkan pada 21 Mei 2019. UU Pemilu 2017 memberikan kesempatan kepada Peserta Pemilu untuk mengajukan permohonan PHPU kepada MK dalam 3 x 24 jam yang isinya adalah permohonan pembatalan SK KPU tersebut dengan mekanisme persidangan sambil membawa semua alat buktinya.
Tidak seperti permohonan yang diajukan oleh Pasangan Calon 02 yang isinya sangat rinci dan dibuat sebagaimana format yang diatur dalam PMK. Pada PHPU DPRD Kab, Penulis menemukan bahwa ada permohonan yang dibuat "seolah-olah" asal-asalan (kasarnya). Permohonan itu tidak dibuat sebagaimana yang ditentukan di dalam PMK Nomor 2 Tahun 2018.
Menjelang hari diregistrasinya permohonan tersebut di BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi) MK. Penulis masih belum melihat berkas tersebut diperbaiki oleh Pemohon. Berikut Penulis berikan contoh.
Pada gambar di atas, seharusnya yang mengajukan permohonan adalah DPP Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana Pasal 7 ayat (1) PMK Nomor 2 Tahun 2018. Pada pembukaan permohonan tersebut sudah tidak mentaati peraturan yang dibuat oleh MK.
Berikutnya, pada gambar di bawah ini Penulis telah melampirkan isi Permohonan dari Pemohon.
Sekali lagi, dapat dilihat pada lampiran tersebut bahwa ada komponen yang tidak dipenuhi oleh Pemohon di dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b PMK Nomor 2 Tahun 2018, yaitu (1) kewenangan Mahkamah; (2) kedudukan hukum (legal standing) Pemohon; dan (3) tenggang waktu pengajuan Permohonan.
Walaupun pokok Permohonan dan petitum itu dituliskan dalam permohonannya, seperti yang dapat dilihat, formatnya tidak sesuai SOP. Bukti dan daftar alat bukti juga tidak ada, seharusnya ada table yang menerangkan bahwa jumlah suara di TPS ..., ..., ..., berbeda/ berubah.
Dari lampiran di atas, yang ingin Penulis sampaikan adalah Peserta Pemilu tidak taat terhadap PMK yang merupakan produk dari MK selaku Lembaga Tinggi Negara. Peserta Pemilu ini tidak taat kepada Pengadilan!
MK telah mencantumkan dengan sedemikian rupa dalam PMK tentang bagaimana Permohonan itu harus dibuat, namun Peserta Pemilu tidak mengindahkannya. Peserta Pemilu di atas telah sembarangan masuk ke pengadilan yang bukan tanpa rules!
Tim penyusun permohonan tersebut sadar dengan apa yang mereka ketik, pimpinan parpol juga sadar dengan apa yang mereka buat, singkatnya mereka telah bersama-sama (bersekongkol) untuk tidak taat pada MK melalui permohonan yang sembarangan.
Ketidaktaatan ini masuk pada ranah Contempt of Court secara administrasi. Dikatakan bahwa Contempt of Court merupakan perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.
Ilustrasinya, ada seseorang yang masuk ke ruang sidang dengan tidak berpakaian, bau dan dekil, orang tersebut sangat melecehkan marwah lembaga peradilan karena seolah-olah pengadilan itu dibuat menjadi tempat orang mabuk-mabukan, seperti rumah sendiri yang dirinya seenaknya berbuat, tempat sirkus badut, tempat lucu-lucuan atau tempat yang tanpa aturan. Orang semacam ini patut diberikan sanksi.Â
Sama halnya dengan orang yang tidak berpakaian tadi, permohonan yang dibuat tersebut bisa dibilang tanpa busana dan patut diberi sanksi!
Sekali lagi, perbuatan Peserta Pemilu ini adalah "sadar". Tingkah laku, sikap dan ucapan yang tidak tampak di ruang sidang ditampakkan dalam bentuk tulisan.
Apakah salah ketik? Apakah mengejar waktu sehingga terburu-buru membuat permohonan? Atau hal lainnya? Terserahlah.
Dan bila Mahkamah berbaik hati memberikan waktu untuk memperbaiki, itu kebijaksanaan Mahkamah semata-mata. yang jelas tindakan di atas merupakan penghinaan dalam ranah administrasi.Â
Pengadilan merupakan tempat yang serius, tempatnya nyawa dipertaruhkan, tempat keadilan diperjuangkan, tempat kebenaran dibuktikan.
Catatan:
Tulisan ini tidak berada dalam ranah sentimen, tetapi dalam ranah keilmuan dalam mengkaji Contempt of Court .